Sertifikasi Perlu Diikuti Pengembangan Profesi
JAKARTA, KOMPAS — Lemahnya capaian pembelajaran siswa jenjang pendidikan dasar-menengah memerlukan perhatian yang serius. Mutu pendidikan sejatinya berbasis proses dalam kelas dengan mengedepankan kreativitas guru.
Upaya menegakkan profesionalisme guru juga tak cukup hanya melalui program sertifikasi. Harus ada pengembangan keprofesian yang berkelanjutan, di samping membenahi sistem pendidikan secara keseluruhan, seperti sarana/prasarana, serta ketentuan beban jam mengajar.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Unifah Rosyidi di Jakarta, Senin (30/4/2018), mengatakan, perubahan pembelajaran untuk memperbaiki mutu anak-anak didik dari jenjang anak usia dini hingga pendidikan menengah harus dimulai dari ruang kelas. ”Di sinilah guru punya peran penentu diperkuat kapasitasnya, termasuk untuk memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi,” kata Unifah.
Menurut Unifah, reformasi pendidikan melalui sertifikasi guru harus ditindaklanjuti dengan pelatihan dan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB). Namun, PKB ini hampir tidak tersentuh. Ada program dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang disebut Sistem Informasi Manajemen PKB. ”Ini hanya membuat guru sibuk berlatih soal yang diisi setiap hari dan jika jawabannya salah diberi rapor merah. Bukan diperbaiki kekurangannya dan dilatih,” kata Unifah.
Menurut Unifah, pendidikan Indonesia menghadapi darurat guru. Hal ini karena belum danya sistem tata kelola yang baik akibat tidak ada cetak biru sistem pendidikan yang nasional, yang jauh kepentingan politik sesaat. “Darurat guru memberikan dampak berentetan terhadap darurat pendidikan. Efeknya seperti bola salju,” kata Unifah.
PGRI, ujar Unifah, mengidentifikasi darurat guru mulai dari kekurangan guru, ketidakmampuan guru merespon perkembangan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pusingnya guru menghadapi beragam tugas-tugas adminstratif, tiadanya pelatihan, lemahnya perlindungan, kenaikan pangkat, tunjangan profesi yang aturannya tidak kunjung turun, impasing atau penyetaraan guru swasta seperti golongan guru PNS, sepertifikasi guru, intervensi pihak lain dalam kelas, masalah guru swasta yang didiskriminasi, hingga pengisian data pokok pendidikan yang tidak adaptif dengan perubahan dan kondisi di lapangan, merupakan sejumlah masalah klasik yang membelenggu para guru di ruang kelas.
“Regulasi soal guru mestinya dibuat sederhana. Ini yang membuat guru tidak merdeka dan tidak berdaulat sehingga menghasilkan proses pendidikan yang tidak berkualitas. Darurat pendidikan melebihi dari darurat guru. Namun, darurat guru memberikan sumbangan besar pada darurat pendidikan,” kata Unifah.
Unifah menegaskan Kemdikbud sebaiknya fokus untuk menjadikan pendidikan platform atau dasar penting bagi kemajuan bangsa. Untuk itu, perlu transformasi cara berpikir yang lebih terbuka untuk menyedikan pendidikan berkualitas yang sesuai perkembangan zaman.
Dalam hal peningkatan kualitas guru yang akan berdampak pada kualitas pendidikan, ujar Unifah, pemerintah semestinya fokus untuk membangun tata kelola guru dan tenaga kependidikan yang baik dan sederhana, yang intinya semakin memberikan otonomi pada guru.”Tidak usah mencampuri terlalu jauh urusan organisasi profesi guru. Tetapi bermitra untuk peningkatan mutu guru demi kemajuan pendidikan nasional,” kata Unifah.
Sementara itu, Ketua Divisi Smart Learning Center PGRI Richardus Eko Indrajit mengatakan untuk memenangkan kompetisi global, suatu negara butuh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Guna menghasilkan SDM berkualitas butuh sistem pendidikan yang juga berkualitas dari anak usia dini hingga pendidikan tinggi.
“Sistem pendidikan yang baik dimulai dari ruang kelas yang arsitek pembelajarannya ditentukan guru. Karena itu, guru mesti diperkuat kapasitasnya, yang di era sekarang harus mampu memanfaatkan teknologi pembelajaran yang beragam dan berkembang,” kata Eko.
Menurut Eko, kunci untuk menghasilkan pembelajaran di ruang kelas yang baik adatiga hal penting yang saling terkait. Di dalam ruang kelas harus hadir guru yang mau belajar dan berubah (people), metodologi pembelajaran yang tepat (proses), dan alat untuk meningkatkan proses pemblejaran yang (teknologi).
Unifah mengatakan PB PGRI menggerakan para guru sebagai agen perubahan pendidikan yang dimulai dari dalam kelas. “Kami perkuat kemampuan guru dalam penguasaan TIK dan memanfaatkannya untuk pembelajaran bermutu. Kami ajak guru untuk mengenal dan menguasai sebuah konsep smart classroom yang membuat siswa senang belajar dan meningkatkan level pembelajaran pada kecakapan berpikir tingkat tinggi,” kata Unifah.
Beban tugas
Zutyarini, guru Kimia di SMK Negeri 36 Jakarta, mengungkapkan, hingga dua tahun lalu pelajaran Kimia diberikan kuota 4 jam pelajaran di setiap kelas. Namun, sekarang, kuota itu dikurangi menjadi 2 jam pelajaran. Akibatnya, dia kesulitan untuk memenuhi kuota 24 jam pelajaran dalam seminggu.
Sebelumnya, Zutyarini masih bisa memenuhi target 24 jam dengan mengajar di enam kelas dalam seminggu. Namun, dengan dikurangi kuotanya menjadi 2 jam pelajaran per kelas, kini dia dalam seminggu hanya dapat memenuhi jam pembelajaran tak lebih dari 12 jam.
Zutyarini pernah mempertimbangkan untuk mengajar di sekolah lain untuk memenuhi kuota itu. Namun, setelah diperhitungkan, pertimbangan itu banyak menyita waktu dan melelahkan. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil mata pelajaran lain, yakni Teknik Kendaraan Ringan.
Dengan cara itu, dia dapat memenuhi kekurangan 12 jam pembelajaran sehingga target 24 jam mengajar dapat dipenuhi. Dengan siasat itu, dia dapat memperoleh tunjangan sertifikasi, setara gaji pokok yang dibayarkan tiga bulan sekali.
Pada sisi lain guru juga dituntut untuk memperkuat karakter pada diri siswa. Sesuai Kurikulum 2013, kata Zutyarini, setidaknya ada 12 nilai yang harus ditanamkan kepada siswa, di antaranya kejujuran.
Heru Purnomo, guru SMP Negeri 106 Ciracas, Jakarta Timur, menyampaikan, bagaimana repotnya menerapkan kurikulum yang berubah-ubah. Perubahan ini terus terjadi dari penggunaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 hingga Kurikulum 2013.
Saat pemerintah menerapkan KTSP, guru dituntut untuk mengajarkan siswa untuk tetap aktif dalam belajar. Guru belum cakap menerapkan KTSP, kurikulum berganti lagi ke Kurikulum 2013. Awalnya dalam kurikulum ini pemerintah mendorong guru untuk melakukan pendekatan saintifik dalam mengajar. ”Guru harus mencari dan menemukan pengetahuan. Ternyata guru belum dilatih saintifik itu sehingga akhirnya berantakan lagi,” ujar Heru.
Kemudian diterapkanlah Kurikulum 2013 yang menuntut guru untuk mengajar dengan pendekatan analisis yang disebut high order thinking skills (HOTS). Artinya, guru harus mampu berpikir tingkat tinggi sehingga bisa mengajari siswa untuk juga bisa berpikir tingkat tinggi. ”Seorang siswa harus memahami pengetahuan pada tingkatan analisis, penerapan, dan evaluasi,” ujar Heru.
Ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Totok Bintoro mengatakan, Indonesia punya ”pekerjaan rumah” yang besar karena minim perhatian pada persoalan pendidikan tenaga pendidik/guru. Dari 20 persen APBN untuk sektor pendidikan, anggaran untuk pendidikan guru bukan skala prioritas. Padahal, negara maju apabila sumber daya manusia (SDM)-nya unggul. SDM unggul jika pendidikannya maju.
(BKY/MDN/ADY/ILO/JAL/NAR)