Resistensi Antibiotik Sudah di Depan Mata
Maman Heryaman memeriksa saluran yang mengalirkan obat pada ternak ayam pedaging di kandang miliknya di Desa Payung Agung, Kecamatan Cipaku, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Rabu (25/4/2018). Meski hanya sebagian kecil yang sakit, semua ayam diberinya antibiotik.
Memakai kaus, celana pendek, dan alas kaki seadanya, siang itu, Maman keluar masuk kandang memeriksa kondisi ternak ayamnya. “Ada ayam yang beraknya enggak bagus. Tenaga teknis dari PS (poultry shop) cuma datang kadang-kadang. Obat untuk ayam saya yang kasih. Tinggal lihat di kemasan cara pemberiannya, terus saya kira-kira sendiri pemberiannya,” kata pria berusia 42 tahun itu setelah keluar kandang sambil merokok.
Maman adalah peternak ayam pedaging maklun. Artinya, ia hanya memelihara ayam milik pengusaha peternakan atau PS sejak ayam masih kecil (day old chick/ DOC) sampai waktu panen tiba. Semua keperluan produksi mulai dari DOC, pakan, hingga obat adalah milik PS. Maman akan mendapat bayaran atas jasa memelihara ayam hingga panen.
Besaran upahnya bervariasi bergantung pada bobot ayam saat panen, bisa sampai Rp 2.000 per ekor kalau sedang bagus tapi bisa hanya Rp 500 per ekor kalau sedang jelek. Bahkan, bisa juga Maman rugi.
Sejak dilarangnya antibiotik sebagai imbuhan pakan per Januari 2018, pertumbuhan ayam milik Maman menurun dari biasanya berbobot 1,5-1,6 kilogram saat dipanen usia 32 hari menjadi hanya 1,1-1,2 kilogram. Padahal, jumlah pakan yang dihabiskan relatif sama.
Peternak ayam lain di Desa Payung Agung, Aman (48), menyatakan, karena pertumbuhan ayamnya lambat, dua panen terakhir, upah yang diterimanya hanya Rp 425 per ekor. “Andaikan bisa, saya ingin beli antibiotik sendiri untuk campuran pakan biar pertumbuhan ayam normal kembali,” tuturnya.
Penurunan produktivitas karena hilangnya komponen antibiotik dari pakan pun dialami peternak ayam petelur di Desa Muktisari, Kecamatan Cipaku, Ciamis. Salah seorang peternak ayam petelur di Muktisari, Agus Sohih, menyatakan, sejak antibiotik dilarang untuk imbuhan pakan, daya tahan tubuh ayamnya menurun, ayam jadi gampang sakit, dan produktivitas ayam menurun 5-10 persen.
Dokter hewan di Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Ciamis, Asri Kurnia, menyampaikan, memberikan antibiotik untuk memacu pertumbuhan lazim dilakukan oleh peternak ayam selama ini. Mereka mencampur antibiotik dalam dosis kecil ke dalam pakan. Selain itu, dalam pakan pabrikan pun terkandung antibiotik.
Ketika dikonsumsi bersama pakan, antibiotik akan membunuh bakteri jahat dalam saluran pencernaan unggas. Harapannya, hal ini bisa meningkatkan daya serap pakan sehingga pertumbuhan ayam bisa cepat.
Praktik penggunaan antibiotik lain yang juga biasa ditemui ialah pemberian antibiotik bagi semua ayam di kandang meski hanya sebagian kecil ayam yang sakit. “Seharusnya, ayam yang sakit dipisahkan baru dikasih obat, bukan kalau ada ayam sakit kemudian semua ayam diberi obat. Lalu 3-5 hari sebelum panen pemberian antibiotik pun harus sudah dihentikan,” kata Asri.
Praktik penggunaan antibiotik yang berlebihan itu dikhawatirkan menyisakan residu antibiotik dalam daging ayam. Hal tersebut akan berdampak buruk pada kesehatan ketika dikonsumsi manusia.
Sisa antibiotik
Dosen di Divisi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Denny Widaya Lukman, menjelaskan, mekanisme praktik pemberian antibiotik untuk memacu pertumbuhan unggas sejak tahun 1970-an itu belum bisa dijelaskan sepenuhnya. Sebab, selain bakteri jahat, pemberian antibiotik membunuh bakteri baik di pencernaan unggas.
Karena antibiotik diberikan setiap hari dalam pakan, maka saat hewan itu dipotong di dalam tubuhnya masih ada sisa antibiotik. Jika pangan asal hewan yang mengandung residu antibiotik ini dikonsumsi manusia, bakteri dalam saluran pencernaan manusia akan terpapar antibiotik dalam dosis kecil terus menerus. Akibatnya, bakteri dalam pencernaan baik hewan maupun manusia menjadi resisten terhadap obat.
Paparan antibiotik dalam dosis kecil seolah melatih bakteri untuk mampu menghadapi antibiotik. Resistensi pun terjadi. Resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa terjadi melalui empat mekanisme. Pertama, bakteri memodifikasi molekul tubuhnya yang menjadi target antibiotik.
Kedua, bakteri memodifikasi membran tubuhnya sehingga tidak tertembus antibiotik. Ketiga, bakteri memproduksi enzim tertentu untuk menangkal antibiotik. Keempat, bakteri memompa keluar antibiotik yang masuk ke dalam tubuhnya.
Contoh bakteri yang mengeluarkan enzim tertentu ialah bakteri penghasil Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL). Enzim ESBL mampu memecah antibiotik sehingga menghilangkan kemampuannya melawan kuman penyakit. Hal ini menjadi indikator serius terhadap risiko kegagalan pengobatan kasus infeksi.
Menurut Denny, Resistensi antibiotik bisa juga terjadi ketika bakteri yang sudah kebal dikeluarkan bersama kotoran ayam dan mencemari lingkungan peternakan yang higienitasnya buruk. Kemudian, bakteri itu menginfeksi manusia yang ada di lingkungan peternakan.
Mekanisme seperti itu harus menjadi perhatian serius, mengingat mayoritas peternak di Indonesia ialah peternak rakyat yang belum sepenuhnya menerapkan prinsip biosekuriti. “Kalau ada wabah, baru kandang disemprot. Sehari-hari biasa saja,” ujar Nana Herdiana pemilik Dato Farm di Desa Muktisari, Cipaku, Ciamis.
Resistensi antibiotik bukan masalah yang akan terjadi di masa depan yang harus diantisipasi saat ini. Resistensi, baik di sektor peternakan, perikanan, pertanian maupun di kesehatan masyarakat, sudah terjadi di depan mata kita sekarang juga!
Bakteri Escherichia coli, misalnya. Berdasarkan data Kementerian Pertanian tahun 2011-2012, antibiotik yang tak lagi efektif terhadap E coli, antara lain, ampisilin, kloramfenikol, eritromisin, dan enrofloksasin.
Hasil survei pola kepekaan bakteri E Coli pada 54 peternakan ayam petelur dan babi skala kecil di Kabupaten Karangayanyar, Sukoharjo, dan Klaten, tahun 2013-2016 oleh Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) menunjukkan hal itu. Menurut hasil survei itu, isolat bakteri E Coli dari ternak babi, ayam petelur, pekerja peternakan, keluarga peternak, dan lingkungan peternakan sudah kebal terhadap beberapa antibiotik.
Antibiotik yang sensitivitasnya umumnya kurang dari 50 persen terhadap E coli ialah ampisilin dan tetrasiklin. Selain itu, sensitivitas antibiotik sefalotin cenderung berkurang. Ada kemiripan pola resistensi E coli pada ternak, manusia, dan lingkungan peternakan untuk bakteri tertentu.
Menurut Denny, persoalan resistensi bakteri terhadap antibiotik ini kian besar seiring dengan kemampuan bakteri menurunkan sifat resistensinya baik secara vertikal pada keturunannya maupun horisontal kepada bakteri lain.
Kesehatan manusia
Tak hanya di sektor peternakan, penggunaan antibiotik secara tidak rasional dan bijak juga terjadi di tengah masyarakat maupun fasilitas kesehatan. Konsumsi antibiotik tanpa resep dokter, konsumsi antibiotik untuk mengobati penyakit akibat virus, dan konsumsi antibiotik secara substandar, bisa memicu resistensi terjadi.
Beberapa bakteri yang telah kebal antibiotik adalah Acinetobacter baumannii, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, dan Staphylococcus aureus yang kebal metisilin (MRSA). Di rumah sakit, bakteri yang kebal itu paling banyak menyebabkan pneumonia (radang paru-paru), infeksi saluran kemih, infeksi daerah operasi, dan sepsis (infeksi dalam darah). Di masyarakat, bakteri Mycobacterium tuberculosis ada yang kebal.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memeprkirakan, apabila resistensi antibiotik tidak dikendalikan, hal itu akan menyebabkan 10 juta kematian di dunia setiap tahun dan kehilangan produk domestik bruto (PDB) 2-3,5 persen secara global pada tahun 2050. Penurunan produktivitas karena sakit dan ongkos pengobatan makin tinggi menambah nilai kerugian ekonomi.
Untuk itu, perlu upaya kongkrit, jelas, terukur, dan berkesinambungan, dalam pendekatan One Health, secara lintas sektor, antara sektor kesehatan masyarakat, peternakan, perikanan, dan pertanian untuk mengatasi soal ini. Semua upaya itu memerlukan data surveilans kuat dan penegakan regulasi yang tegas di lapangan. Di dua hal inilah justru kita lemah.