Tenaga Kerja Asing Perlu Diawasi
JAKARTA, KOMPAS — Diterbitkannya peraturan presiden pengganti terkait tenaga kerja asing menuai polemik. Pada satu sisi, peraturan ini mempermudah izin tenaga kerja asing untuk masuk ke Indonesia guna memperbaiki iklim investasi. Namun, di sisi lain, pengawasan pemerintah masih lemah sehingga potensi tenaga asing ilegal semakin meningkat.
Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing (TKA). Perpres ini merupakan pengganti Perpres No 72/2014. Ada beberapa pasal tambahan dalam Perpres No 20/2018 yang membuat perizinan TKA dipermudah.
Pada perpres sebelumnya, yakni Perpres No 72/2014, diatur TKA wajib memperpanjang visa kerja setiap enam bulan sekali. Sementara dalam Perpres No 20/2018 diatur visa kerja berlaku selama kontrak kerja TKA di Indonesia.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan, pengawasan terhadap TKA masih lemah. ”Ada ketimpangan pengawasan. Sebanyak 85.000 TKA hanya diawasi sekitar 1.900 petugas Kementerian Ketenagakerjaan,” katanya dalam diskusi bertajuk ”May Day, TKA, dan Investasi” di Jakarta, Sabtu (28/4/2018).
Menurut Bhima, saat ini pemerintah belum memiliki data yang jelas terkait TKA ilegal di Indonesia. Ia menjelaskan, ketidakjelasan data ini bisa dimanfaatkan sebagian orang untuk menyebar hoaks dan memperkeruh situasi di tahun politik.
Pemerintah belum memiliki data yang jelas terkait TKA ilegal di Indonesia. Ketidakjelasan data ini bisa dimanfaatkan sebagian orang untuk menyebar hoaks dan memperkeruh situasi di tahun politik.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di Jakarta, Selasa (24/4), mengatakan, penyebaran informasi tenaga kerja asing itu bisa berujung pada keresahan di kalangan masyarakat. Lantaran banyak informasi yang keliru, pemerintah menganggap perlu meluruskan hal-hal yang tidak benar.
”Saya minta (penyebar informasi) menggunakan data yang benar. Mari kita beradu data. Kita juga memiliki data. Jangan karena merasa memiliki pengaruh menjadi sembarangan bicara. Nanti bisa dibenarkan publik,” kata Moeldoko kepada jurnalis (Kompas, 25/04/2018).
Bhima mengatakan, seharusnya pemerintah memiliki basis data yang bisa diakses oleh masyarakat secara luas. Data tersebut bisa diakses di website sehingga tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat terkait TKA.
”Singapura memiliki jumlah TKA yang cukup banyak, tetapi mereka mampu membuat basis data yang bisa diakses masyarakatnya,” katanya.
Selain itu, terkait dengan minimnya jumlah pengawas, Wakil Ketua Komisi IX DPR Ichsan Firdaus menjelaskan, pemerintah perlu menbentuk satgas pengawas TKA. Menurut dia, komponen satgas ini terdiri dari pihak Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Intelijen Negara, Dirjen Keimigrasian, serta kepolisian.
Singapura memiliki jumlah TKA yang cukup banyak, tetapi mereka mampu membuat basis data yang bisa diakses masyarakatnya.
”Kementerian Dalam Negeri juga perlu dilibatkan karena TKA ini tersebar dan pengawasan di tingkat pemerintah daerah masih sangat lemah. Oleh sebab itu, satgas ini sebaiknya menjadi kewenangan pemerintah pusat,” ujarnya.
Penguatan aturan
Terkait perpres ini, Ichsan mengatakan, belum ada urgensi bagi DPR untuk membentuk pansus untuk merevisinya. ”Saat ini, pemerintah hanya perlu menegaskan perpres ini dengan peraturan turunan karena masih banyak bagian yang abu-abu dan multitafsir,” ujarnya.
Dalam Pasal 10 Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 dijelaskan, perekrutan TKA yang dibutuhkan pemerintah, kantor perwakilan negara asing, dan badan internasional tidak memerlukan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA). RPTKA ini merupakan syarat yang harus diajukan oleh pemberi TKA dan nantinya harus berdasarkan persetujuan Menteri Ketenagakerjaan.
Ichsan mengatakan, pasal ini multitafsir karena belum jelas TKA mana saja yang dibutuhkan oleh pemerintah nantinya. ”Harus jelas sektor mana saja yang dibahas untuk TKA ini. Selain itu, perusahaan pemerintah apa saja yang dimaksud karena BUMN juga termasuk perusahaan milik pemerintah,” katanya.
Pasal ini multitafsir karena belum jelas TKA mana saja yang dibutuhkan oleh pemerintah nantinya.
Dalam rubrik opini Kompas (28/4/2018), Komisioner Ombudsman RI La Ode Ida mengatakan, masih adanya wilayah abu-abu tentang jabatan yang boleh diisi dan atau diperpanjang oleh TKA. Selain itu, jangka waktu TKA yang bekerja di Indonsia perlu diperjelas karena belum termuat di dalam perpres ini.
Optimalisasi tenaga kerja
Pada Pasal 24 Perpres No 20/2018 dinyatakan secara tegas kewajiban pengguna TKA untuk membayar dana kompensasi. Nantinya, dana ini pemasukan negara jenis pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Menurut Ichsan, saat ini PNBP masih belum optimal untuk digunakan di sektor-sektor penyumbang.
”Jika penyumbang dananya dari TKA, seharusnya dana PNBP ini bisa dimanfaatkan untuk memperkuat pelatihan tenaga kerja Indonesia (TKI) agar tidak kalah bersaing dengan TKA. Pelatihan ini juga perlu ditingkatkan dari sisi teknologi penunjang bagi TKI,” katanya.
Selain itu, dengan perpres ini, diharapkan para TKA bisa mentransfer ilmu kepada para TKI di Indonesia. Namun, Bhima mengatakan, transfer ilmu nantinya tidak akan berjalan optimal.
”Karena sebagian besar TKA menggunakan bahasa asing, sedangkan pekerja kita yang sebagian besar lulusan SMA belum tentu mampu menguasai bahasa asing,” katanya.
Hari Buruh
Ichsan menjelaskan, pada tahun politik ini, isu TKA menjadi salah satu yang akan diembuskan pada Hari Buruh tanggal 1 Mei nanti. Ia mengatakan, isu TKA ini mampu menggeser isu upah minimum provinsi (UMP) yang setiap tahun dilontarkan para buruh.
Ketua Umum Dewan Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Muchtar Pakpahan mengatakan, munculnya perpres ini menjadi momentum bagi buruh untuk menolak masuknya tenaga kerja asing. ”Namun, para buruh juga akan tetap menuntut mengenai UMP pada perayaan Hari Buruh,” ujarnya.