Depok, Kota Satelit di Antara Dua Orbit
Sebagai tetangga, Kota Depok menghadapi tekanan sekaligus juga memberikan tekanan pada DKI Jakarta. Pada saat bersamaan, Kota Depok dengan potensi utama melimpahnya jumlah penduduk usia produktif dan sumber daya manusia berkualitas, memiliki pula agendanya sendiri menyusul status sebagai bagian dari Jawa Barat. Tarik menarik di antara dua orbit ini yang cenderung terus membentuk Depok sebagai kota satelit.
Tekanan bagi Depok yang luasnya mencapai 200,92 kilometer persegi itu di antaranya berupa alih fungsi lahan sawah menjadi lahan bukan sawah. Sebagian perubahan fungsi itu diperuntukkan menjadi kawasan permukiman.
Tahun 2015 masih terdapat 237 hektar sawah di Depok. Tahun 2016, jumlahnya menjadi 197 hektar. Jika mundur lebih jauh ke belakang, pada 2014 masih ada 348 hektar sawah, 2013 (362 hektar), dan 2012 (517 hektar). (Depok Dalam Angka 2017, Badan Pusat Statistik Kota Depok)
Sebagian lagi berupa alih fungsi situ. Peraturan Daerah Nomor 07/2016 tentang RPJMD Kota Depok 2016-2021 mengutip data Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air tahun 2013 menyebutkan luas 24 situ di Kota Depok adalah 159,15 hektar. ”Beberapa situ sudah hilang karena mengalami alih fungsi menjadi perumahan dan permukiman,” demikian seperti dikutip dari halaman II-16 peraturan tersebut.
Tahun 2015, seperti dikutip dari Depok Dalam Angka 2017, luas situ berkurang lagi menjadi 152,45 hektar. Jumlahnya menjadi hanya 21 situ.
Wali Kota Depok Mohammad Idris, Rabu (25/4/2018), mengatakan, sebelum era reformasi 1998 ada 32 situ, lalu berkurang menjadi 26 situ, dan saat ini 23 situ.
Koordinator Forum Komunitas Hijau Heri Syaefudin menyebutkan urut-urutan perubahan jumlah situ di Depok yang sama dari masa ke masa. Dari 32 situ menjadi 26 situ, lantas jadi 23 situ. ”Jadi perumahan. Situ diuruk (lantas) bisa \'tumbuh\' sertifikat. Super ajaib. Jadi daerah-daerah (hasil urukan situ) itu langganan banjir,” ujar Heri.
Data yang diperoleh dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, dari 23 situ tersebut terdapat tiga situ di Kota Depok yang lahannya beralih fungsi pada 2017. Masing-masing adalah Situ Pasir Putih, Situ Krukut, dan Situ Ciming. Ketiga situ tersebut kini hilang.
Ruang terbuka hijau yang minim juga menjadi tekanan lain. Akhir Februari lalu, Jaringan Advokasi Ruang Terbuka Hijau Kota Depok menyomasi Pemerintah Kota Depok. Ini menyusul proporsi ruang terbuka hijau minimal 30 persen dari luasan kota, sesuai amanah Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang penataan ruang yang belum kunjung dipenuhi.
Idris menyebutkan, saat ini Depok memang baru memiliki 16 persen ruang terbuka hijau. Masing-masing 10 persen dengan pengelolaan publik atau pemerintah. Ini termasuk sempadan situ dan sempadan sungai. Sisanya berada di domain privat atau pengembang. Salah satu upaya menambahnya, kata Idris, dilakukan dengan pembangunan alun-alun seluas 3,5 hektar. Alun-alun tersebut bakal mulai dibangun tahun ini di kawasan Grand Depok City.
Ketiadaan alun-alun sebagai ruang terbuka hijau sekaligus ruang terbuka publik dirasakan pula dampaknya oleh para seniman dan budayawan di Kota Depok. Andy Arifianto, pendiri Parade (Persatuan Artis Kota Depok), mengatakan, ketiadaan ruang publik seperti alun-alun membuat hasil-hasil karya seni dan budaya cenderung sulit diekspresikan dan beroleh apresiasi publik.
Andy, yang juga menjabat sebagai Direktur Promosi Ayodya Pala, sanggar pelestarian, pelatihan/pendidikan dan pengembangan seni budaya tradisional mengatakan, Depok merupakan kota tempat banyak seniman dan artis berasal, tetapi cenderung tidak ada pertunjukan kesenian dan budaya yang dipentaskan. Dalam bahasanya, ”artis (asal) Depok (terbiasa dan harus) mencari makan di Jakarta, tetapi enggak bisa cari makan di kotanya sendiri.” Dalam sudut pandang lain, warga Kota Depok yang cenderung butuh hiburan juga relatif tidak terpuaskan.
Ini selain kebutuhan mendasar dari ketersediaan ruang terbuka hijau atau publik terhadap interaksi antarwarga juga sebagai prasyarat terjadinya ikatan sosial. Kurangnya hal tersebut membuat mal-mal cenderung jadi tujuan. Padahal, tidak seluruh warga punya kemampuan setara dalam menerima aneka sajian dan tawaran di pusat-pusat perbelanjaan tersebut.
Tekanan lain bagi Depok dan pada saatnya memberikan tekanan pula bagi Jakarta adalah kemacetan lalu lintas. Tahun 2013 tercatat ada 20 titik kemacetan di Depok. Keterbatasan kapasitas jalan, percampuran moda lokal dan regional, proses naik turun penumpang, dan radius persimpangan ataupun keberadaan PKL dan angkutan informal (ojek) yang makin meningkatkan beban jalan. (Perda Nomor 07/2016 tentang RPJMD Kota Depok tahun 2016-2021)
Perda yang sama menyebutkan, rencana induk transportasi Jabodetabek yang diharapkan segera terimplementasi bisa menanganinya. Ini tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 54 Tahun 2013 tentang Rencana Umum Jaringan Angkutan Massal pada Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
Jumlah penduduk
Alih fungsi lahan serta kurangnya ruang terbuka hijau dan publik ataupun kemacetan ini berkelindan dengan pertambahan penduduk. Jumlah penduduk Depok pada 2016 adalah 2,179 juta juwa atau naik 3,48 persen dibandingkan dengan 2015 yang 2,106 juta jiwa. Dari 11 kecamatan, Sukmajaya tercatat memiliki tingkat kepadatan tertinggi, yakni 16.146 jiwa per kilometer persegi. Sementara kepadatan terendah berada di Sawangan dengan jumlah 5.982 jiwa per kilometer persegi.
Jumlah tersebut cenderung bakal terus bertambah. Idris menyebutkan bahwa persentase pertumbuhan penduduk selama tiga tahun terakhir berada di kisaran 3,4 persen atau lebih tinggi dibandingkan persentase migrasi ke Jakarta. Dari jumlah tersebut, sekitar 40 persennya merupakan penduduk komuter. Mereka tidak bekerja atau tidak melakukan aktivitas produktif di Depok tetapi di kota-kota lain, dengan tujuan paling banyak adalah Jakarta.
Idris melihatnya sebagai tantangan. Terutama dalam kaitannya untuk memanfaatkan bonus demografi atau jumlah usia produktif yang mendominasi piramida penduduk di mana Depok sudah lebih dahulu mengalaminya ketimbang Indonesia yang diprediksi baru akan merasakannya pada 2020-2030.
Terkait hal tersebut, upaya untuk mengolaborasikannya menjadi sangat penting, terutama jika dikaitkan dengan keniscayaan meningkatkan layanan publik dan pembangunan infrastruktur demi kenyamanan warga.
Ini termasuk berkolaborasi dengan akademisi yang diharapkan Idris turut pula memberikan kontribusi. Salah satunya dengan pembentukan tim bersama Universitas Indonesia (UI) untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2016-2021. Tim itu juga kembali ditunjuk untuk mengawasi dan mengembangkan program di Kota Depok. Tim terdiri atas empat bidang, yaitu tim penanganan sampah (zero waste city), tim infrastruktur dan tata kota, tim kebijakan kesehatan, serta tim kota cerdas (smart city).
Tim sinergi ini diketuai oleh Banu Muhammad, dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Banu mengatakan, tim dibentuk sejak 2017 dengan surat keputusan Wali Kota Depok. Menurut Banu, selama setahun terakhir ini sudah ada beberapa program yang ditelurkan oleh tim sinergi. Salah satu program yang dinilai paling signifikan perkembangannnya adalah program penanganan sampah (zero waste city). Setiap hari, sekitar 2 juta masyarakat Depok menghasilkan sekitar 1.200 ton sampah. Sampah yang bisa dikelola atau dibawa ke Tempat Pembuangan Sampah (TPA) Cipayung hanya separuhnya atau 600 ton. Fokus pada pengolahan sampah organik dan sampah elektronik dinilai menjadi salah satu faktor memperoleh Piala Adipura 2017.
Di bidang lain, kerja sama UI dan Depok juga membidik soal rencana besar pengelolaan kota dan ekonomi. Pengelolaan kota ini melibatkan Fakultas Teknik Arsitektur UI. Tim juga merancang penataan kawasan cagar budaya (heritage) dan membentuk Tim Ahli Bangunan Cagar Budaya (TABCG). Tim mengkaji proses perizinan di bangunan cagar budaya serta memverifikasi bangunan-bangunan cagar budaya.
”Hambatannya di komunikasi saja sih selama ini. Namun, setelah dikomunikasikan dengan baik, program akhirnya dapat dijalankan,” ujar Banu mengenai dinamika dalam kolaborasi bersama Pemkot Depok.
Idris menyebut, kolaborasi ini sejalan dengan konsep Depok Masagi yang diambilkan dari konsep Jabar Masagi yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Jabar Masagi adalah kolaborasi empat komponen besar, yaitu kalangan bisnis, pemerintah, akademisi, dan masyarakat.
Perkembangan ini cenderung positif dibandingkan masa sebelumnya, seperti disebutkan Wahidah R Bulan, psikolog UNJ saat dirinya mengambil program doktoral di UI dan sempat menjalin kerja sama dengan Pemkot Depok untuk menyusun semacam rencana pembangunan kondisi sosial budaya. Kerja sama itu berlangsung sekitar tahun 2011, pada tahun pertama saja. Tahun berikutnya kerja sama tidak berlanjut karena ada semacam kewajiban untuk membentuk perusahaan terbatas (PT).
”Inovasi-inovasinya yang masih ketinggalan, padahal SDM bagus-bagus,” kata Wahidah.
Di sisi lain, Tri Wahyuning M Irsyam yang menulis Sejarah Depok 1950-1990-an (2017) menyebutkan bahwa pengaruh kehadiran UI secara langsung terhadap kegiatan sosial dan ekonomi di Kota depok dapat dikatakan tidak signifikan. Buku dari disertasi tahun 2015 itu menyebutkan, kehadiran UI merupakan aspek politis yang menjadikan kemandirian dan identitas Depok sulit dicapai. (halaman 252)
Identitas Depok
Limpahan penduduk menyusul peran sebagai kota satelit Jakarta cenderung mengubah Depok dari waktu ke waktu. Peran ini, secara lebih khusus, memang direncanakan hanya sebagai lokasi permukiman.
Ini seperti disebutkan mantan Menteri Negara Perumahan Rakyat Cosmas Batubara seperti dikutip Irsyam (2017) bahwa Depok memang hanya direncanakan untuk tempat beristirahat bagi penghuni perumnas. Sementara pekerjaan sehari-hari tetap berada di Jakarta. Peran sebagai kota tempat tinggal (dormitory town) bagi penduduk Jakarta inilah yang sesungguhnya dimainkan Depok saat dirancang sebagai satelit Jakarta.
Pembangunan perumnas di Depok, yang diresmikan penggunaannya pada 12 Agustus 1976 sebagai permukiman pegawai negeri sipil kelas menengah bawah menjadi penanda awal perubahan identitas Depok. Ribuan kaum pendatang yang sebagian besar bekerja di Jakarta datang secara cepat ke Depok.
Wahidah merupakan salah seorang di antaranya. ”Tahun 1978 pindah ke Depok, Perumnas 1,” katanya. Ia sekeluarga pindah dari Jakarta Utara mengikuti bapaknya yang saat itu PNS di Departemen Perdagangan.
Momen kedua perubahan identitas Depok ialah saat sebagian kampus Universitas Indonesia pindah ke Depok dan diresmikan penggunaannya pada 5 September 1987. Sebagian karena dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68/2013 tentang Statuta Universitas Indonesia pada Pasal 5 disebutkan bahwa ”UI berkedudukan di Jakarta.”
Pernah menjadi bagian wilayah Jakarta dan sekitarnya (Batavia en Ommelanden) pada sekitar abad ke-17, Depok kemudian digabungkan ke dalam wilayah Bogor (afdeeling Buitenzorg). Ini membuat ketika konsep pembangunan regional Jabotabek dimulai pada 1976, Depok tidak termasuk di dalamnya. Depok baru masuk dalam konsep Jabodetabek saat Kota Depok dibentuk pada 1999 berdasarkan UU Nomor 15/1999 (Irsyam, 2017).
Wilayah Depok pada mulanya juga berstatus tanah partikelir menyusul kepemilikan oleh Cornelis Chastelein. Ia merupakan seorang pegawai Vereenigde Oostindische Compagnie (Perusahaan Hindia Timur Belanda/VOC) yang mundur pada 1691 sebelum bergabung lagi pada 1704.
Barulah pada 1952, bersamaan dengan pengembalian lahan-lahan swasta kepada negara, status tanah partikelir dihapuskan. Momentum tersebut sudah lewat dari disahkannya Undang-Undang Nomor 14/1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Jawa Barat, yang menjadikan sejumlah daerah, termasuk Tangerang dan Bekasi, menjadi kabupaten tersendiri. Ini membuat Depok pada saat itu tetap menjadi bagian dari Kabupaten Bogor.
Seperti yang juga dikutip dari Irsyam, selain tereksklusi secara status dari Jakarta, Depok juga tereksklusi dari Jawa Barat. Secara administratif, Depok termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Namun, secara faktual, interaksi Depok adalah bersama Jakarta.
”Identitas ganda” ini cenderung terus tarik-menarik dalam dinamika Kota Depok. Tentang identitas ini bahkan sempat ditegaskan Idris tatkala berpidato di hadapan sejumlah aparatur sipil negara dalam peringatan peringatan Isra Mi\'raj 1439 Hijriah dan Tarhib Ramadhan tingkat Kota Depok, sekaligus tasyakuran Hari Jadi Ke-19 Kota Depok pada Rabu (25/4/2018). Saat itu ia menyampaikan bahwa ”kita”, yakni para aparatur, adalah bagian dari Jabar tatkala mengumumkan penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha yang diterima Gubernur Jabar dan penghargaan kinerja terbaik kedua se-Jabar yang diperoleh Pemkot Depok.
Bagi Ramenah (44), identitas itu berarti pertanyaan-pertanyaan dari anaknya untuk mengartikan bahasa Sunda yang diajarkan sebagai muatan lokal. ”Kalau anak saya kagak ngarti, (ia) minta diartiin ama bapaknya. Saya orang Betawi, di (lingkungan) rumah juga sehari-hari bahasa Betawi, (bahasa) Sunda enggak begitu bisa,” katanya.
Anaknya, Samsudin (14), masih mendapatkan pelajaran tersebut. Sebelumnya, kakaknya yang bernama Leni Safira (17) juga mendapatkan kurikulum sama di sekolahnya. Hal ini diatur dalam Peraturan Gubernur Jabar Nomor 69/2013 tentang Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Daerah pada Jenjang Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Beruntung bagi Leni dan Samsudin karena ayah mereka, Suhendi (50), berasal dari Sukabumi, Jabar. ”Kalau bapak ibunya enggak ada yang orang Sunda, ya, nanya-nanya kali ama orang yang ngerti bahasa Sunda,” kata Ramenah.
(Dian Dewi Purnamasari/ Irene Sarwindaningrum/Ingki Rinaldi)