Kecil-kecil Jadi Pengantin
Pernikahan adalah gerbang membangun keluarga kuat dan harmonis serta menyiapkan generasi penerus bangsa. Namun, perkawinan kerap dianggap sebagai institusi sosial yang melegalkan relasi seksual. Akibatnya, pernikahan anak terjadi tanpa negara bisa mencegahnya.
Ft (14) merengek dan merajuk saat turun dari boncengan sepeda motor pamannya. Sepertinya ia enggan turun. Jumat (20/4/2018) siang itu, sang paman mengantarkan gadis muda itu kembali ke rumah neneknya di salah satu desa di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Sejak rencana pernikahannya dengan Sm (16) viral di media sosial dan jadi pemberitaan berbagai media massa, Ft trauma. Anak yatim itu memilih meninggalkan rumah orangtua dan neneknya untuk bersembunyi di rumah keluarga lain.
Di balik kerudung hijau bermotif bunga, raut muka Ft tampak polos khas remaja. Kemeja, kardigan, dan celana jins yang dikenakannya tak bisa menyembunyikan tubuhnya yang kurus.
”Keinginan menikah ini bukan paksaan. Orangtua dan keluarga juga setuju. Walau masih muda, insya Allah saya siap,” kata Ft memulai obrolan dengan Kompas.
Ft mengaku siap bertanggung jawab, termasuk menyelesaikan sekolah hingga lulus SMA dan tak hamil dulu. Ia membantah pemberitaan sejumlah media yang menyebutnya kebelet nikah karena takut tidur sendiri.
Sm adalah calon suami yang dikenalnya lima bulan lalu. Pria yang tak lulus SD dan bungsu dari 10 bersaudara itu sehari-hari bekerja sebagai buruh bangunan atau pekerja kebun.
Cara berbicara Ft terlihat dewasa, jauh melebihi umurnya. Kesulitan ekonomi yang dialaminya membuat hidupnya jadi keras. Sejak ibunya meninggal dua tahun lalu, sepulang sekolah, Ft terpaksa bekerja jadi pramusaji, pencuci piring, hingga pembersih kedai makanan di salah satu lokasi wisata di Bantaeng.
Penghasilannya Rp 30.000-Rp 50.000 per hari. Upah sebesar itu harus ia tebus dengan bekerja dari pukul 17.00 sampai tengah malam. Jika malam minggu tiba, Ft harus bekerja hingga pukul 02.00. Uang hasil kerjanya digunakan untuk membeli kebutuhan makan sehari-hari dan jajan bagi adiknya.
”Kalau berharap kiriman dari Bapak susah, belum tentu satu atau dua bulan sekali ada kiriman,” tuturnya. Ayah Ft bekerja sebagai buruh bangunan dan pekerja serabutan di Makassar, berjarak 130 kilometer dari Bantaeng.
Saat keluarga Sm melamar, keluarga Ft langsung setuju. Pernikahan disiapkan dan undangan dibagikan. Namun, saat mengajukan izin menikah, pemerintah kecamatan dan kantor urusan agama setempat menolaknya. Pernikahan dilakukan secara siri lebih dulu pada 1 April lalu.
Selanjutnya, orangtua pengantin cilik itu mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama Bantaeng. Setelah dispensasi diberikan, Sm dan Ft bisa menikah resmi di depan penghulu pada Senin (23/4/2018).
Menyebar
Dalam waktu bersamaan, pernikahan sesama pelajar SMP terjadi di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dari video yang viral di media sosial, pernikahan 5 April lalu antara LW, siswa kelas VII, dan WP, siswi kelas VIII.
Pernikahan antara Sm dan Ft atau LW dan WP sejatinya adalah fenomena gunung es. Sejak awal tahun, kasus pernikahan remaja banyak menghiasi media. Banyaknya kasus itu menunjukkan pernikahan anak masih dianggap hal wajar di banyak kelompok masyarakat di sejumlah daerah.
Anak berhak menentukan apa yang ingin dilakukannya. Namun, ”Jika anak ingin sesuatu yang membahayakan mereka, termasuk menikah di usia anak, apa orangtua dan orang dewasa sekitarnya harus memenuhinya?” kata psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, Jumat (27/4/2018).
Otak anak masih tahap berkembang dan baru berhenti saat berumur 24-25 tahun. Di usia remaja, bagian otak yang matang lebih dulu adalah sistem limbik yang merupakan pusat emosi.
Sementara pusat pertimbangan rasional dan etika di area korteks prefrontal berkembang lebih lambat. Akibatnya, anak belum bisa berpikir rasional sehingga mereka sulit menimbang risiko atas pilihan diinginkannya, termasuk risiko menikah muda.
Anna menilai, remaja yang ingin menikah bisa jadi tak tahu ada pilihan selain menikah untuk menyelesaikan masalahnya. Pilihan menikah bisa muncul karena mencari alternatif solusi, seperti ingin disayang, kabur dari rumah, dan impian pernikahan yang indah seperti di film.
Risiko
Hak anak berpendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia. Namun, Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan kebebasan berpendapat anak dijamin berdasarkan usia dan tingkat kecerdasannya. Hingga umur 18 tahun, anak di bawah pengasuhan dan pengawasan orangtua.
Karena itu, sikap sebagian masyarakat dan aparatur pemerintah yang mengizinkan anak menikah sejatinya menjerumuskan anak dalam banyak soal. Pernikahan anak adalah tindakan berisiko tinggi yang tak hanya mengancam masa depan anak, tetapi juga masa depan bangsa.
Banyak warga beranggapan, saat anak sudah akil balig, yang ditandai datangnya menstruasi pada anak perempuan dan mimpi basah pada anak lelaki, mereka sudah dewasa dan layak menikah. Padahal, menstruasi dan mimpi basah hanya salah satu tanda pubertas yang menunjukkan mulai berfungsinya organ reproduksi mereka.
”Itu bukan berarti organ reproduksi mereka siap digunakan,” kata dosen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Tangerang dan pendiri situs pranikah.org, Fransisca Handy Agung.
Secara medis, tanda pubertas itu tak memiliki hubungan dengan kategori dewasa. Seseorang disebut dewasa jika proses tumbuh kembangnya secara biopsikososial selesai. Tanda pubertas itu hanya salah satu tanda perkembangan biologis organ reproduksinya yang akan berkembang sampai usia 18-20 tahun.
Salah satu organ yang terus berkembang hingga anak dewasa adalah alat kemaluan. Saat alat kemaluan belum matang itu dipakai untuk berhubungan seksual, baik legal maupun tidak legal, organ intim itu akan mudah terluka. Konsekuensinya, anak mudah terinfeksi aneka kuman penyakit, mulai dari hepatitis B, hepatitis C, human papillomavirus (HPV), hingga human immunodeficiency virus (HIV).
Makin muda seseorang menderita hepatitis B, kian besar risikonya terkena kanker hati. Saat terserang HPV, mereka kian mudah terkena kanker serviks (mulut rahim). Makin muda terserang HIV, kian mudah mereka terjangkit berbagai penyakit menular seksual, seperti gonore.
Rahim remaja juga belum berkembang. Jika hamil, ia akan lebih mudah mengalami anemia dan kurang gizi hingga meningkatkan risiko preeklamsia dan rentan tertular penyakit infeksi lain, seperti tuberkulosis dan malaria yang memengaruhi kehamilan banyak ibu di Indonesia. Rahim belum siap juga membuat persalinan mereka amat berisiko, mulai dari perdarahan, dinding rahim bocor, hingga sulit bersalin normal akibat panggul kecil.
”Bayi yang dilahirkan lebih berisiko kurang gizi, berat badan lahir rendah, tertular infeksi dari ibu, punya cacat bawaan, hingga lahir prematur,” kata Fransisca.
Tak hanya fisik belum matang, kemampuan kognitif remaja pun belum berkembang. Akibatnya, wawasan mereka terbatas hingga kemampuannya memecahkan masalah amat kurang. Padahal, banyak cara bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya marah atau bertengkar.
Anna menambahkan, kemampuan bahasa dan sosial remaja belum matang. Itu membuat pilihan kosakata, etika, kemampuan berkomunikasi, dan berinteraksi remaja kurang. Jika menikah, mereka sulit berbicara dengan pasangan dan bersosialisasi dengan keluarga besar.
”Tantangan terberat adalah kematangan emosi,” ujarnya. Emosi remaja masih amat labil hingga mereka mudah stres, sulit berpikir, dan depresi. Itu bisa membuat anak mengalami gangguan kepribadian ataupun jiwa.
Rumitnya kondisi, soal, dan tantangan yang harus dihadapi itu belum bisa dipahami anak. Sebab, kemampuan mereka memahami itu masih berkembang. Karena itu, mengizinkan anak menikah sama saja menjerumuskan anak dalam gudang persoalan yang akan menurunkan kualitas hidup mereka.
”Membiarkan anak masuk dalam gudang masalah tanpa mampu menyelesaikannya akibat pernikahan adalah kejahatan,” kata Anna.