Sebanyak 190 kontraktor diperingatkan Pemprov DKI Jakarta karena melakukan pekerjaan galian tidak tertib, berantakan, dan tumpang tindih. Mereka diberi teguran tertulis tetapi juga ada yang diberi sanksi. Kontraktor yang terkena sanksi antara lain dilarang melakukan pekerjaan proyek sejenis selama setahun.
Kompas mencatat kejadian tersebut terjadi pada Mei 1991, atau 27 tahun lalu. Untuk mengatasi silang sengkarut proyek galian di Ibu Kota pada masa itu dibentuk pula Badan Koordinasi Pekerjaan Jaringan Sistem Bawah Tanah (BKPJ) DKI Jakarta.
Saat itu, banyak proyek galian tumpang tindih, tidak ada koordinasi antarinstansi. Pekerjaan seperti penanaman kabel telepon, listrik, air minum (PAM), dan gas berlangsung semrawut dan tumpang tindih. Terkadang, trotoar yang baru saja selesai dibangun, tidak lama kemudian akan digali kembali untuk proyek pekerjaan instansi lainnya. Jalanan yang baru saja licin di-hotmix bisa tiba-tiba diacak-acak digali karena ada pekerjaan lainnya.
Seperti deja vu, kejadian kembali berlangsung. Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menyebut, galian kabel optik yang saat ini sedang dikerjakan di beberapa kawasan menjadi sumber kemacetan, seperti halnya di kawasan Tanah Abang. "Macet, kesemerawutan di Tanah Abang gara-gara galian kabel," katanya, Kamis (19/4/2018) lalu seperti dikutip media.
Seperti terjadi di bilangan Senayan, galian tersebut bukan saja menyebabkan kemacetan lalu lintas semakin menjadi-jadi. Penggalian di saat hujan terus turun seperti beberapa hari ini menyebabkan galian itu terkesan jorok. Pejalan kaki lebih menderita karena yang harus melipir menghindari tumpukan tanah becek, selain galian yang "memakan" trotoar yang baru saja selesai dirapikan beberapa waktu lalu.
Sejak 27-an tahun lalu juga sudah digagas jika model galian "primitif" seperti itu saatnya dihentikan. Pelaksana proyek terkesan menggali jalanan atau trotoar untuk menanam kabel kemudian menguburnya. Seringkali menutup alakadarnya.
Sudah lama disadari pula, sistem gali lubang tutup lubang secara tumpang tindih, itu merupakan pemborosan anggaran. B KPJ DKI saat kepemimpinan Gubernur Wiyogo Atmodarminto pernah mengungkapkan pemborosan akibat hal tersebut mencapai ratusan miliar rupiah. Kerugian sebesar itu dihitung dari panjang galian yang terjadi di Jakarta saat itu yang mencapai 1.700 Kilometer (Kompas, 15/5/1991).
Saat itu, Pemprov DKI Jakarta pernah pula menggagas perlunya dibuat sistem duct (duct system) sebagai usaha sinkronisasi. Dengan tersedianya fasilitas sistem jaringan bawah tanah itu maka pekerjaan gali lubang tutup lubang untuk berbagai pekerjaan tidak akan terjadi lagi.
Waktu berlalu, 27 tahun kemudian gagasan lama untuk membangun sistem duct itu kembali menggaung. Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI akan merealisasikan integrated ducting system. Sistem tersebut, untuk menunjang percepatan infrastruktur layanan teknologi dan digital.
"Selama ini, masih berulang gali dan tutup lubang untuk kabel-kabel. Kami akan lakukan upaya masif dan komprhensif agar hal itu tidak terjadi lagi dengan adanya ducting bersama," kata Sandiaga seperti dikutip media.
Zaman berubah, dari zaman kertas hingga digital. Akan tetapi Jakarta masih tetap berkutat dengan pekerjaan gali lubang, tutup lubang. Atau jangan-jangan, kota ini gila gali?