Kehidupan modern telah membawa aneka jenis kemudahan, namun juga menghadirkan berbagai persoalan kesehatan. Berbagai penyakit baru muncul, terutama karena perubahan lingkungan dan pola hidup.
Untuk memahami evolusi penyakit baru seiring perubahan pola hidup, mari kita ikuti kisah Alexander Mering. Ia lahir tahun 1973 dari keluarga Dayak Iban di Desa Enceruan, Nanga Merakai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Rimba raya dan danau adalah tempat ia bermain. Hutan juga tempat ia menggantungkan hidup sebagai pemburu dan peladang berpindah.
Sejak kecil Mering diajari bertahan hidup bersama hutan, sebagaimana anak-anak di desanya. Rumahnya berada di tepi danau. Saat di sekolah dasar, dia harus mengayuh perahu mengarungi danau 1,5 jam ditambah 1,5 jam berjalan kaki. Jika mau ke Kota Pontianak, ibukota Kalimantan Barat, ia harus menyusuri sungai dengan perahu selama empat hari.
Selain mencari ikan di danau, permainannya kala kecil adalah mencari telur buaya. Mereka harus mengendap-endap, menunggu hingga sang induk buaya meninggalkan sarang.
Panas dan hujan menemani perjalanannya setiap hari yang tanpa alas kaki, namun Mering dan anak-anak sebayanya, nyaris tidak pernah sakit. Jika pun sakit, cukup menggelar ritual belian dan sembuh dengan ramuan tradisional dari hutan.
Bertahan hidup bersama alam telah mempertajam seluruh indra. Tak hanya belajar dari hutan, kakeknya juga mengajarkan aneka keterampilan bertahan hidup menjadi pemburu. "Paling penting adalah melatih indra penciuman," kisah Mering.
Indra penciuman adalah kunci bertahan hidup di dalam hutan, setelah itu baru panca indra lain seperti pendengaran, penglihatan, dan keterampilan fisik lain. Indra penciuman tidak tergantung pada gelap terang sebagaimana indra penglihatan.
Mering dilatih mengenali bau-bau hutan dan seisinya. Dia belajar membedakan aneka jenis hewan, dari jarak ratusan meter. Sang kakek juga mengenalkannya dengan aneka jenis pohon dan tanaman yang bisa dimakan dengan mencium baunya. Bahkan, tipe orang yang berbeda bisa dikenali dari baunya.
"Suatu ketika kakek menyuruh kami mengeluarkan balok yang telah direndam dalam sungai dan meminta saya menyebutkan nama pohonnya hanya dengan menciumnya," kata dia.
Kemampuan fisiknya memudar ketika meninggalkan desa untuk kuliah di Pontianak. Penurunan daya tahan tubuh makin menjadi semenjak pindah ke Jakarta untuk bekerja, 2015. Ia semakin sering sakit, terutama flu dan sakit pencernaan.
Sakit perut menjadi persoalan utama, terutama karena perubahan pola makan. "Dulu waktu kecil makanan beragam, jagung, beras ladang, ubi, dan mulung (sagu). Lauknya ikan sungai. Sambil mandi pun bisa pasang pukat, pulang bawa ikan seember. Kami juga berlimpah buah-buahan hutan," kata dia.
Mering menduga, sakitnya terutama dipicu pola konsumsi yang melulu beras yang digelontor aneka jenis pupuk dan pestisida, serta aneka makanan instan berkadar gula dan lemak tinggi. Penyebab lain adalah minimnya aktivitas fisik. Tahun 2016, dia nyaris lumpuh. Seminggu ia harus opname dan rutin menjalani fisioterapi.
"Kata dokter, saraf di pinggang bermasalah karena terlalu lama duduk di ruang ber-AC," kata dia.
Namun demikian, pulang ke kampung halaman tidak lagi menjadi solusi. Kondisi lingkungan di kampung orangtuanya di Desa Enceruan telah berubah. "Desa ibuku sudah dikepung kelapa sawit. Hutan hilang, danau dan sungai nyaris tak ada ikan. Muncul aneka penyakit yang dulu tidak dikenal," ujarnya.
Perubahan pola hidup
Pola penyakit telah berubah seiring perubahan pola hidup dan lingkungan. Kajian dari Ehlers dan Kaufmann dari Max Planck Institute for Infection Biology, Jerman yang dimuat di Jurnal Trend in Immunology (2010) menunjukkan, di negara miskin penyakit infeksi seperti tuberkulosis, malaria, hepatitis, pneumonia, dan disentri memang masih jadi ancaman.
Namun, di negara maju jenis penyakit ini menurun drastis, digantikan merebaknya aneka jenis penyakit baru yang dipicu alergi dan penurunan kekebalan seperti asma. Selain itu, sejumlah penyakit yang dipicu perubahan metabolisme seperti diabetes dan jantung menjadi ancaman utama, dan belakangan aneka jenis kanker.
Kajian WHO (2004) di 35 negara menunjukkan, 60 persen penyakit saat ini dipicu oleh perubahan pola hidup. Namun, kerentanan tertinggi terhadap penyakit terutama dialami oleh masyarakat yang hidup di era transisi tradisional ke modern, seperti terjadi di kebanyakan masyarakat Indonesia saat ini. Ketika kita belum tuntas dengan berbagai penyakit infeksi, aneka penyakit dari zaman baru sudah merebak.