Dua Bahasa Maluku yang Punah Terdeteksi Masih Digunakan
Bahasa Serua dan Nila di Maluku yang selama ini dinyatakan punah, ternyata masih ada penuturnya. Kedua bahasa ini terdegradasi setelah penuturnya pindah ke pulau lain akibat bencana alam.
AMBON, KOMPAS -- Dua dari sembilan bahasa daerah Maluku yang diduga telah punah terdeteksi masih digunakan sebagian masyarakat berusia 50 tahun ke atas. Dua bahasa daerah itu adalah bahasa Serua dan Nila.
Kedua bahasa daerah ini terdegradasi karena masyarakat penutur kedua bahasa tersebut diungsikan ke pulau lain akibat bencana alam sekitar 40 tahun lalu. Di lokasi baru, warga menggunakan bahasa setempat.
Pada Februari 2018, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Dadang Sunendar menyebut ada sembilan bahasa daerah di Maluku dan Maluku Utara yang sudah punah, meliputi bahasa Kajeli/Kayeli, bahasa Piru, bahasa Moksela, bahasa Palumata, bahasa Ternateno, bahasa Hukumina, bahasa Hoti, bahasa Serua, dan bahasa Nila. Selain sembilan bahasa daerah tersebut, ada pula dua bahasa Papua yang punah, yaitu bahasa Tandia dan Mawes.
Menyikapi hal tersebut, Kantor Bahasa Maluku kemudian melakukan pemantauan ke lapangan untuk melakukan pengecekan ulang. Ternyata, di sejumlah daerah ditemukan fenomena menarik karena masih ada sebagian masyarakat yang berpenutur menggunakan bahasa Serua dan bahasa Nila.
“Masih ada raja dan masyarakat yang menggunakan bahasa Serua meski hanya mereka yang berusia di atas 50 tahun dan itupun kalau kami meminta mereka menuturkannya. Oleh karena itu, kami langsung melaporkan hal ini kepada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,” papar Kepala Kantor Bahasa Maluku, Asrif, Jumat (27/4/2018), di Ambon, Maluku.
Sementara itu, untuk bahasa Nila, para peneliti Kantor Bahasa Maluku masih terus melakukan penelusuran untuk mendapatkan saksi hidup masyarakat yang berpenutur bahasa tersebut. Yang jelas, bahasa tersebut terdeteksi masih dituturkan terakhir sekitar tahun 2016 lalu.
Karena masih dituturkan sampai 2016, Asrif menduga masih terdapat warga yang bisa menuturkan bahasa Nila saat ini. Penelusuran dilakukan di Kawasan Waipia, Masohi, Pulau Seram, tempat tinggal eks warga Pulau Teon, Nila dan Serua di perbatasan Kabupaten Maluku Tengah dan Maluku Barat Daya yang diungsikan pemerintah sekitar periode 1978-1979 karena ancaman letusan Gunung Lawrakawra.
Degradasi terjadi
Menurut Asrif, pengungsian warga Pulau Teon, Nila, dan Serua hampir 40 tahun lalu menjadi penyebab utama terjadinya degradasi bahasa daerah Nila dan Serua. Para penutur yang masih bisa menggunakan bahasa daerah tersebut hanyalah mereka yang dahulu lahir di tiga pulau terpencil itu.
“Begitu tinggal di Masohi, Pulau Seram, maka mereka kemudian menggunakan bahasa daerah Melayu Ambon, bukan bahasa daerah mereka lagi. Sejak masa itulah, degradasi bahasa daerah mereka terjadi hingga sekarang,” tambahnya.
Untuk menyelamatkan bahasa Serua, mulai tahun 2019, Kantor Bahasa Maluku akan melakukan revitalisasi bahasa daerah Serua di Negeri Waru, Masohi. Langkah ini diperkuat dengan adanya komitmen kuat raja dan masyarakat setempat untuk mengembalikan bahasa daerah tersebut.
Revitalisasi bahasa daerah Serua dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu dengan melibatkan gereja, pendidikan anak usia dini, dinas pendidikan setempat, generasi muda, masyarakat setempat dan lembaga adatnya.
Sementara itu, untuk bahasa Nila, Kantor Bahasa Maluku belum menyiapkan rencana revitalisasi apapun karena belum ada komitmen dari pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan bahasa daerah Nila. Meski demikian, penelitian terus-menerus dilakukan terutama untuk mencari sisa-sisa penutur bahasa Nila.
Lomba Tutur
Kepala Kewang Negeri Haruku, Pulau Haruku, Maluku, Eliza Marthen Kissya setahun terakhir menggelar lomba tutur bahasa daerah Haruku di daerahnya. Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk melestarikan bahasa Haruku yang semakin jarang digunakan lagi oleh generasi muda di Pulau Haruku.
“Penggunaan bahasa Haruku mulai kami hidupkan sejak setahun terakhir. Sampai sekarang, anak-anak kecil memang belum mahir karena mereka sudah lama tidak pernah diajari lagi berbahasa Haruku. Ke depan, selain menggelar lomba bertutur bahasa Haruku, kami juga akan memasukkan pelajaran bahasa Haruku ke dalam muatan lokal pendidikan anak-anak,” papar Eliza.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid berharap, dengan berlakunya Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, maka upaya perlindungan, konservasi, sekaligus pemanfaatan bahasa-bahasa daerah semakin dioptimalkan.
Mulai 2019, pemerintah akan menyalurkan Dana Alokasi Khusus untuk bidang kebudayaan yang antara lain bisa digunakan untuk penyelamatan bahasa-bahasa daerah. Selain itu, nanti penyusunan APBD di seluruh kabupaten/kota juga akan disesuaikan dengan UU Pemajuan Kebudayaan.