Kisah Lahirnya ”May Day”, Jalan Berliku Perjuangan Buruh
Hingar-bingar peringatan perjuangan kaum buruh di beberapa tempat di Jakarta dan kota lain di Indonesia pada 1 Mei 2018 merupakan tradisi lanjutan dari unjuk rasa ribuan buruh di Haymarket Square, Chicago, Amerika Serikat, 1-4 Mei 1886. Diawali secara damai, demonstrasi itu berakhir dengan tragis.
Demonstrasi yang berlanjut sampai 4 Mei 1886 berakhir tragis setelah kelas penguasa terusik. Dengan alat kekerasannya, negara menembaki pekerja yang melakukan demonstrasi dan menewaskan ratusan buruh.
Ledakan bom pun terjadi pada hari terakhir itu menewaskan sejumlah polisi, buruh, dan pemimpin serikat buruh. Sejak itu, sejumlah negara menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional (International Workers\' Day/May Day).
Pada era revolusi industri yang terjadi di sejumlah negara Barat pada awal abad ke-19, pekerjaan sering sekali dipandang sangat berat, kotor, dan berbahaya.
Sejarah May Day tidak terlepas dari perjuangan kelas buruh dalam menuntut 8 jam kerja.
Abad ke-19 adalah periode paling buruk dan melelahkan karena kelas buruh dihadapkan pada kenyataan bahwa dari 24 jam sehari, mereka bekerja rata-rata 18 sampai 20 jam.
Itu sebabnya, pada 1 Mei 1886, hampir 90.000 buruh di AS melakukan demonstrasi menuntut 8 jam kerja. Dalam beberapa hari demonstrasi ini segera direspons dengan pemogokan umum, yang membuat sekitar 70.000 pabrik terpaksa ditutup, dan aksi berakhir dengan ledakan bom.
Kenneth C Davis, sejarawan AS, menceritakan dalam video TED-Ed, orang-orang bekerja hingga 12 jam per hari, selama enam hari per minggu, dan tanpa tunjangan seperti cuti, perawatan kesehatan, dan pensiun. Anak-anak di bawah umur, usia 10 tahun, bekerja di tempat berbahaya, seperti pertambangan batubara atau pabrik tidak jarang.
Dalam upaya menurunkan jam kerja, mendapatkan tempat kerja yang aman, dan upah yang lebih adil, para buruh di AS dan Kanada membentuk serikat buruh. Namun, kegiatan mereka sering kali dihambat perusahaan tempat mereka bekerja. Tekanan kepada serikat buruh itu terkadang dibantu aparat kepolisian dan militer.
Pada 5 September 1882, serikat buruh mengorganisasi perkumpulan para buruh di Union Square, New York City, dalam rangka menghormati para buruh dan kerja keras mereka.
Hari itu dijadikan hari libur yang diisi dengan piknik, parade, juga unjuk rasa yang menuntut perbaikan kondisi kerja. Hari itu merupakan yang pertama kalinya hari buruh dirayakan.
Selebrasi hari buruh dan semangat solidaritas itu mulai tersebar ke wilayah lain di AS hingga ke Kanada. Demonstrasi di Haymarket Square pada 1-4 Mei 1886 yang berakhir fatal menandai hari peringatan perjuangan para buruh yang dirayakan di sejumlah negara.
Majalah Time mencatat, 4 Mei 1886 pukul 20.00, sekitar 3.000 demonstran masih menyuarakan aspirasinya mengenai kekejaman pihak kepolisian dan menuntut delapan jam kerja per hari. Pada pukul 22.00, jumlah mereka berkurang menjadi ratusan.
Ketika seorang kapten dari kepolisian memerintahkan para demonstran untuk bubar, terjadi ledakan bom yang melukai 67 polisi. Tujuh di antara mereka meninggal. Polisi kemudian menembak, melukai 200 orang, dan membunuh beberapa orang lain.
Dalam laporannya, Aljazeera menyebutkandelapan orang yang dianggap sebagai anarkis ditangkap oleh polisi. Empat digantung mati, satu bunuh diri, dua dipenjara seumur hidup, dan satu dibui selama 15 tahun.
Dalam rangka memperingati kejadian itu, pada 1889 Konferensi Sosialis Internasional (International Socialist Conference/ISC) mendeklarasikan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional.
Libur nasional
Pada 1894, Presiden AS Grover Cleveland menjadikan hari buruh sebagai hari libur nasional. Hari libur itu ditetapkan pada September untuk menghindari persepsi radikal yang diasosiasikan pada 1 Mei.
Walaupun demikian, aspirasi para buruh itu baru terealisasi pada periode Depresi Besar yang terjadi mulai 1929.
Pada 1938, Presiden AS Franklin D Roosevelt menandatangani peraturan standar kerja yang adil (fair labor standard act). Peraturan itu menuntut delapan jam kerja per hari, lima hari kerja per minggu, dan akhir dari pekerja anak.
Merayakan musim panas
Tanggal 1 Mei tidak hanya tentang perjuangan kaum buruh dan kampanyenya, tetapi juga tentang perayaan musim semi dan awal musim panas, khususnya di negara-negara Eropa.
Menurut majalah Time, May Day juga berarti bunga, rumput, piknik, anak-anak, dan rok.
Di Inggris, perayaan May Day itu sudah berlangsung sejak peradaban Anglo-Saxon atau sekitar 10 abad setelah Masehi. Hari libur May Day di Inggris itu ditetapkan pada hari Senin pertama bulan Mei.
Di Indonesia
Berdasarkan catatan Kompas, buruh dipandang berbahaya pada masa Orde Baru dan dikontrol ketat oleh pemerintah karena dianggap identik dengan gerakan komunis.
Pada 1960-an, ada banyak gerakan atau organisasi buruh yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hari libur yang merayakan perjuangan buruh pada 1 Mei pun dihapus oleh penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto, pada April 1968.
Hari libur pada 1 Mei itu kembali ditetapkan pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013.
Isu yang disuarakan oleh para buruh di Indonesia sekarang bisa dibilang serupa dengan yang isu yang diperjuangkan para buruh di AS dua abad lalu, seperti upah yang dinilai tidak layak, kondisi kerja yang berat secara fisik, dan masih adanya pekerja anak.
Dalam laporan ”Meningkatkan Keselamatan dan Kesehatan Pekerja Muda (2018)”, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebut pekerja muda cenderung memiliki keterampilan, pengalaman kerja, dan daya tawar terbatas.
Akibatnya, mereka kerap dipekerjakan pada level pemula, bidang yang tidak diinginkan, bekerja dengan upah rendah dan rentan, serta jam kerja berlebihan. (Kompas, 30/4/2018)
Dalam Lembar Fakta Perlindungan Buruh Sawit Indonesia 2018 oleh Koalisi Buruh Sawit Indonesia disebutkan, upah harian riil para buruh kelapa sawit lebih rendah daripada upah minimum kota/kabupaten (UMK).
Di Kalimantan Tengah, upah harian riil mereka dihitung Rp 59.400. Sementara itu, UMK provinsi itu Rp 84.116. Di Papua, upah harian riil para buruh Rp 61.295 dan UMK provinsi Rp 96.672.
Entah, sampai kapan nasib buruh seperti mereka ini akan lebih baik. Siapakah yang lebih peduli kepada mereka? (AFP/REUTERS).