SURABAYA, KOMPAS Praktik budaya luhur, bukan hanya ujaran, yang diwariskan orangtua dan menjadi aktivitas budaya sehari-hari, bisa mencairkan gejala merajalelanya sekat-sekat sosial akibat pelembagaan agama, yang kini terdorong ke arah fanatisme.
Praktik-praktik itu seperti kenduri, atau "nyadran" (berziarah ke makam tetua kampung). Juga misalnya tapa bisu, yang lazim dilaksanakan dengan berjalan mengelilingi kompleks Kraton Yogyakarta, tanpa alas kaki.
Pelembagaan agama di wilayah urban yang kian rumit akibat pengaruh media sosial, membuat lembaga ormas lama klasik seperti NU dan Muhammadiyah, seolah terabaikan. Gejala itu bisa dikendalikan dengan penguatan kohesi sosial melalui praktik budaya luhur.
Analisis itu sebagian paparan Syamsul Maarif, peneliti Religious and Cross Cultural Studies (RCCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada Simposium Nasional VI Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala (UKWM) Surabaya, Sabtu (5/5/2018).
Tampil juga sebagai pembicara, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Trias Kuncahyono, kyai muda pada Pondok Pesantren Nurul Qur\'an, Kraksaan, Probolinggo Muhammad Al Fayyadl, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat F Budi Hardiman, dan editor situs Tirto.id Maulida Sri Handayani.
Praktik budaya luhur, ujar Syamsul, menjadi cara efektif meredam penguatan fanatisme agama. "Karena, bisa membuat penganut agama yang berbeda, dalam naungan kesamaan lokasi asal dan budaya, terdorong memberikan reaksi yang lebih lembut," katanya.
Solusi pendidikan
Dasar dari upaya meredam penguatan fanatisme itu, menurut Trias dan seluruh pemakalah, adalah pendidikan. Pendidikan bisa menyasar target kesadaran generasi muda, untuk setidaknya bertindak lebih toleran dalam ekspresi fanatik positif keagamaan.
Fayyadl menilai, mental fanatik merupakan mekanisme dasar pertahanan atau ekspresi asli individu atau kelompok. Hal itu terjadi tidak pada pemujaan agama saja, namun juga idola, atau sepak bola. "Sikap fanatik membuat agama di zaman dulu berkembang. Sikap fanatik pula yang membuat industri sepak bola tumbuh dan menarik penggemar," kata Fayyadl lagi.
Fanatik merupakan bentuk dasar kecintaan dan masih positif. Namun, ekspresi fanatisme menjadikannya negatif dan anti sosial. "Cara pelembutan dengan pendidikan itu bisa dilalukan, mengingat fanatisme selalu dilahirkan dari perselingkuhan agama dengan kekuasaan, politik, ekonomi, atau ruang publik," kata Trias.
"Bagaimana caranya ekspresi indigeneous (asli) itu kemudian terkendali, tidak berkembang melanggar hak sosial warga lain. Misalnya, agar bonek tetap berperilaku positif dalam mengekspresikan cinta dan pemujaan pada sepak bola, sebagai misal. Maka, perlu nilai-nilai yang melampaui fanatisme," kata Fayyadl.
Syamsul menjelaskan, dalam studi filsafat budi luhur, fanatisme agama perlu ditarik pada nilai primordial dasar yang melampaui fanatisme. Di Indonesia hal itu bisa dilakukan dalam praktik budaya luhur. "Setelah garang karena naluri kuasa ekonomi politik, umat agama bisa diajak berekspresi bersama, yaitu saling berkunjung, makan bersama dalam kenduri kampung, atau hari-hari istimewa adat," kata Trias.
Di Yogyakarta misalnya, kata Syamsul, ada 10 acara budaya luhur selama setahun. Jadi, hampir sepanjang tahun ada praktek bersama itu. Hal itu bisa menjadi solusi.