IDI RAYEUK, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Aceh Timur dan Pertamina EP mendesak penutupan sumur bor minyak ilegal di Ranto Peureulak, Aceh Timur, Provinsi Aceh, secara permanen. Pasalnya, pengeboran oleh warga, selain melanggar undang-undang, juga mengancam keselamatan jiwa orang banyak. Pengelolaan sumur minyak di Ranto Peureulak sama sekali tanpa skema pelibatan warga.
Bupati Aceh Timur Hasballah M Thaib yang dihubungi, Sabtu (28/4/2018), mengatakan, Ranto Peureulak termasuk wilayah kerja sama operasi (KSO) PT Pertamina EP dengan PT Aceh Timur Kawai Energy. Selama ini sudah ada pelarangan mengebor terhadap warga. Namun, ada oknum-oknum yang ngotot dan berdalih lokasi itu berada di lingkup tanah pribadi.
Sebenarnya permukiman warga di Ranto Peureulak masuk ke dalam wilayah pertambangan Pertamina EP. Namun, potensi minyak di titik-titik yang dibor warga tergolong kecil sehingga tidak ekonomis bagi perusahaan. Meski demikian, bukan berarti warga boleh mengebor sumur.
Hasballah menginginkan semua sumur bor ilegal di kawasan itu ditutup permanen. ”Jangan hanya bicara keuntungan dan berdalih kepentingan ekonomi lalu mengesampingkan keselamatan. Yang meninggal banyak warga biasa yang tidak terlibat,” katanya.
Hasballah mengakui pengawasan masih longgar lantaran peresmian KSO Pertamina EP dengan Aceh Timur Energi baru dilakukan pada 2017. Sementara pengeboran warga sudah berlangsung sejak lama.
Pengeboran sumur minyak oleh warga melanggar UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi pada Sumur Tua. ”Tak ada sumur tua dikelola warga. Semua sumur bor baru. Ke depan tak boleh ada lagi,” kata Hasballah.
Tak berizin
Public Relations PT Pertamina EP Robert Marchelino Verieza Dumatubun mengungkapkan, lokasi sumur minyak yang terbakar Rabu masuk ke dalam kawasan KSO Pertamina EP dan PT Aceh Timur Kawai Energy. Ia menegaskan, aktivitas pengeboran warga tak berizin.
Dalam kasus di Ranto Peureulak, kata Robert, secara regulasi tidak ada skema yang bisa melibatkan warga dalam mengelola minyak. Sebab, di sana tidak ada sumur tua yang bisa dikelola warga. ”Industri ini risikonya besar, bahkan nyawa menjadi taruhan. Kegiatan illegal drilling berisiko keselamatan nyawa dan lingkungan,” ujar Robert.
Dalam Peraturan Meneteri ESDM Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan warga melalui koperasi dan BUMD hanya boleh mengelola sumur tua. Sementara di Ranto Peureulak, warga mengebor sumur baru. Selama ini, minyak yang dihasilkan dari sumur-sumur itu dijual ke pasar gelap di Sumatera Utara.
Namun, kata Robert, dalam waktu dekat para pemangku kepentingan akan membicarakan bersama bagaimana tindak lanjut terhadap kawasan Ranto Peureulak. Saat ini, mereka masih fokus menangani sumur yang terbakar.
Kebakaran sumur minyak di Ranto Peureulak menewaskan 21 warga, 39 warga luka berat, 5 rumah habis terbakar, dan harta benda warga musnah. Selain itu, 198 warga yang tinggal di radius 100 meter dari titik semburan harus diungsikan.
Hingga hari keempat setelah kebakaran, semburan air bercampur gas masih terjadi. Warga belum dibolehkan memasuki kawasan terbakar. Tumpahan minyak disedot dengan mobil tanki dibuang ke lokasi yang aman.
Kepala Kepolisian Resor Aceh Timur Ajun Komisaris Besar Wahyu Kuncoro menuturkan, penyelidikan terus berjalan. Polisi telah memeriksa beberapa orang yang diduga pemilik sumur. Belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka.