Merajut Jejaring Mencari Kesetaraan
Kawasan Asia Pasifik adalah benteng terakhir penahan emisi gas rumah kaca penyebab awal perubahan iklim di samping Brasil. Negara-negara Asia Pasifik bertekad mempertahankan gas karbon dalam hutan.
Dalam pidato pengantar pertemuan 3rd Asia-Pacific Rainforest Summit di Yogyakarta pada 23-25 April 2018, Menteri Lingkungan dan Energi Australia Josh Frydenberg menandaskan pentingnya pertemuan tersebut.
Pertama, pertemuan tersebut amat penting dalam konteks Kesepakatan Paris yang dicetuskan di Paris pada Desember 2015, yaitu menahan kenaikan suhu bumi di bawah dua derajat Celsius dari masa pra-Revolusi Industri.
Sebagai ilustrasi, emisi gas rumah kaca (GRK) -- setara dengan gas karbon -- dari kawasan Asia Pasifik dari sektor lahan dan hutan terutama dari deforestasi dan perubahan fungsi lahan, mencapai 1 miliar ton gas karbon per tahun. Sementara emisi Australia dari semua sektor sekitar separohnya, 500 juta ton.
Kedua, pertemuan tersebut juga akan membantu setiap negara untuk mencapai target penurunan setiap negara yang dinyatakan dalam kontribusi nasional untuk penurunan emisi (National Determined Contribution).
Indonesia misalnya akan berkontribusi menurunkan emisi 29 persen--41 persen dari emisi gas karbon dari level emisi dalam kondisi tanpa intervensi (business as usual-BAU) pada tahun 2030. Sementara Australia berkomitmen menurunkan emisi antara 26 persen-28 persen pada tahun 2030 dari emisi tahun 2005.
Pertemuan tersebut menyiratkan kesepakatan akan pentingnya menemukan cara-cara pembangunan yang berkelanjutan, dari upaya mengejar semata pertumbuhan ekonomi menjadi aktivitas menjaga hutan tropis dan membalikkan tren. Sebuah upaya membutuhkan tekad besar dan menantang.
Ajakan untuk mengubah aktivitas deforestasi dan perubahan fungsi lahan menjadi kegiatan rehabilitasi membutuhkan dua hal mendasar yaitu: peningkatan kapasitas dan pendanaan.
Dalam pertemuan tersebut ditekankan pentingnya berbagi dan bekerja sama, Seperti diutarakan Frydenberg.
Mencari persamaan
Membuat perubahan adalah hal yang tidak mudah. Apalagi melibatkan demikian banyak negara dengan tingkat ekonomi, luas wilayah, kemajuan pembangunan, dan jumlah populasi yang berbeda.
Kawasan Asia Pasifik dengan Indonesia dan Australia di dalamnya berupaya mencari titik persamaan di tengah semua perbedaan dan (bahkan) ketimpangan yang ada.
Setidaknya Australia memandang adanya kesamaan antara negaranya dengan negara-negara tetangga dekat dan tetangga jauhnya di Asia bagian timur. Australia pernah berada dalam posisi yang serupa dengan berbagai negara lain dalam isu lahan dan hutan: emisi terbesar berasal dari deforestasi.
Sekitar 30 tahun lalu Australia banyak mengeluarkan emisi dari hutan dan lahan karena aktivitas mereka di bidang pertanian dan peternakan. Kini pendulum harus bergeser ke arah rehabilitasi lahan.
Dengan menjalin jejaring dan kerja sama, Australia berniat selain berbagi dana dengan cara menjadi salah satu pemberi dana utama pada Green Climate Fund, Australia pun berbagi penguasaan teknologi dan peningkatan kapasitas. Misalnya, teknologi dan sistem yang digunakan untuk menghitung gas karbon, Indonesia National Carbon Accounting System (INCAS) yang diluncurkan di Paris bertepatan dengan konferensi perubahan iklim tahun 2015 lalu.
Dengan sistem tersebut, Indonesia dapat menghitung berapa emisi gas karbon yang dilepas oleh hutan Indonesia.
Masalah teknologi dan pendanaan menjadi persoalan utama dari negara-negara seperti Fiji dan negara-negara di kawasan Pasifik lainnya. Tak hanya pendanaan, namun juga pembelajaran banyak menjadi pembahasan dalam pembicaraan tingkat tinggi yang dilakukan para menteri.
"Dari Fiji misalnya, mereka menekankan pada pembelajaran dari praktik-praktik bagus yang ada di negara lain. Mereka menekankan perlunya contoh yang nyata dan jelas di mana serta bagaimana melakukannya," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya.
Pendanaan
Dalam pembahasan tersebut upaya menahan emisi dari hutan masih ditekankan pada program penurunan emisi dari degradasi lahan dan hutan (REDD+) yang di kawasan ini antara lain telah dilakukan oleh Indonesia, Laos, Myanmar, Kamboja, Papua Nugini, serta Vietnam.
Australia sebagai penyumbang pada kantung dana Green Climate Fund (GCF) yang ada di dalam kerangka pendanaan UNFCCC (Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim) menyatakan hingga Oktober 2017 telah menyediakan dana hingga 500 juta dollar AS (sekitar Rp 65 miliar).
Persoalannya, pendanaan tersebut baru akan diberikan pada akhir program ketika sudah ada hasil yaitu berupa penurunan emisi karbon (result-base).
Upaya bersama menjalin jejaring tersebut, Frydenberg menggarisbawahi tiga hal penting, yaitu merayakan akan adanya kemajuan, kedua, melihat pentingnya kemitraan dan kolaborasi, dan ketiga, pentingnya kebijakan pemerintah dalam mendorong investasi sektor swasta dan mendorong pasar.
Namun di sisi lain dalam diskusi ditemukan bahwa kerangka kerja bisnis dinilai belum tepat. Contohnya, investor asing tak bisa langsung berbisnis di Indonesia, tetapi harus lewat perusahaan lokal. Itu menciptakan risiko.
Di sisi lain, sektor swasta dipandang kurang tertarik memberikan dana untuk konservasi. Dana tanggungjawab sosial korporasi demikian kecil tak sebanding dengan puluhan tahun industri ekstraktif mereguk keuntungan.
”Sejarah deforestasi dan degradasi lahan terjadi sejak berpuluh tahun lalu. Kini saatnya swasta memberi dana bagi restorasi dan konservasi hutan,” kata Aida Greenbury, Chair Private Sector Roundtable dari Asia-Pacific Rainforest Partnership.
Padahal, swasta memiliki uang jauh lebih banyak dari pemerintah untuk bisnis itu. ”Jika Indonesia bisa menarik dana itu dan bisnis restorasi hutan bisa berjalan, Indonesia bisa menjadi peran kunci. Cara menarik dana itu adalah Pemerintah Indonesia mengurangi risiko yang ditanggung pebisnis dengan insentif, asuransi, atau menyertakan dana,” katanya.
Pertemuan itu juga membahas berbagai isu, antara lain pengelolaan gambut berkelanjutan, perhutanan sosial, hutan produksi, dan perhutanan sosial. Pertemuan yang diikuti 38 negara dengan 1.200 peserta itu jadi ajang untuk memperkuat kerja sama.
Ide menarik yang muncul secara samar, yaitu membuka pasar karbon dengan lebih mempertimbangkan kesetaraan yaitu menjual emisi yang dihasilkan suatu negara ke negara lain pemberi dana, namun dengan kuota. Tak lagi 100 persen penurunan emisi diserahkan kepada pemberi dana. Untuk itu dibutuhkan sebuah "kesetaraan" dalam negosiasi terutama antara negara berkembang dengan pihak swasta atau negara maju. Bisakah?