Paradigma gizi kini mengutamakan pemenuhan gizi seimbang. Dengan demikian, susu tak lagi menjadi penyempurna kebutuhan gizi, melainkan sama dengan sumber protein lain.
JAKARTA, KOMPAS – Saat ini susu bukan lagi berfungsi sebagai penyempurna kebutuhan gizi. Paradigman gizi sudah berubah dari 4 Sehat 5 Sempurna menjadi Gizi Seimbang. Tak perlu lagi susu untuk memenuhi kebutuhan protein karena protein banyak terdapat di bahan pangan lain seperti misalnya ikan dan telur.
Ahli gizi komunitas dari Dr Tan & Remanlay Institute, Tan Shot Yen, di Jakarta, Jumat (27/4/2018), mengatakan, peran susu dalam pemenuhan gizi tidak lagi istimewa. Kedudukannya sama dengan pangan sumber protein lainnya seperti ikan dan telur ayam.
“Tapi tolong diluruskan tidak ada yang anti susu. Dalam tumpeng gizi seimbang pun susu masih ada, ditempatkan sama dengan pangan lain sebagai sumber protein,” ujarnya.
Untuk menghasilkan anak dengan IQ tinggi diperlukan Docosahexaenoic Acid (DHA) dan Eicosapentaenoic Acid (EPA) yang secara alami terdapat dalam ikan dan telur. Sementara susu sapi tidak mengandung dua komponen tersebut sehingga perlu ditambahkan.
Meski kedudukannya sama dengan pangan sumber protein hewani lainnya, Tan menilai iklan susu lanjutan dan pertumbuhan terlalu berlebihan. Karena terbatasnya pemahaman masyarakat akhirnya susu kental manis yang tinggi gula pun dianggap masyarakat sebagai susu yang baik dikonsumsi bayi dan anak-anak.
Sumber protein
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang, susu masuk ke ke dalam kelompok lauk pauk sumber protein bersama ikan, telur, unggas, daging, dan kacang-kacangan serta olahannya (tahu dan tempe).
Dalam daftar pangan sumber protein hewani, satu porsi ikan segar setara dengan satu gelas susu sapi atau empat sendok makan tepung susu. Protein hewani dan nabati perlu dikonsumsi dengan kelompok pangan lainnya agar jumlah dan kualitas zat gizi yang dikonsumsi seimbang sesuai dengan yang direkomendasikan.
Tan mengatakan, yang menjadi masalah justru komposisi susu yang beredar di pasaran yang justru bisa menimbulkan kesakitan mulai dari kegemukan, diabetes, kerusakan gigi, dan gangguan cerna. Satu contohnya ialah kandungan gula yang tinggi pada susu.
Wakil Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar, mengatakan, pemerintah perlu mendorong masyarakat untuk mengonsumsi sumber protein hewani lokal yang lebih beragam. Semakin beragam makanan yang dikonsumsi makin banyak zat gizi yang terpenuhi.
Nia juga menekankan pentingnya Rancangan Peraturan pemerintah Label dan Iklan Pangan untuk mengikuti resolusi World Health Assembly (WHA) 69 Tahun 2016 yang melarang iklan makanan bayi dan anak di bawah 3 tahun.
Tan menyarankan, pemakaian susu formula dan susu lanjutan atau pertumbuhan perlu dengan resep dokter. Untuk susu hamil dan ibu menyusui, informasi gizi seimbang sebagai pola makan terbaik perlu dicantumkan dalam kemasan.
Selain itu, susu tidak kemudian menggantikan porsi makan sehari-hari. Susu cair anak dan produk susu lainnya termasuk yoghurt harus mencantumkan berapa kandungan gulanya termasuk gula yang tersembunyi.
Intoleransi laktosa
Sementara itu, dalam pernyataan tertulisnya, Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA), menyatakan bahwa promosi konsumsi susu dalam kerangka percepatan perbaikan gizi berisiko membahayakan kesehatan anak karena tingginya prevalensi intoleransi laktosa akibat konsumsi susu di kalangan anak-anak.
Intoleransi laktosa adalah ketidakmampuan mencerna laktosa dalam susu atau makanan dari produk susu dengan gejala nyeri pada perut, kembung, dan diare. Hal ini terjadi karena berkurangnya enzim laktase secara fisiologis saat bayi atau balita mulai disapih. Artinya, saat mulai konsumsi makanan padat meningkat tubuh mengurangi kemampuan untuk mencerna susu dalam volume besar.
Hasil penelitian Prevalensi gangguan pencernaan akibat intoleransi laktosa cukup tinggi dan meningkat sesuai pertambahan usia, yakni 21,3 persen di usia 3-5 tahun, 57,8 persen di usia 6-11 tahun, 73 persen pada usia 12-14 tahun (Hegar, 2015).
Gangguan lain pada anak yang bisa timbul setelah mengonsumsi susu adalah alergi susu sapi. Anak dengan alergi susu sapi bisa mengalami gejala ringan (gangguan menelan) sampai berat (diare, nyeri perut, gangguan pertumbuhan)
Oleh karena itu, GKIA mendorong agar promosi Menu Gizi Seimbang di kalangan anak sekolah dan pendidik lebih ditingkatkan dengan penekanan pada konsumsi makanan lokal yang bervariasi seperti sayur, buah, ikan, tempe, telur. Upaya ini sejalan dengan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017.