Tanaman Kopi yang Selamatkan Hutan
Pernah dicap sebagai perambah, para petani kini sukarela meninggalkan hutan. Mereka memulihkan lahan kritis dengan kopi. Cerita kopi akhirnya bukan hanya keistimewaan rasa, aroma, melainkan juga penyelamatan lingkungan.
Paidirman (42) pun tak lagi dirundung gusar. Sebatang kopinya yang berusia lima tahun menghasilkan 10 kilogram buah merah per tahun. Dengan mengolahnya menjadi biji yang bernilai Rp 25.000 per kilogram, maka dari 1.800 batang kopi miliknya, Paidirman memanen Rp 135 juta per tahun.
Bunga dan buah kopi berkembang pesat. Tanaman penaung melindunginya dari terpaan angin kencang dan hujan. ”Hasil buah kopi tetap melimpah,” katanya, di kawasan Renah Pemetik, penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Kabupaten Kerinci, Januari lalu.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan krisis kopi yang belakangan melanda sejumlah wilayah negeri ini. Di sebagian Sumatera, panen raya mundur dari prediksi petani, bahkan tak ada panen pada akhir tahun lalu. Di Flores, hasil panen merosot hampir 70 persen akibat tingginya curah hujan. Sementara di Toraja, masa panen kian pendek. Belum lagi serangan karat daun mengganas.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) menelusuri kekacauan itu sebagai dampak pemanasan global. Jika tanpa upaya khusus, diprediksi situasinya akan makin sulit.
Karena itu, pensiunan peneliti Puslitkoka, Jauhari, menekankan kepada Paidirman dan para petani soal pentingnya merawat tanaman. Jika petani telaten, produktivitas kopi akan melesat setelah tanaman berusia 5 tahun. Setiap batang bisa menghasilkan rata-rata 15 kilogram per tahun.
Dengan asumsi petani menanam rata-rata 1.500 batang kopi per hektar, produktivitas buah bisa 22.500 kilogram per hektar per tahun atau hampir 4 ton biji(green bean). Hasil itu melampaui produktivitas kopi Brasil dan Vietnam, apalagi nasional yang masih 0,7 ton.
Kuncinya, kata Jauhari, ada pada strategi perlindungan. Bersama aktivis lingkungan dan pemilik usaha Agro Tropik, Emma Fatma, mereka mengembangkan konsep budidaya kopi berbasis agroforestri. Mereka menyasar lahan kritis untuk dipulihkan. Lahan milik Paidirman salah satunya.
Setelah disuburkan dengan pupuk kandang, lahan ditanami kopi arabika. Beragam varietas disebar dalam satu hamparan. Tujuannya untuk menangkal serangan hama dan penyakit. ”Ketika satu varietas terserang penyakit, lainnya tidak mudah tertular, maka serangan pun jadi lebih terkendali,” ujar Emma.
Arabika dipilih karena cocok dengan ketinggian wilayah itu, 1.400 meter di atas permukaan laut. Harga jualnya pun lebih tinggi, hampir tiga kali lipat kopi robusta.
Pengembangan kopi berkonsep agroforestri tak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga menyelamatkan alam. Budidaya kopi didorong seiring dengan penanaman pohon pelindung, seperti lamtoro, cempaka, surian, dan alpukat. Ke depan, hamparan itu berubah tidak hanya subur, tetapi juga menjadi seperti hutan kembali.
Dikejar aparat
Meninggalkan hutan konservasi untuk menggarap lahan kritis di desa bukanlah pilihan yang mudah. Sepuluh tahun silam, Paidirman masih dicap sebagai perambah karena membuka dan menanami kopi.
Namun, ia kerap dikejar-kejar polisi kehutanan. Perawatan tanaman jadi tak maksimal dan risiko keamanannya besar.
Suatu ketika, Emma mengajak petani kembali menggarap lahan lama, tetapi petani enggan. ”Mereka bilang, jangan ajarkan kami cara bertani. Di sini, biji kopi dilemparkan saja bisa tumbuh,” kata Emma mengulang kisah lama.
Emma tidak menyerah. Dia menyediakan bibit gratis dan menggandeng Jauhari sebagai ahli kopi untuk membimbing petani. Mereka menanam pada lahan 10 hektar milik 10 petani.
Tiga tahun kemudian panen perdana dan memuaskan. Menyaksikan keberhasilan itu, petani yang lain tertarik. Lahan kritis yang dipulihkan pun terus meluas. Hingga Januari 2018, luasnya telah mencapai 90 hektar. Hamparan ditanami 135.000 batang kopi dan 36.000 tanaman pelindung. Lahan itu dikelola 79 keluarga petani. Mereka yang semula merambah hutan, kini, berbalik menghutankan kopi.
Hutan adat
Tidak kalah istimewa adalah kisah kopi di lembah-lembah Pegunungan Bukit Barisan di Solok, Sumatera Barat. Kopi ditanam untuk menghutankan kembali bukit-bukit gundul akibat kebakaran.
Kisah kopi berawal pada kegairahan petani kopi setelah terbentuknya Koperasi Serba Usaha (KSU) Solok Radjo. Melalui koperasi, petani belajar bertani yang baik. Saat gairah pasar kopi arabika Solok meningkat itulah, petani tak sanggup memenuhi. Hasil panen justru turun karena bunga-bunga kopi rontok diterpa angin dan hujan.
Petani pun melirik lereng-lereng bukit gundul di sekitar Nagari Aie Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, untuk ditanami kopi. Hamparan itu dihutankan lagi. ”Kalau alamnya bisa pulih kembali, hasil kopi akan lebih baik,” kata Alfadriansyah, Ketua KSU Solok Radjo.
Kekhawatiran akan ancaman perubahan iklim pun mendorong petani di Desa Dolok Tolong, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, membangun sistem perlindungan kopi. Setiap jalur kopi dinaungi lamtoro. Kebun pun menjadi teduh. Walmanso Simbolon, petani kopi Dolok Tolong, mengatakan, kopi aman dari terpaan hujan deras, angin kencang, dan teriknya matahari.
Di Jawa Timur, kopi dan hutan produksi menjadi solusi ekonomi dan alam. Perhutani memperbolehkan petani menanam kopi di hutan produksi di Bondowoso. Kopi tumbuh di sela-sela pohon-pohon lamtoro, mahoni, dan kayu keras lainnya.
Tahun 2017, lahan kopi di lahan milik Perhutani sudah mencapai 14.000 hektar. Petani menikmati hasilnya, dan tegakan kayu di hutan pun tetap terjaga.(ZULKARNAINI/IRMA TAMBUNAN/ANGGER PUTRANTO)