Sastra Pembawa Petuah Para Tetua
Bertuah hidup bertimbang rasa
Sesama makhluk rasa merasa
Pahit dan manis sama perisa
Sama sekampung atau sebangsa
Sepenggal bait karya sastra leluhur orang Melayu itu sayup terdengar dari Anjungan Kampar di Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, Riau, akhir April lalu.
Saat masuk ke anjungan yang berbentuk rumah adat Melayu tersebut, terlihat empat pemudi mendendangkannya. Mereka adalah Siska Armiza (33), Fauziah Mahrani (22), Leka Darniati (25), dan Kartika Sari (35).
Karya sastra itu mengandung pesan tentang pentingnya gotong royong, tenggang rasa, dan kerukunan. Para tetua Melayu Riau sengaja membuatnya agar nilai-nilai bagian dari budaya Melayu tak lekang oleh zaman.
Terkesima dengan nilai yang terkandung di setiap karya sastra lawas, terlebih disampaikan dengan pilihan bahasa yang berestetika, membuat Siska dan teman-temannya jatuh cinta.
”Apalagi, kalau menyampaikan pesan dengan sastra, pesan itu bakal lebih mengena atau lebih mudah diserap pendengarnya,” kata Siska.
Mereka pun rutin bertemu untuk belajar dan berlatih bersama guna melampiaskan kecintaannya pada sastra.
Dari sekian banyak karya sastra yang dilahirkan leluhur orang Melayu Riau, mereka memilih mendalami syair.
Bagi mereka, membaca syair dengan cara didendangkan menjadi nilai lebih dibandingkan dengan jenis sastra lain. Terlebih alunan irama syair Melayu yang lemah lembut seperti bisa menyihir siapa pun yang mendengarnya.
Syair yang terus dilantunkan oleh Siska dan teman-temannya ini hanya contoh kecil dari sastra yang masih melekat dalam kehidupan masyarakat Riau. Jenis sastra lainnya, seperti pantun, lebih sering lagi disampaikan; di pedesaan dan di perkotaan, baik itu dalam percakapan sehari-hari, di acara-acara keluarga, maupun di acara-acara yang dibuat oleh masyarakat ataupun pemerintah.
Bagi orang Melayu Riau, karya sastra selalu mengiringi kehidupan mereka sejak bayi. ”Sejak di buaian pun, anak sudah dilantunkan karya-karya sastra oleh orangtuanya, baik dengan cara didendangkan maupun dibacakan,” ujar Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau Al Azhar.
Karya sastra pun menjadi warisan para tetua yang terus dilestarikan para orangtua untuk mengajarkan nilai-nilai pedoman hidup bagi generasi penerus. Tradisi lisan menanamkan nilai-nilai kehidupan orang Melayu.
Tunjuk ajar Melayu
Budayawan Riau, Tenas Effendy, dalam buku Tunjuk Ajar Melayu, menyebutkan, para tetua Melayu sengaja menyebarluaskan, mewariskan, dan mengekalkan tunjuk ajar Melayu yang berisi pedoman-pedoman hidup orang Melayu melalui sastra. Sastra tersebut berbentuk lisan atau tulisan, seperti cerita rakyat, hikayat, syair, pantun, dan gurindam.
Melalui sastra dengan kekuatannya pada diksi yang digunakan, pesan lebih mudah dicerna.
”Semakin halus diksi yang dipakai, semakin mudah untuk menarik minat orang dan semakin mudah pula untuk mencapai maksud dan tujuan. Melalui diksi yang terpilih dan sarat makna, orang akan berpikir dan memahami apa yang kita sampaikan,” tulis Tenas di bukunya, mengutip pesan dari orang-orang tua Melayu.
Sastrawan Riau, Taufik Ikram Jamil, mengatakan, ada setidaknya 36 topik nilai tunjuk ajar Melayu yang terkandung di karya-karya sastra tetua Melayu. Topik tersebut terkait hampir segala aspek kehidupan masyarakat.
Selain nilai gotong royong, ada pula yang menekankan nilai kebersamaan sekalipun berbeda latar belakang. Ini seperti yang terkandung dalam pantun, ketuku batang ketakal, kedua batang keladi moyang, sesuku kita seasal, senenek kita semoyang.
”Dengan pantun itu, perbedaan etnis dan juga agama menjadi lebur. Nilai itu pula yang menjadi dasar orang Melayu bersikap di tengah masyarakat yang majemuk di Riau. Jadi, sekalipun di Riau ini ada banyak etnis dan agama, mereka dilihat merupakan bagian dari kita, masyarakat Riau,” ujar Al Azhar.
Begitu pula dalam memilih dan menentukan pemimpin, orang tua-orang tua, melalui sastra, sudah mengingatkan bahwa menentukan pemimpin harus dilihat dari integritas dan kapasitas yang dimilikinya, bukan karena asal-usul, suku, ataupun kekayaannya.
Kalau memilih pemimpin, jangan memandang elok mukanya, tetapi pandang elok hatinya. Ungkapan lain berbunyi, bila hendak memilih pemimpin, pilih yang mulia budi pekertinya. Memilih jangan karena suku, tetapi memilih karena laku.
Jika pemimpin yang dicari tak ada di antara orang Melayu, bukan satu hal yang terlarang untuk mencarinya dari luar. Bila dalam tak ada yang patut, hendaklah keluar mencari unut. Sikap ini pula yang menjadi dasar orang Melayu Riau begitu terbuka terhadap pendatang dan melihat mereka sebagai bagian dari masyarakat Riau.
Selain itu, petuah leluhur juga banyak yang mengingatkan para pemimpin akan tanggung jawabnya. Ini seperti yang tertuang dalam ungkapan yang berbunyi, bertanggung jawab pada amanah yang dipikulnya, mau bersusah menjalankan amanah, mau bersakit menjalankan petuah, mau bekerja tak harapkan upah.
Internalisasi nilai
Petuah-petuah leluhur melalui sastra yang masih relevan di kehidupan masyarakat Riau menjadi hal yang penting untuk diingat kembali dan diamalkan, terutama dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Riau 2018.
Karya sastra dalam tradisi lisan ini bisa mencegah pilkada mengotak-ngotakkan masyarakat. Pilihan masyarakat pun terkadang terjebak identitas peserta pilkada daripada integritas dan kapabilitas mereka sebagai calon kepala daerah.
Hal ini, kata sosiolog dari Universitas Riau, Rawa El Amady, menjadi pekerjaan rumah bersama. Sekalipun petuah leluhur berisi pedoman-pedoman hidup itu terus disampaikan dari generasi ke generasi, kata Rawa, nilai-nilai tersebut belum sepenuhnya terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
”Nilai-nilai yang disampaikan oleh leluhur itu sangat ideal karena bersumber dari ajaran agama dan nilai-nilai kemanusiaan. Tetapi, nilai-nilai itu belum membumi,” katanya.
Oleh karena itu, tidak heran, misalnya, pucuk pimpinan tertinggi di Riau, yaitu gubernur Riau, berulang kali terjerat kasus korupsi. Ketiganya adalah Saleh Djasit (1998-2003), Rusli Zainal (2003-2013), dan yang terakhir Annas Maamun (2014).
Untuk menginternalisasi nilai-nilai tersebut ke kehidupan masyarakat, Rawa menilai, kuncinya ada pada pemimpin. Pemimpin, pertama kali, harus bisa menjadi contoh dari penerapan nilai-nilai ideal tersebut. Jika pemimpin sudah bisa menjadi contoh, masyarakat diyakininya akan mengikutinya.