Perang Dunia II, Tintin, dan Karya Sudjojono
Jakarta masa silam memiliki bandara bersejarah. Selain Vliegveld (lapangan terbang) Tjililitan di Jakarta Timur (yang kini menjadi Lanud Halim Perdanakusuma), juga ada Vliegveld Kemajoran yang dioperasikan pada 8 Juli 1940. Bandara Kemajoran dioperasikan dalam suasana Perang Dunia II, selang dua bulan setelah Kerajaan Belanda diserbu dan diduduki pasukan Nazi Jerman 10-15 Mei 1940.
Selain digunakan sebagai basis operasi maskapai penerbangan asal Belanda, KLM, ada maskapai lokal Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) yang melayani penerbangan di Hindia Belanda dari Kemayoran. Panjang landasan Bandara Kemayoran mencapai 3.100 meter. Dalam peta Hindia Belanda terbitan tahun 1920-an, terdapat Scheit Terrein atau Lapangan Tembak militer di dekat Vliegveld Kemajoran.
Setelah serangan Jepang ke Pearl Harbor, 8 Desember 1941, Vliegveld Kemajoran menjadi bagian dari lokasi pertahanan Sekutu dalam Komando America, British, Dutch, Australia (ABDA) yang bermarkas di Kota Bandung. Wilayah Batavia dan sekitarnya memiliki sejumlah lapangan terbang selain Kemajoran dan Tjililitan, seperti Pondok Tjabe dan Tjisaoek di dekat Tangerang, Semplak di Buitenzorg (kini Bogor), serta di Tjikampek.
Dalam buku The Loss of Java karya PC Boer disebutkan adanya lokasi pertahanan udara (luchtdoel artillerie) atau artileri pertahanan udara (arhanud) untuk melindungi pangkalan-pangkalan udara di Batavia, seperti di dekat Tanjung Priok dan Tebet. Ini di luar baterai-baterai arhanud di sekitar lapangan-lapangan terbang itu sendiri.
Selain diawaki tentara Belanda, kesatuan-kesatuan arhanud di Batavia waktu itu juga beranggotakan pasukan dari Batalyon Artileri 131 US Army (Angkatan Darat AS) dari Texas dan pasukan Royal Air Force (RAF) Inggris yang tergabung dalam Java Air Command (Komando Udara Jawa).
Lokasi pertahanan udara tersebut kini digunakan Batalyon Arhanud TNI di dekat Kebun Bawang, Tanjung Priok, dan masih terdapat lahan di wilayah Tebet yang dimiliki TNI, bekas lokasi pertahanan udara zaman Perang Dunia II tersebut.
Menurut sejarawan Rushdy Hoessein dalam acara wisata sejarah Sahabat Museum, Minggu (22/4/2018), terdapat sejumlah pesawat milik Sekutu yang disita Jepang ketika berhasil menguasai Kota Batavia, termasuk di Kemajoran dan Tjililitan, pada Maret 1942.
”Tahun 1970-an dan tahun 1980-an sebelum ditutup, saya sering menonton pesawat turun naik di Kemayoran dari pantai Ancol. Sayang tidak banyak yang diselamatkan dari lokasi peninggalan sejarah di sekitar kompleks bekas Bandara Kemayoran yang mewarnai sejarah Jakarta dan Indonesia,” kata Rushdy.
Pada masa silam, di sekitar Bandara Kemayoran terdapat Jalan Patrice Lumumba—pejuang kemerdekaan yang kemudian menjadi Perdana Menteri Kongo—yang diabadikan Presiden Soekarno sebagai bentuk solidaritas Asia-Afrika. Nama Patrice Lumumba diganti rezim Orde Baru menjadi Jalan Angkasa Raya.
Lokasi jalan tersebut membentang dari perempatan Jalan Gunung Sahari-Jalan Samanhudi melintasi Gedung Terminal Penumpang Bandara Kemayoran yang tersisa dan berada di dekat kompleks pertokoan dan perkantoran Mega Glodok Kemayoran (MGK).
Kedatangan Sekutu
Dalam Kronik Revolusi Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Toer, dan kawan-kawan, dicatat, setelah Jepang menyerah tanggal 15 Agustus 1945, pasukan Sekutu mulai berdatangan kembali di Jakarta pada 8 September 1945 melalui Bandara Kemayoran.
Sebanyak tujuh perwira Inggris di bawah Mayor AG Greenhalgh terjun di Kemayoran lalu tinggal di Hotel Des Indes (kini kompleks pertokoan Duta Merlin) dan berkoordinasi dengan Mayor Jenderal Yamaguchi, salah satu pemimpin pasukan Jepang di Batavia saat itu.
Dalam catatan lain disebutkan komunikasi dilakukan dengan Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto. Kemudian pihak Jepang mengumumkan, pemerintahan akan diserahkan kepada Sekutu dan tidak kepada Indonesia.
Lalu, pada 12 September 1945 tersiar kabar dari Singapura bahwa Inggris mendapat mandat Sekutu untuk mengambil alih pemerintahan Jepang di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.
Langkah itu diikuti kedatangan pasukan pendudukan Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) tanggal 15 September 1945 di Tanjung Priok yang bertugas melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan tawanan perang Sekutu yang ditahan Jepang. Rombongan Sekutu dipimpin wakil dari Lord Louis Mountbattten, yakni Laksamana Muda WR Patterson yang datang dengan kapal penjelajah HMS Cumberland.
Adapun pasukan darat Inggris dipimpin Letnan Jenderal Sir Phillip Christison dengan membawa Divisi 5, 23, dan 26 British India. Mereka mendarat di Jakarta, Padang, Medan, dan Surabaya. Letjen Christison datang tidak bersamaan dengan pasukannya itu, tetapi mendarat di Bandara Kemayoran dengan menumpang pesawat pengebom B-25 Mitchell dari Singapura.
Mereka bertugas di bawah komando Laksamana Lord Louis Mounbatten— paman Pangeran Charles dari Kerajaan Inggris—yang bermarkas di Singapura sebagai pemimpin South East Asia Command (SEAC) dan memimpin pemerintahan pendudukan militer Inggris atau British Military Administration (BMA).
Tentara pendudukan Inggris ini bertugas di Jawa dan Sumatera. Adapun untuk wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, berada di bawah komando tentara Australia (Australia Imperial Forces/AIF) yang memiliki hubungan baik dengan pejuang kemerdekaan Indonesia. Pasukan Inggris berada di Jawa dan Sumatera hingga menjelang akhir tahun 1946.
Selain bertugas mengurus pemulangan tentara Jepang, dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid I disebutkan mereka juga bertugas mengurus pemulangan 2.490 warga Inggris, 105.043 warga Belanda, dan 1.467 campuran warganegara Amerika Serikat, Jerman, dan Denmark yang ditawan Jepang di seluruh Indonesia. Keberadaan Bandara Kemajoran dan Tjililitan pun menjadi penting dalam membuka hubungan Jawa dengan pusat komando Sekutu di Singapura.
Ketika Jakarta diduduki Belanda dengan pemerintahan NICA dan pemerintah Republik Indonesia berkedudukan di Yogyakarta, Bandara Kemayoran menjadi saksi lalu lintas para pejabat Belanda dan Republik Indonesia yang membahas perundingan damai. Semisal Wakil Mahkota Kerajaan Belanda-Wali Negeri Beel yang tiba dari Belanda tanggal 15 September 1948 di Kemayoran.
Tempat singgah Tintin
Bandara Kemayoran, Jakarta, dan Indonesia juga mendapat promosi internasional dalam seri komik Tintin karya komikus Herge (George Remi) asal Belgia episode Penerbangan 714 (judul asli Vol 714 Pour Sydney) terbitan tahun 1968. Cerita tersebut dibuka di Bandara Kemayoran dengan setting lokasi di sekitar bangunan bandara hingga petualangan Tintin dan kawan-kawan di wilayah timur Indonesia yang dihuni komodo dan memiliki gunung berapi.
Berbagai adegan yang menunjukkan perilaku Kapten Haddock, Profesor Calculus, dan pertemuan dengan teman lama Tintin, Piotr Skut orang Estonia, digambarkan terjadi di Bandara Kemayoran. Ketika itu Herge menggambarkan berbagai pesawat jet modern sudah beroperasi di Kemayoran dan menjadi tempat transit Tintin dan kawan-kawan dalam perjalanan ke Sydney, Australia.
Penanda tempat (landmark) Kemayoran yang tersisa dari komik Tintin adalah menara kontrol bandara dan terminal penumpang. Dua bangunan ini turut dikunjungi rombongan Sahabat Museum, Minggu pekan lalu.
Pascapengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Bandara Kemayoran pun turut dikelola Indonesia. Semasa itu penerbangan Eropa-Jakarta kembali dilangsungkan.
Hubungan sempat tegang semasa perebutan Irian Barat pada tahun 1957 yang diikuti dengan nasionalisasi pelbagai maskapai Belanda dan juga repatriasi warga Belanda, yang menurut Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-an sempat tersisa lebih dari 50.000 jiwa. Sebagian pemulangan menggunakan kapal laut, tetapi ada juga yang lewat udara. Dan, lagi-lagi Bandara Kemayoran menjadi saksi sejarah tersebut.
Karya Sudjojono
Pada masa ketegangan hubungan dengan Belanda tersebut, sejumlah seniman kenamaan Indonesia mengukirkan karya mereka di Bandara Kemayoran. Adalah Sindudarsono Sudjojono (1913-1986) bersama Hariadi dan Surono di bengkel kerja di Yogjakarta membuat mural yang dipahat dari batu menggambarkan keindahan alam, budaya, adat istiadat Indonesia, berbagai jenis industri, bandara, dan dunia bisnis modern di Indonesia tahun 1950-an.
Karya mural tersebut terdapat di lantai dasar dan lantai I bangunan gedung terminal Bandara Kemayoran dan secara keseluruhan membentang hingga mencapai 100 meter lebih!
S Sudjojono alias Djon di masa Revolusi Fisik (1945-1949) dikenal karena melukis berbagai lukisan tentang perjuangan. Beberapa karyanya yang terkenal soal perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah ”Mengatur Siasat”, ”Perintis Gerilja”, ”Mengungsi”, ”Kawan-Kawan Revolusi”, ”Persiapan Gerilja”, dan ”Gerilya Menyeberang”.
Salah satu mural batu di terminal Bandara Kemayoran itu dibuat khusus untuk istri kedua Sudjojono, Rose Poppeck atau Rose Pandanwangi. Di bawah salah satu mural itu ada tulisan ”Untuk Rose” dan di bawahnya tertulis Sudjojono.
Sudjojono adalah pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1937 yang menjadi tonggak seni lukis modern Indonesia. Obyek lukisannya lebih menonjol kepada kondisi faktual bangsa Indonesia yang diekspresikan secara jujur apa adanya.
Irawan dari Humas Bandara Kemayoran, yang berada di bawah Kantor Sekretariat Negara, mengatakan, relief karya Sudjojono dan kawan-kawan adalah salah satu mahakarya seni Indonesia pada era tahun 1950-an yang tersisa di ruang publik. Namun, sayang, bangunan tersebut kini terbengkalai dan dipenuhi belukar di halaman Gedung Terminal Penumpang Bandara Kemayoran yang kini telah menjelma menjadi kawasan perdagangan dan pameran.
Mudah-mudahan gedung saksi sejarah Bandara Kemayoran tersebut dapat dilestarikan karena itu adalah hak milik anak-cucu generasi penerus Bangsa Indonesia….