Sejumlah televisi sering menyiarkan program reality show yang mengumbar kehidupan pribadi seseorang secara dramatis dengan muatan kekerasan. Meski ini pelanggaran UU Penyiaran, penyelenggara tidak kena sanksi.
JAKARTA,KOMPAS -- Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran menyesalkan munculnya pelanggaran-pelanggaran terhadap isi siaran di televisi. Akhir-akhir ini, banyak bermunculan program-program acara yang melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran atau P3SPS, tetapi tidak ditindak oleh Komisi Penyiaran Indonesia.
Pelanggaran isi siaran, antara lain ditandai dengan munculnya program reality show yang mengumbar kehidupan pribadi seseorang secara dramatis dengan muatan kekerasan di dalamnya. Ironisnya, acara-acara seperti itu justru ditayangkan setiap hari di siang dan sore hari saat anak-anak dan remaja banyak menonton televisi.
“Jika melihat muatannya, patut dipertanyakan apakah muatan acara yang disebut reality show itu sesuai dengan kriteria acara untuk remaja yang telah ditetapkan dalam P3SPS. Acara ini umumnya mengumbar konflik keluarga atau kehidupan pasangan. Dengan tampilnya banyak program sejenis ini, KPI seperti membiarkan penonton TV untuk menikmati kembali siaran model \'Termehek-mehek\', sebuah program TV yang saat muncul dulu mendapat banyak kritik masyarakat,” kata Hendriyani, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia sekaligus pegiat Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP), akhir pekan lalu, di Jakarta.
Program acara lain yang tak sesuai dengan kaidah P3SPS tetapi terus-menerus ditayangkan adalah acara-acara televisi bernuansa mistis lengkap dengan menghadirkan paranormal. Sama seperti acara-acara reality show yang menyuguhkan konflik keluarga, acara-acara mistis juga diputar pada jam-jam tayang siang dan sore hari atau siaran berklasifikasi siaran “Remaja”.
Tidak komprehensif
Bayu Wardhana, anggota KNRP lainnya, mengungkapkan, pelanggaran-pelanggaran itu tidak tampak pada hasil evaluasi tahunan KPI yang disampaikan awal tahun ini.
“Evaluasi tahunan yang digelar KPI tidak komprehensif. Mereka lebih banyak mempersoalkan banyaknya kuota muatan lokal tanpa membongkar apakah sistem stasiun berjaringan sudah berjalan dengan semestinya atau belum. KPI lebih banyak menyampaikan hal-hal yang bersifat normatif dalam evaluasi tersebut dan tidak mengungkap bagaimana sesungguhnya rapor setiap stasiun televisi yang mereka evaluasi,” kata dia, Kamis (26/4/2018).
Munculnya pembiaran-pembiaran terhadap isi siaran selama ini, menurut dosen Universitas Padjadjaran Eni Maryani menunjukkan bagaimana KPI belum bekerja dengan baik sesuai kewajiban yang telah ditetapkan UU Penyiaran. Karena sejak awal KPI dipilih oleh Komisi I DPR, maka semestinya Komisi I DPR terus-menerus memantau kinerja jajaran anggota KPI.
“Patut dipertanyakan juga oleh anggota Komisi I DPR mengapa KPI sekarang lebih banyak memberikan pembinaan atau peringatan kepada stasiun-stasiun televisi saja, sesuatu yang sifatnya non sanksi. Padahal, sudah jelas, sesuai UU Penyiaran, seharusnya KPI menjatuhkan sanksi administratif jika ada pelanggaran isi siaran,” ujarnya.
Diajak bicara
Sebelumnya, Komisioner KPI Pusat, Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran, Hardly Stefano Pariela, membenarkan bahwa KPI sekarang banyak melakukan pendekatan persuasif kepada lembaga-lembaga penyiaran swasta.
”Kami kedepankan dialog karena kami meyakini teman-teman industri (televisi) bisa diajak bicara. KPI menitikberatkan adanya sinergi di antara para pemangku kepentingan penyiaran untuk meningkatkan kualitas isi siaran,” ujarnya.
Bersamaan dengan menguatnya pendekatan persuasif KPI dalam pengawasan isi siaran, penjatuhan sanksi KPI terhadap lembaga penyiaran sangat jauh berkurang.
Sepanjang 2017, KPI hanya memberikan 82 sanksi, terdiri dari 69 teguran tertulis pertama, 8 teguran tertulis kedua, dan 5 penghentian sementara. Sementara pada 2016, total sanksi yang dikeluarkan KPI mencapai 175 sanksi, terdiri dari 157 teguran tertulis pertama, 14 teguran tertulis kedua, dan 4 penghentian sementara.
Dalam Refleksi Akhir Tahun KPI 2016, KPI mencantumkan rekapitulasi upaya-upaya persuasif di luar sanksi administratif yang diatur Undang-Undang Penyiaran dan P3SPS meliputi 23 pembinaan dan 154 peringatan tertulis. Namun, pada Refleksi Akhir Tahun KPI 2017, KPI tidak melaporkannya.
”Kenapa fokusnya bukan pada (pemberian) sanksi? Kalau ukuran kinerjanya dari sanksi, maka yang muncul hanya kesalahan-kesalahan. Namun, ini soal penyadaran wawasan untuk selamatkan bangsa,” tambah Obsatar Sinaga, Komisioner KPI Pusat, Koordinator Bidang Kelembagaan.