Karya paling mulia adalah bagaimana setiap orang meninggalkan warisan kepada generasi selanjutnya berupa bumi tempat dia tinggal benar-benar seimbang. Merealisasikan bumi yang sehat sehingga penghuninya pun bisa sejahtera lewat gerakan menghijaukan lingkungan paling dekat, yaitu rumah atau tempat tinggal sendiri.
Jika bumi seimbang artinya hijau, bersih, dan tertata, maka cara berpikir dan bertindak penghuni cenderung lebih logis dan bersahabat. Sekat berupa perbedaan suku, golongan, dan agama langsung mencair. Bahkan, dalam keseharian melalui ruang terbuka hijau atau sekitar 400 taman dengan masing-masing memiliki tema yang sudah ada dan terus bertambah di Kota Surabaya, perbedaan nyaris tanpa ada sekat. Agar warisan berupa bumi yang sehat dan seimbang demi kesejahteraan warganya sepanjang masa, menurut Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, jangan pernah berhenti menanam pohon. Gerakan menghutankan kota jangan pernah kalah oleh kian menjulang tingginya hutan tembok.
Menghutankan atau menghijaukan kembali Kota Surabaya dengan suhu udara maksimal pernah mencapai 34 derajat celsius sudah dimulai secara serius oleh Tri Rismaharini ketika menjabat sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya pada 2005.
Berbagai gerakan dimulai dari rukun tetangga (RT), mulai dari gerakan jangan membuang sampah sembarangan, memilah sampah, mengolah sampah bernilai ekonomi, hingga memanfaatkan sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) Benowo. Dahulu TPA Keputih menjadi sumber energi listrik.
Setelah menghijaukan Surabaya dengan luas 350 kilometer persegi ini, Pemerintah Kota Surabaya terus mencari celah untuk menghadirkan sepotong amazon di kota ini meski realitanya sudah ada hutan mangrove dengan kondisi terpotong-potong karena serbuan bangunan sepanjang Pantai Timur Surabaya, dari Wonorejo, Sukolilo, Kenjeran hingga Gunung Anyar.
Setapak demi setapak, bangunan yang berada di atas kawasan hutan mangrove pun mulai dibebaskan Pemkot Surabaya. Kawasan hutan mangrove itu akan menjadi satu kawasan utuh dan benar-benar menjadi hutan sekaligus tempat menepi, menimba ilmu sekitar kawasan mangrove dengan menwujudkan Hutan Raya Mangrove Surabaya.
Dengan menggandeng Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan atas dukungan kuat dari Ketua Umum Yayasan Kebun Raya Indonesia (YKRI) Megawati Soekarnoputri, Indonesia akan memiliki kebun raya mangrove pertama di dunia di Surabaya.
Penanda dari langkah untuk mewujudkan mimpi itu, LIPI, Yayasan Kebun Raya Indonesia (YKRI), serta didukung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Pemerintah Kota Surabaya telah menandatangani nota kesepahaman di puncak acara Jaga Bhumi Festival di Jalan Tunjungan Surabaya, Minggu (29/4/2018). Gagasan membangun kebun raya mangrove mulai gencar diperbincangkan sejak 2017 melalui pertemuan rutin LIPI, YKRI, dan Pemkot Surabaya.
Di Hutan Raya Mangrove Surabaya, yang selama ini sudah menjadi tempat transit puluhan jenis burung dari Eropa dan Australia, terdapat 26 spesies mangrove yang dikembangkan. Penghuni kawasan hutan akan dilengkapi puluhan jenis satwa, termasuk burung lokal dan burung migrasi serta hewan air, seperti kepiting dan ikan.
Saat ini saja sudah ada 60 hektar lahan di Wonorejo, dari 200 hektar atau bahkan bisa lebih luas lagi, karena Pemkot Surabaya terus membebaskan lahan untuk kelak menjadi wilayah hutan raya mangrove, yang mulai beroperasi tahun 2019. Demi mewujudkan kebun raya mangrove, Pemkot Surabaya tahun ini menyiapkan Rp 17 miliar untuk pembebasan lahan seluas 30 hektar.
Luasan lahan kemungkinan masih bisa terjadi karena, menurut Risma, pada 1978, luas hutan mangrove di Surabaya masih 3.300 hektar, tetapi pada 1985 menyusut tinggal 2.500 hektar. Pihaknya pun menjadikan kawasan pantai timur Surabaya sebagai kawasan konservasi mangrove, termasuk untuk rehabilitasi dan edukasi sejak 2009. Maka, akan banyak kemungkinan ratusan bangunan permanen yang sudah berdiri di atas areal konservasi mangrove dibebaskan pemkot.
Kehadiran Hutan Raya Mangrove Surabaya, menurut Risma, merupakan kebanggaan bagi Surabaya karena kota dengan penduduk 3,5 juta jiwa ini berkontribusi sebagai paru-paru dunia. Setidaknya nanti ada sekitar 2.600 hektar lahan mangrove di Surabaya, termasuk di Wonorejo dan Gununganyar. ”Ini hanya salah satu noktah kecil tetapi menjadi tempat bumi bergantung, menjadi salah satu paru-paru dunia, dan tempat tumbuh kembangnya biota laut,” ujar satu dari delapan wali kota covenant yang dipilih Dewan Global Covenant of Mayors for Climate and Energy.
Ini hanya salah satu noktah kecil tetapi menjadi tempat bumi bergantung, menjadi salah satu paru-paru dunia, dan tempat tumbuh kembangnya biota laut.
Pada kesempatan itu, Ketua II YKRI Alexander Sonny Keraf mengatakan, kebun raya mangrove terbesar di dunia di Surabaya itu punya multifungsi. Sonny menyebutkan, mangrove bisa menahan abrasi, baik oleh gelombang maupun naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global.
Mangrove juga bisa menyerap karbon dioksida lima kali tanaman lainnya. Mangrove bisa untuk tempat perkembangbiakan biota laut, seperti kepiting udang, dan ikan. Mangrove bisa untuk ekowisata dan areal singgah burung migrasi. Jadi, Kebun Raya Mangrove dimaksudkan sebagai upaya mencegah abrasi. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas hutan mangrove di Indonesia saat ini 3,49 juta hektar tersebar di 257 kabupaten atau kota, 42 persen kondisi baik, selebihnya sedang dan rusak.
Pelaksana Tugas Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bambang Subiyanto mengapresiasi Pemkot Suabaya menginisiasi kebun raya mangrove. Kebun raya berfungsi menjadi sarana edukasi, laboratorium hidup, dan biologi. Kebun raya juga berfungsi untuk konservasi, melindungi tanaman, memberikan jasa lingkungan, dan ekowisata. ”Adanya kebun raya mangrove melengkapi jumlah kebun raya di Indonesia yang ditargetkan mencapai 47 kebun raya,” katanya.
Ketua Umum YKRI Megawati Soekarnoputri mengatakan, yang tak kalah penting juga membangun dari sisi sosial dan budaya. Ia mengharapkan warga mendukung dengan ramai-ramai menanam mangrove dan pohon lainnya. Harapannya, Surabaya menjadi lebih nyaman dan menjadi taman flora terbesar di dunia. Animo semua pihak dan masyarakat untuk mendirikan kebun raya patut dihargai. Itu menunjukkan masyarakat punya cinta kasih sayang terhadap tumbuhan (flora) dan hewan (fauna). Indonesia sejajar dengan Brasil dalam menyumbangkan oksigen untuk paru-paru dunia.
Kendati demikian, tidak cukup dengan kebun raya saja, kota harus ditata lebih baik serta tanaman dan taman diperbanyak agar rindang dilengkapi sarana rekreasi anak. Untuk itu, warga dituntut ikut mendukung program menanam pohon. ”Mangrove dan tanaman menyumbang oksigen yang besar. Banyaknya pohon yang ditanam bukan saja membuat rindang, melainkan udaranya juga lebih sejuk,” kata Megawati.
Hijaunya Surabaya dengan dukungan begitu kuat dari warga mendapat penghargaan Sustainable City and Human Settlements Award (SCAHSA) untuk kategori Global Green City dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin (31/10/2017) di New York, Amerika Serikat.