JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah perlu memertimbangkan berbagai komponen yang berimbas pada biaya ketika menyodorkan harga kepada industri alat kesehatan dalam proses pengadaan alat keseahatan. Harapannya, harga dalam katalog elektronik sesuai dengan kewajaran.
Demikian kesimpulan yang disampaikan sejumlah pelaku industri alat kesehatan saat jumpa pers, di Jakarta, Jumat (4/5/2018). Hadir dalam acara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan Indonesia (Asakindo) Jonker Hamonangan, Ketua Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Sugihadi, dan Ketua Gakeslab DKI Jakarta Kartono.
Sugihadi mengatakan, di era program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), pengadaan obat dan alat kesehatan dilakukan melalui mekanisme katalog elektronik dan pembelian elektronik. Persoalannya, dalam sistem ini, pemerintah menyodorkan harga di bawah kewajaran. Harga wajar bagi setiap alat kesehatan amat beragam akibat bervariasinya karakter masing-masing alat kesehatan.
Secara umum harga wajar adalah harga yang mempertimbangkan harga pokok dan biaya-biaya lain yang diperlukan sampai alat kesehatan itu ada di gudang. Misalnya, bagi alat kesehatan impor harga yang dinilai wajar setidaknya 40 persen lebih tinggi dari harga dasar. Hal yang terjadi saat ini adalah, ada harga penawaran yang berada di bawah itu.
Pengadaan terhambat
Sugihadi khawatir jika harga yang disepakati di bawah kewajaran maka proses pengadaan alat kesehatan yang diperlukan terhambat sehingga merugikan pasien yang membutuhkan. Tanggung jawab industri dalam pengadaan alat kesehatan ialah mulai dari alat itu dibeli sampai alat tersebut digunakan dan dirasakan manfaatnya oleh pasien.
“Kita transparan saja soal harga. Kami butuh harga senilai tertentu bukan semata karena ingin untung tapi memang ada banyak komponen biaya yang harus dikeluarkan,” ujar Sugihadi.
Kami butuh harga senilai tertentu bukan semata karena ingin untung tapi memang ada banyak komponen biaya yang harus dikeluarkan.
Ia juga mengimbau agar industri alat kesehatan tak menerima tawaran harga yang tidak wajar. Lagipula, berdasarkan pengalaman, industri yang bersedia memasukkan alat kesehatan dengan harga tidak wajar setelah produk mereka masuk ke dalam katalog elektronik pun tidak bisa memenuhi permintaan fasilitas kesehatan yang memesan.
Menurut Sugihadi, penawaran harga yang tidak wajar dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP) terjadi karena LKPP belum memahami bahwa alat kesehatan memiliki karakter berbeda dengan barang umum lain.
Jonker Hamonangan, menjelaskan, dalam proses importasi terdapat biaya-biaya yang harus dikeluarkan sesuai peraturan yang berlaku yang nilainya mencapai 22,5 persen dari harga jual. Biaya itu meliputi asuransi, freight forwarding, pajak bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Penghasilan (PPh) 22, biaya administrasi bank, serta jasa transportasi. Semua komponen biaya itu seharusnya dihitung dalam harga.
Kartono menambahkan, penyediaan alat kesehatan industri harus memenuhi standar yang ditentukan, meliputi izin perusahaan, sertifikat Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik (CDAKB), hingga izin edar produk (AKD untuk produk dalam negeri dan AKL untuk produk impor). “CDAKB itu sangat rumit. Industri membutuhkan investasi untuk memperoleh itu. Biaya ini tidak diperhitungkan dalam penawaran biaya,” ungkapnya.
Menurut Kartono, alat kesehatan habis pakai hingga alat kesehatan dengan teknologi mutakhir pun harus pada harga wajar. Baginya, harga kewajaran bagi barang habis pakai adalah 95 persen lebih tinggi dari harga dasar dan bagi alat kesehatan berteknologi tinggi 2,4 kali harga dasar.
Faktor lain yang jadi risiko industri alat kesehatan yang tidak dilihat pemerintah ialah proses memasukkan daftar barang ke dalam katalog elektronik. Untuk bisa memasukkan produk dalam katalog elektronik industri harus sudah menyiapkan produknya di dalam negeri. Jika produk itu impor, maka harus sudah diimpor dan tersedia di dalam negeri. Padahal, industri tersebut belum tentu menjadi pemenang dalam pengadaan.