JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan di sekolah secara umum dijalankan terpisah dari lingkungan sekitarnya. Padahal, ada potensi kearifan lokal, nilai-nilai budaya, serta alam yang dapat dijadikan sumber belajar sehingga pembelajaran anak-anak tidak tercerabut dari konteks kehidupannya. Dengan demikian, anak-anak tetap hidup dalam akar budayanya yang khas, namun memiliki relevansi dengan nilai-nilai universal.
Karena itu, pendidikan kontekstual dalam mendukung penguatan pendidikan karakter (PPK) perlu dikembangkan dengan berangkat dari kearifan lokal serta nilai budaya dan agama masyarakat. Hal ini membuat pendidikan dan kebudayaan menjadi semakin erat hubungannya.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk Penguatan Pendidikan Karakter Kontekstual Sebagai Modal Awal Revolusi Mental yang digelar Wahana Visi Indonesia (WVI) di Jakarta, Kamis (3/5/2018). Hadir dalam acara ini Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Penguatan Pendidikan Karakater Arie Budhiman, Koordinator Program Pendidikan WVI Nurman Siagian, Pemerhati Pendidikan Najelaa Shihab, Guru SDN 07 Sasak, Sajingan, Kalimantan Barat Yostina, budayawan dari Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT) Willbrordus Jawa, dan Ketua Yayasan Pendidikan Umat Katolik Kabupaten Ngada, NTT, Romo Daniel Aka.
Nurman mengatakan berlakunnya Kurikulum 2013 membuka peluang bagi sekolah untuk menerapkan pendidikan kontekstual dengan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar. “Namun selama ini, sekolah hanya fokus untuk menuntaskan pelajaran yang ada di buku teks, tidak menyambungkannya dengan kearifan lokal dan potensi lokal yang ada di sekitar. Padahal, pembelajaran mesti berangkat dari apa yang dimiliki oleh anak-anak, yakni kehidupan di sekitarnya,” kata Nurman.
Menurut Nurman, WVI mengembangkan pendidikan karakter kontekstual agar seluruh komponen masyarakat bisa bersinergi dalam mendukung pendidikan berkualitas bagi anak, utamanya supaya nilai-nilai luhur dalam budaya setempat dapat terinternalisasi dalam diri generasi penerus lewat pendidikan. Pendidikan kontekstual pun digali dan dikembangkan dari pemikiran bersama pelaku pendidikan (dinas pendidikan dan sekolah), tokoh adat, tokoh masyarakata, orang tua, hingga pemerintah daerah.
Nurman menjelaskan, tiap daerah mengembangkan pendidikan kontekstual dengan nama berbeda. Ada yang menitikberatkan pada konteks alam, konteks perdamaian karena di daerah konflik, maupun konteks budaya. Namanya berbeda-beda di tiap daerah, namun semangatnya sama untuk memberdayakan dan membangun kesadaran kritis siswa yang didsarkan pada kearifan lokal dan potensi lokal sehingga mereka menjadi anak yang hidup seutuhnya.
Pendidikan karakter kontekstual merangkum dari inti kebudayaan lokal, namun tetap relevan dengan nilai-nilai universal, terutama untuk membentuk karakter anak yang mencintai Tuhan, menghormati sesama, bekerja sama/musyawarah, menghargai keberagaman, toleran, bekerja keras, jujur, dan banyak lagi,” kata Nurman.
Yostina mengatakan SDN 07 Sasak di Kabupaten Sambas memilih pendidikan kontekstual Sekolah Hijau. “Dalam mengembangkan metode pembelajaran, lingkungan, dan karakter didesain dengan semangat dan kepedulian pada kesinambungan lingkungan hidup. Para guru dilatih untuk mengembangkan pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan dengan mengacu pada nilai-nilai yang disepakati sebagai Sekolah Hijau,” kata Yostina.
Willbrordus mengatakan pendidikan kontekstual di Kabupaten Nagekeo berbasis budaya yang disepakati yakni pendidikan kia zia tabe pawe. “Kami senang karena nilai budaya yang hidup dalam masyarakat bisa diintegrasikan dalam pendidikan. Kami ingin agar nilai-nilai masyarakat yang saling menghargai, menerima, dan menghormati sesama manusia seperti apa adanya serta mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat, tetap bisa dilestarikan. Kini, masyarakat semakin menghargai pendidikan karena melihat bahwa pendidikan dan budaya masyarakat bisa diintegrasikan,” kata Willbrordus.
Menurut Willbrordus, peningkatan kualitas pendidikan mulai terlihat sejak pendidikan kontekstual diterapkan. Perilaku anak-anak berubajh menjadi anak yang snatun dan hormat ornag tua serta semangat belajar. Pendidikan di sekolah pun dilaksanakan para guru dengan kreatif, seperti memanfaatkan permainan tradisional atau lagu daerah dalam pembelajaran.
Terintegrasi
Arie mengatakan pendidikan karakter bukan mata pelajaran tersendiri. Namun, pendidikan karakter harus bisa terintegrasi dalam semua aspek pembelajaran di sekolah. “Kami dorong supaya sekolah dapat mengembangkan budaya sekolah yang digali dari kondisi di mana lingkungan sekolah itu berada. Salah satunya dengan pendidikan kontekstual yang sudah dikembangkan WVI,” ujar Arie.
Najelaa mengatakan semua pihak sepakat bahwa pendidikan karakter menjadi hal penting. Untuk mampu mewujudkannya, semua pihak harus berkolaborasi atau bekerja sama untuk terus menyebar praktik baik yang sudah dilakukan sehingga perubahan dalam pendidikan dapat terjadi secara meluas.
“Pendidikan kita berstandar untuk menghasilkan anak bangsa yang jadi pembelajar sepanjang hayat dan mendukung cita-cita besar bangsa. Namun, caranya dibiarkan berkembang sesuai konteks di mana sekolah itu berada dengan membuat ekosistem pendidikan yang mendukung,” kata Najelaa.