Jejak Gagasan Demokrasi Ekonomi SK Trimurti
Pada Hari Buruh Internasional ini, topik bahasan tentang demokrasi ekonomi kembali menjadi sorotan, terutama lagi terkait dengan prinsip keadilan sejahtera bari seluruh anak bangsa, termasuk nasib para buruh yang semestinya diatur melalui sistem pengupahan yang layak bagi mereka.
Bicara mengenai demokrasi ekonomi, ingatan masyarakat biasanya akan langsung tertuju pada Proklamator Kemerdekaan Mohammad Hatta. Rupanya, Hatta tidak sendirian. Menteri Perburuhan pertama yang menjabat pada 3 Juli 1947-29 Januari 1948, Surastri Karma Trimurti (nama disesuikan ke ejaan baru), pun memikirkan gagasan serupa.
Ide-ide Surastri Karma (SK) Trimurti mengenai demokrasi ekonomi setidaknya dapat ditelusuri dari tulisan-tulisannya di harian Kompas pada periode 1968-1970. Kala itu, perhatian Trimurti pada kondisi ekonomi nasional dan internasional memang kian meningkat. Tidak hanya didorong latar belakangnya sebagai menteri dan aktivis perburuhan, tetapi juga dari kegiatan akademik yang ia tekuni.
Produktivitas dia dalam menulis sejalan dengan profesinya sejak masa pergerakan nasional, yaitu sebagai jurnalis. Adapun keinginan Trimurti menjadi jurnalis bermula dari keikutsertaannya pada Partai Indonesia (Partindo).
Di organisasi politik pecahan Partai Nasional Indonesia (PNI) itu, Ir Soekarno sebagai pemimpin menugaskannya menulis berbagai artikel di surat kabar Fikiran Rakjat. Mulai dari situ, Trimurti aktif menulis hingga membuat surat kabarnya sendiri.
Selepas dari jabatan sebagai Menteri Perburuhan di Kabinet Amir Sjarifuddin, perempuan yang pernah menjadi anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) itu kembali menuntut ilmu. Pada 1953, ia belajar ilmu ekonomi di Universitas Indonesia.
Dalam kumpulan tulisannya yang dibukukan ke dalam 95 Tahun SK Trimurti, dia mengatakan, ilmu ekonomi dipilih guna memperluas pengetahuan mengenai sistem ekonomi kapitalis ataupun sistem ekonomi sosialis.
Petualangan intelektualnya tidak berhenti ketika dia lulus pada 1960. Memasuki 1962-1964, Trimurti mempelajari workers management di Yugoslavia sekaligus melakukan studi banding mengenai sistem ekonomi di negara-negara Eropa Timur (Kompas, 12/5/1982).
Dari perjalanan tersebut, liberalisasi Cekoslowakia menjadi sorotan utama Trimurti. Menurut dia, Cekoslowakia merupakan negara sosialis yang mulai memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk menentukan jalannya negara. Sebagai negara sosialis, Cekoslowakia mengarah kepada praktik-praktik demokrasi.
Praktik demokrasi itu setidaknya terlihat dari pembentukan parlemen bernama Majelis Nasional, anggotanya dipilih dan diawasi rakyat pekerja atau kelas buruh. Selain itu, rakyat pekerja juga memiliki hak untuk menurunkan anggota Majelis Nasional yang kinerjanya buruk.
”Oleh karena badan-badan ini dipilih rakyat, maka harus bertanggung jawab kepada rakyat dan rakyat mengawasi kegiatan wakil-wakilnya. Dengan begini, rakyat (rakyat pekerja) ikut serta secara aktif dalam pemerintahan negara, ikut mengatur, memimpin, dan mengawasi semua kegiatan ekonomi, kesehatan, sosial, dan kebudayaan,” kata Trimurti (Kompas, 5/8/1968).
Ia menambahkan, meski masih terbatas pada satu golongan masyarakat, cara yang ditempuh Cekoslowakia memunculkan peluang kebebasan berpikir. Peran serta masyarakat juga menjadi awal determinasi mereka agar tidak bergantung kepada negara lain.
Selain itu, rakyat pekerja juga diikutsertakan dalam kegiatan ekonomi nasional melalui serikat buruh. Trimurti menjelaskan, serikat buruh diikuti seluruh pekerja yang mendapatkan upah. Mereka tidak dibedakan dari aliran politik, agama, dan kebangsaan.
Tugas serikat buruh, terutama, menjaga agar rencana perusahaan itu sesuai dengan kepentingan nasional.
Di setiap perusahaan, serikat buruh berperan merencanakan nilai upah, tingkat hidup, dan jaminan sosial berdasarkan undang-undang. Di samping itu, mereka juga dilibatkan dalam pembuatan rencana kerja, jaminan kesehatan, perumahan, dan kemungkinan pola kerja yang baru.
”Tugas serikat buruh, terutama, menjaga agar rencana perusahaan itu sesuai dengan kepentingan nasional,” ujar Trimurti.
Serikat buruh memiliki hak untuk membentuk dewan ekonomi teknis (technical economic councils) yang terdiri dari para insinyur dan ahli teknis lain. Mereka berinovasi membuat teknik-teknik kerja baru agar pekerjaan bisa dilakukan secara lebih efisien dan meningkatkan hasil produksi, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Selain itu, Pemerintah Cekoslowakia juga menasionalisasi sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak, antara lain mineral, kehutanan, pengairan, transportasi, dan komunikasi. Juga melarang penggunaan tanah hanya untuk kepentingan kaum pemodal.
Dalam hal hubungan antarnegara, Cekoslowakia juga melonggarkan hubungannya dengan negara-negara sosialis. ”Perkembangan demokratisasi dan liberalisasi dalam batas-batas tertentu yang diterapkan pada rakyat pekerja telah mendorong semangat rakyat melawan siapa saja yang akan mendikte negaranya,” kata Trimurti.
Selain menyoroti perkembangan dunia internasional agar bisa menjadi pelajaran secara nasional, Trimurti juga selalu mengikuti perkembangan di dalam negeri. Terutama mengenai perkembangan sektor pertanian, ia mendukung penyaluran kredit dari luar negeri untuk meningkatkan produksi pertanian.
Pada 24 Mei 1968, Departemen Pertanian (sekarang Kementerian Pertanian) menandatangani kerja sama kredit dengan perusahaan CIBA. Kredit yang diberikan ditujukan untuk pengembangan sektor pertanian (Kompas, 8/10/1968).
Trimurti mengatakan, penyaluran kredit bermanfaat bagi petani untuk memperbarui teknologi pertanian agar proses kerja berlangsung lebih efisien. Selain itu, dari total 8 juta hektar sawah di Indonesia, baru 50 persen yang telah mendapatkan jaringan irigasi sehingga bisa menanam dua kali setahun. Sisanya masih mengandalkan air hujan sehingga hanya mampu panen sekali dalam setahun.
Menurut Trimurti, produksi pertanian juga bisa diperkuat dengan mengaktifkan kembali konsep lumbung desa. Jelang akhir 1968, harga beras naik, masyarakat relatif kesulitan mendapatkan beras. Akan tetapi, tidak banyak warga yang mau membuat lumbung desa (Kompas, 26/11/1968).
Padahal, lumbung desa berperan sebagai pusat penampungan produksi pangan. Lumbung desa juga bisa berfungsi sebagai pusat pembelian bahan pangan. Tanpa lumbung desa, para petani tidak bisa melindungi diri dari para tengkulak. Tengkulak menjadi satu-satunya tempat untuk menjual hasil produksi mereka, tetapi dengan harga yang terlampau murah.
Tenaga kerja dan industrialisasi
Pada akhir tahun 1960-an, dunia usaha di Indonesia mulai menerapkan rasionalisasi dalam pola kerjanya untuk meningkatkan efisiensi. Trimurti menyayangkan penerapan rasionalisasi dimaknai sempit oleh para pengusaha, yaitu sebagai langkah untuk mengurangi tenaga kerja secara besar-besaran. Mereka yang telah dipecat, terkatung-katung, tidak memiliki masa depan.
Oleh karena itu, menurut dia, perlu ada perlindungan khusus bagi para tenaga kerja. Penerapan rasionalisasi dalam dunia usaha perlu diiringi dengan kebijakan pemerintah yang melarang pemecatan secara besar-besaran (Kompas, 20/11/1968).
Mereka yang sudah telanjur dipecat pun mesti disediakan atau menciptakan lapangan kerja baru. Trimurti mengusulkan agar pekerja yang dipecat membentuk perusahaan baru dengan uang pesangon yang mereka miliki. Keahlian mereka bisa menjadi modal untuk membangun perusahaan yang lebih maju ketimbang sebelumnya.
Penyakit kronis
Bagi Trimurti, pemecatan besar-besaran menambah pelik masalah pengangguran yang belum bisa diselesaikan. Dia pun menyebut masalah pengangguran tersebut sebagai penyakit kronis yang tak kunjung bisa disembuhkan.
”Employment gap yang sampai sekarang mencapai 0,5 persen sampai 1 persen setahunnya. Ini disebabkan karena perbedaan yang mencolok antara pendapatan nasional yang terbelakang dan pertambahan penduduk,” kata dia (Kompas, 21/11/1968).
Trimurti mengatakan, semestinya pemerintah bisa mempersiapkan iklim yang baik bagi pembangunan dan industrialisasi.
Saat itu, berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 1967, pertambahan pendapatan nasional rata-rata setiap tahun adalah 1,8 persen. Sementara itu, pertambahan penduduk setiap tahun mencapai 2,8 persen. Kondisi ini belum dipikirkan pemerintah.
Oleh karena itu, Trimurti mengatakan, semestinya pemerintah bisa mempersiapkan iklim yang baik bagi pembangunan dan industrialisasi agar menyeimbangkan pengembangan ekonomi baik di sektor pertanian ataupun industri.
Untuk menciptakan iklim tersebut, pemerintah hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu membangun prasarana ekonomi, telekomunikasi, dan transportasi; menempatkan tenaga ahli di lapangan kerja langsung bukan di kantor; melindungi dan mengawasi pertumbuhan usaha nasional; serta menyusun APBN secara sektoral bukan berdasarkan departemen.
Dalam lingkup internasional, Surastri memandang Organisasi Buruh Internasional (ILO) juga perlu dikoreksi. Susunan dan sistem pengorganisasiannya masih didominasi dan memprioritaskan negara industri dari Eropa (Kompas, 24/9/1970).
”Dengan demikian, yang banyak menerima manfaat dari ILO adalah negara-negara industri, sedangkan negara-negara berkembang jatuh nomor dua,” ujar Trimurti.
Menurut dia, sistem pengorganisasian tersebut harus diubah. Sebab, kebanyakan negara Asia, kecuali Jepang, masih berjuang untuk melepaskan ketergantungan dari negara Eropa yang sebelumnya menjajah mereka.
Kondisi perekonomian nasional masih menunjukkan persoalan yang telah dibahas Trimurti 50 tahun yang lalu seperti pengangguran.
Negara berkembang ingin menentukan nasibnya sendiri setelah merdeka. Hal itu menjadi sulit dilaksanakan jika dalam ILO negara-negara Eropa menjadi pengambil keputusan mutlak.
Dalam kondisi demikian, Trimurti mengatakan, masyarakat di Asia perlu memperkuat serikat buruh. Serikat buruh hendaknya bebas dari tekanan pengusaha besar dan elite politik yang ingin menggunakan mereka alat untuk mengambil keuntungan, tetapi tidak memberikan keleluasaan untuk menentukan nasib. Di Asia, kebanyakan serikat buruh masih menjadi bagian dari partai politik tertentu sehingga posisinya menjadi lemah.
Padahal, untuk memajukan industri, semestinya penguatan serikat buruh harus segera dilakukan beriringan dengan penguatan serikat pengusaha. Dengan kesatuan itu, sejumlah permasalahan dalam ranah industri bisa segera dipecahkan.
Meski SK Trimurti sudah wafat lebih dari 10 tahun lalu, gagasan dan karyanya abadi dalam perjalanan bangsa. Pemikiran-pemikirannya dalam bidang ekonomi pun masih relevan hingga saat ini.
Kondisi perekonomian nasional saat ini masih menunjukkan persoalan yang telah dibahas Trimurti 50 tahun yang lalu, seperti pengangguran, industrialisasi yang jalan di tempat, serta kecilnya kesempatan negara berkembang untuk berperan dalam perekonomian dunia.