Tokoh HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara Itu Telah Tiada
Sebuah pesan Whatsapp masuk ke telepon saya. Pesan itu datang dari Benny Kabur Harman. Isinya singkat, ”Pagi Mas. Pak Hakim Garuda Nusantara meninggal pagi ini. Mohon doa kita semua”.
Benny, politisi Partai Demokrat, sedang ikut dalam kontestasi Pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur. Dia adalah sahabat dari Abdul Hakim Garuda Nusantara, mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Benny dan Hakim punya kantor advokat bersama.
Beberapa menit kemudian masuk pesan Whatsapp yang sama dari Sandrayati Moniaga (Wakil Ketua Komnas HAM) dengan data yang lebih lengkap, ”Innalillahi wainnailahi roojiun, telah meninggal dunia Jumat 4 Mei pukul 05.00 pagi Bapak Abdul Hakim Garuda Nusantara bin Badjuri usia 64 tahun, tokoh pendiri LBH, warga Kemang Pratama Regensi Blok M8, Bekasi”.
”Kita kehilangan seorang pemikir hukum dan pegiat hak asasi manusia,” kata Sandrayati Moniaga di rumah duka. Jenazah Abdul Hakim dimakamkan siang ini di pemakaman Kober, Kemang Pratama 3, sekitar pukul 13.00.
Kita kehilangan seorang pemikir hukum dan pegiat hak asasi manusia.
Selamat jalan Bang Hakim. Aktivis LBH itu menderita sakit cukup lama. Ia pernah mendirikan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) bersama Ifdhal Kasim. Sebagai aktivis LSM, Hakim mempunyai banyak ”anak didik” yang kemudian meneruskan jejaknya sebagai aktivis hak asasi manusia. Jaringan LBH cukup luas.
LBH sepertinya menjadi ”kawah” atau tempat perjuangan sejumlah aktivis. Dari LBH hadir tokoh seperti Adnan Buyung Nasution (almarhum), Todung Mulya Lubis, kini Duta Besar Indonesia di Norwegia Abdul Rahman Saleh (mantan Jaksa Agung), Bambang Widjojanto (mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi) dan termasuk Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Benny K Harman serta Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Hendardi. Hampir semua aktivis pernah bersentuhan dengan LBH yang berkantor di Jalan Diponegoro 74, Jakarta Pusat.
Hakim masuk menjadi anggota Komnas HAM pada Senin, 28 Juli 2002. Dia mendapat dukungan dari PP Muhammadiyah untuk menjadi anggota Komnas HAM. Dia dipilih anggota DPR dan mendapat 39 suara. Kemudian, Hakim terpilih sebagai Ketua Komnas HAM pada 13 September 2002.
Harian Kompas memberitakan, tokoh sipil dan wajah baru menjadi pimpinan puncak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Mereka adalah Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua), Zoemrotin K Susilo (Wakil Ketua I), dan KH Salahuddin Wahid (Wakil Ketua II). Tokoh yang selama ini dikenal sebagai aktivis organisasi nonpemerintah (ornop) itu akan memimpin Komnas HAM selama lima tahun dari tahun 2002-2007.
Mantan Ketua YLBHI terpilih menjadi Ketua Komnas HAM setelah mendapat 12 suara. Sementara mantan Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto mendapat 6 suara, KH Salahuddin Wahid (3 suara), dan ahli hukum Prof Dr Achmad Ali (2 suara) untuk posisi ketua. Abdul Hakim menjadi Ketua Komnas HAM kelima.
Saya harus melihat realitas tidak lagi bisa hitam putih. Mungkin juga karena faktor usia.
Menjadi Ketua Komnas HAM membuat Abdul Hakim lebih hati-hati dalam berbicara. Kesan itulah yang saya dapatkan ketika pada tahun 2006 mewawancarai Abdul Hakim. ”Saya harus melihat realitas tidak lagi bisa hitam putih. Mungkin juga karena faktor usia,” kata Abdul Hakim kepada saya suatu waktu, 22 April 2006.
Pikirannya menjadikan Indonesia sebagai negara hukum demokratis yang menghormati hak asasi manusia konsisten terus disuarakannya. Wawancara saya dengan Abdul Hakim pada waktu itu menunjukkan konsistennya Abdul Hakim membangun negara hukum.
Berikut pergulatan pemikiran pikiran Abdul Hakim berkarier sebaga aktivis LSM dan sebagai Ketua Komnas HAM yang dimuat di harian Kompas, 22 April 2006.
Indonesia punya pengalaman dalam melanggar hak asasi manusia rakyatnya. Namun, Indonesia tak punya pengalaman menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia ketika rezim otoritarian runtuh dan muncul pemerintahan demokratis. Ketika tanggung jawab dituntut, yang muncul adalah kegamangan.
Hujan lebat mengguyur Jakarta ketika saya berbincang dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Abdul Hakim Garuda Nusantara di kantor firma hukumnya di kawasan Gatot Subroto, Jakarta.
Terasa ada yang berubah dari cara Abdul Hakim mengutarakan gagasan dan pandangannya terhadap berbagai masalah dibandingkan dengan saat menjabat pimpinan Yayasan LBH Indonesia ataupun Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Pernyataannya lebih berhati- hati, tidak selugas dan sekritis ketika dia menjadi aktivis LSM. Kesan itu tak dibantahnya. ”Saya harus melihat realitas, tidak lagi hitam-putih. Mungkin juga karena faktor usia,” dalihnya sambil tertawa.
Ia dikenal sebagai tokoh LSM yang kritis. Tapi dalam pencalonan menjadi anggota Komnas HAM ia justru dicalonkan PP Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia. ”Tak ada dukungan dari YLBHI, Elsam, ataupun Walhi,” selorohnya.
Lima tahun jabatan anggota Komnas HAM akan berakhir tahun 2007. Ia belum memastikan apakah akan maju lagi untuk meneruskan jabatannya yang kedua. ”Lihat saja nanti,” ucapnya diplomatis. Berikut petikan percakapan di tengah hujan lebat sambil makan siang.
Komnas HAM menginjak 13 tahun, reformasi delapan tahun, bagaimana Anda lihat perkembangan HAM di Tanah Air?
Kondisi HAM setelah reformasi tidak bisa ditarik suatu gambar yang tunggal. Antara wilayah yang satu dengan wilayah lain tidak sama. Kebebasan berekspresi, kebebasan berorganisasi ini mungkin hampir sama di semua wilayah dalam gradasi berbeda. Tapi kalau kita bicara mengenai hak atas rasa aman itu berbeda. Orang di Poso atau orang di Aceh pada masa darurat militer tentu tak bisa menikmati hak atas rasa aman.
Secara keseluruhan kalau bicara hak sipil dan politik relatif lebih baik dibandingkan zaman Orde Baru.
Tapi secara keseluruhan kalau bicara hak sipil dan politik relatif lebih baik dibandingkan zaman Orde Baru. Di bidang hak ekonomi, sosial budaya ini memang masih bermasalah, terutama hak atas pekerjaan, pengangguran tinggi, lapangan kerja sulit. Hak atas pendidikan. Tidak hanya tak bisa sekolah, yang bersekolah pun dihadapkan pada tidak memadainya gedung. Hak atas due process of law (proses hukum yang fair dan adil) menyedihkan bagi masyarakat yang secara ekonomis kurang. Orang diambil tanahnya begitu saja.
Jadi, proses hukum yang fair jadi faktor terlemah?
Ya. Artinya tidak hanya dari sisi aparatnya yang melanggar, tapi juga kelompok non-negara juga melanggar. Tanggung jawab untuk memberikan proses hukum yang adil ada pada negara, yaitu aparat penegak hukum. Tapi dalam beberapa kasus, aparat negara tidak menunjukkan kesungguhannya. Itu yang diderita orang Ahmadiyah, misalnya. Kalau hal seperti ini terus terjadi, Indonesia bisa dikategorikan sebagai negara yang gagal melindungi warganya sendiri.
Kenapa otoritas negara tak bisa beri perlindungan?
Saya tak melihat itu sebagai masalah sumber daya. Tapi itu merupakan ancaman serius terhadap negara hukum. Kelompok di dalam negara yang mendukung reformasi dan berideologi negara hukum belum mampu mengonsolidasikan kekuatan sehingga negara sepertinya gamang dalam suasana reformasi.
Presiden dipilih langsung sehingga asumsinya punya mandat kuat. Kenapa menjadi gamang?
Ini kan negara yang tadinya otoriter, mau diubah ke negara demokratis yang perilakunya harus sejalan dengan alam demokrasi. Ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk mengatasi maraknya ”penegakan hukum” oleh kelompok masyarakat. Kalau tak segera diatasi, akhirnya membawa Indonesia ke negara yang gagal.
Padahal, dalam proses menuju negara demokratis kita butuh negara yang kuat sebagaimana dikatakan Francis Fukuyama. Negara kuat dalam arti negara yang mampu menjalankan kedaulatan hukum yang disepakati aktor politik dalam demokrasi. Negara harus mampu menjalankan. Kalau tidak kita menjadi soft state. Jadi memang dibutuhkan suatu leadership tak hanya dalam penegakan hukum, tapi juga pembangunan hukum.
Apakah negara bisa menegakkan kedaulatan hukum dengan melihat kenyataan yang ada?
Rezim transisi ini sejak kelahirannya, 1998, sudah menetapkan kebijakan kompromi. Di bidang HAM, penyelesaian kasus pelanggaran HAM sebelum tahun 2000 dipertimbangkan dampak politiknya. Itu dibuktikan dengan adanya ketentuan dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM untuk melibatkan DPR. DPR yang mempunyai kewenangan mengusulkan ke presiden perlu tidaknya Pengadilan HAM Ad Hoc. Itu kan politik. Ke depan, kedaulatan hukum harus dikedepankan.
Ada penilaian Pengadilan HAM Ad Hoc telah gagal?
Apakah itu pengadilan HAM atau penyelesaian BLBI itu merupakan kompromi politik. Diputuskan lewat proses politik yang melibatkan DPR dan pemerintah. Pihak yang berkompromi tentu sudah menghitung kekuatannya. Menjawab pertanyaan Anda, Pengadilan HAM Ad Hoc gagal, iya. Gagal memberi keadilan kepada korban. Tapi saya rasa, apakah berarti proses penuntasan kasus pelanggaran HAM itu secara benar dan tuntas juga gagal, ini belum. Kita tunggu kinerja komisi lain.
Jangan-jangan memang tak ada niatan?
Kita belum punya pengalaman. Kita punya pengalaman pelanggaran HAM, tapi bagaimana menyelesaikan ketika akan menuju negara demokratis, kita tak punya. Beberapa negara punya cara berbeda. Ada negara yang berhasil meminta tanggung jawab pemimpin otoriter yang melanggar HAM, tapi sampai di situ tak ada upaya lebih jauh untuk mengusut tuntas, misalnya Argentina. Korsel setelah presidennya dihukum, Thailand waktu peristiwa penembakan demonstran tahun 74 dan terakhir 90-an juga nggak diapa-apakan. Ada negara yang mengakui pelanggaran HAM, ada korbannya diakui, tapi tidak jelas menyebut siapa pelakunya.
Indonesia pola apa?
Setelah membaca pengalaman negara lain menimbang realitas yang dihadapi, Indonesia tak memilih A dan B. Kebijakan formil Indonesia menggunakan dua jalan: lewat proses pengadilan dan lewat KKR. Jadi, satu kasus pelanggaran HAM berat itu kalau mau diselesaikan lewat pengadilan DPR menggelar rapat untuk meminta kepada presiden. Ini keputusan politik. Tapi jika DPR berpendapat akan muncul problem, diselesaikan lewat KKR.
Negara hukum demokratis
Cita-cita LBH–tempat Abdul Hakim mengawali karier–adalah membentuk negara hukum yang demokratis. Cita-cita itu masih diusungnya saat menjadi Ketua Komnas HAM.
Mana yang lebih mungkin mengartikulasi ide negara hukum yang demokratis sebagai aktivis LSM atau Komnas HAM?
Perannya beda. LSM itu mengadvokasi suatu kelompok yang menurut nilai LSM itu perlu dibela. Komnas HAM berada di tengah, mendengarkan pendapat LSM mengenai suatu masalah, tapi juga mempertimbangkan pihak yang ditentang LSM. Kalau Komnas HAM sama dengan LSM, akan timbul distrust dan ketidakpercayaan dari pihak lain yang akan diselidiki.
Bagaimana Anda melihat upaya menuju sebuah negara hukum demokratis?
Kalau dilihat dari produk kebijakan dan hukum, jalan yang diambil sudah benar di tengah berbagai kesulitan. Perubahan UUD 1945 memang banyak dikritik karena metodanya lewat MPR tidak melalui penentuan pendapat rakyat, tidak sistematis. Tapi menurut saya, konsep dan prinsip dasar menuju konstitusi ideal sudah diletakkan.
Bagaimana implementasinya?
Kalau kita bicara ideologi negara hukum sebagaimana yang kita pahami soal kesamaan di muka hukum, semua paham primordialisme, sektarianisme, eksploitasi sentimen kultural untuk meraih kekuasaan harus dikesampingkan. Itu kan belum terjadi. Itu krisis sumber daya hukum dalam arti daya politik, kultural, sosial yang mendukung bekerjanya sebuah sistem dan mekanisme hukum secara benar. Dalam situasi sumber daya hukum lemah, ketika dihadapkan pada kekuatan luar, senjata hukum jadi tak berdaya.
Bagaimana dalam praktik pembangunan hukum di DPR?
Menurut saya tidak sejalan dengan apa yang sudah dicapai dalam konstitusi. Misalnya mana yang harus dianggap strategis, antara menyempurnakan UU Otonomi Daerah dalam rangka memperkuat peran pemda dalam memberi pelayanan publik dengan UU antidiskriminasi ras dan etnis yang dibuat DPR atau RUU Antipornografi dan Pornoaksi. Saya tak mengatakan pornografi bisa disepelekan, tapi sudah ada perangkat hukum yang mengaturnya sendiri.
Siapa yang harus ngawasi?
Itu butuh kepemimpinan. Sesuatu yang dituangkan dalam konstitusi berjalan kalau ada kepemimpinan yang mencakup pemerintah dan DPR. Negara yang berhasil mengawal perubahan menuju negara demokrasi membutuhkan kepemimpinan politik yang kuat untuk mengarahkan perubahan. Kita lihat Afrika Selatan, bukan persoalan Nelson Mandela, tapi African National Congress, pemuka agama memberikan arahan menuju pada satu visi yang disepakati. Di sini kan tidak?
Bukankah tujuan negara ada di konstitusi?
Iya. Tapi visi itu butuh penyiasatan untuk implementasi. Kita ini sepertinya dihadapkan pada situasi serba tergopoh-gopoh karena desakan kekuatan luar. Kita tergopoh-gopoh mereformasi hukum ekonomi karena tekanan IMF, Bank Dunia. Maka jadilah UU Kepailitan. Karena tekanan internasional tergopoh kita bikin Komisi Kebenaran dan Persahabatan dengan Timtim. Sementara KKR yang sudah lama diperintahkan tak dibuat. Kalau model kepemimpinan seperti ini berlanjut, kita nggak akan maju. Kita tak bisa mencari prakarsa menembus kebuntuan. Seharusnya cara berpikir tidak demikian. Kalau kita memperkuat hukum HAM dengan meratifikasi berbagai konvensi, itu harus dipahami sebagai kebutuhan.
DATA DIRI ABDUL HAKIM
Kelahiran: Pekalongan, 12 Desember 1954
Jabatan: Ketua Komisi Nasional HAM (2002-2007)
Pendidikan:
- Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1978)
- University of Washington, Seattle, Amerika Serikat
(1981-1982)
Perjalanan karier:
- Direktur LBH Jakarta (1984-1987)
- Ketua Dewan Pengurus YLBHI (1987-1992)
- Ketua International NGO\'s Forum on Indonesia
Development (1989-1994)
- Ketua DPP Ikatan Advokat Indonesia (1990-1999)
- Ketua Yayasan Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat
Publikasi:
- Bantuan Hukum Struktural, Co-author (1981)
- KUHAP : Kumpulan Peraturan (1986)
- Politik Hukum Indonesia (1987)
- Hukum Acara Pidana dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia, Co-author (1987)
- Menjelajah Konsepsi Pidana Politik Orde Baru (1996)
- Analisa dan Perbandingan UU Anti monopoli (1999)