Kepedulian warga Ibu Kota bisa menjadi salah satu solusi antisipasi peredaran minuman keras ilegal. Warga tak segan melaporkan jika melihat aktivitas jual-beli atau minum minuman keras. Meski demikian, upaya pemerintah tetap diperlukan untuk melakukan razia, membatasi peredaran zat kimia berbahaya, hingga penegakan hukum kepada pelaku pengedar dan pembuat miras ilegal.
Minuman keras oplosan kembali menewaskan 33 orang di Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tangerang sepanjang April lalu. Tak hanya di Jabodetabek, tetapi dalam waktu bersamaan kasus tersebut juga muncul di Majenang, Cilacap, Surabaya, dan Cicalengka, Kabupaten Bandung.
Tak hanya sekali ini minuman oplosan menewaskan warga. Dari catatan Kompas, pada 1995, ada 11 orang meninggal karena menenggak minuman keras lokal, ciu, bersama pil koplo. Peristiwa tersebut terus beruntun terjadi hingga sekarang. Sepanjang tahun 2000 hingga April 2018, setidaknya sudah 617 orang atau rata-rata 56 orang tewas akibat larutan minuman oplosan ini.
Korban adalah warga usia produktif, 20-50 tahun, yang rata-rata berasal dari golongan masyarakat menengah ke bawah. Harga berbagai miras legal yang cenderung tidak murah disiasati masyarakat marjinal dengan mencampur minuman beralkohol legal dengan zat-zat kimia yang terlarang bagi tubuh. Dari situlah diperoleh miras dalaam kuantitas banyak dan harga murah, yakni Rp 15.000 hingga Rp 20.000 per kemasan botol atau kantong plastik.
Harga murah itulah yang menurut hampir tiga perempat responden jajak pendapat Kompas sebagai salah satu alasan masyarakat mengoplos minuman beralkohol. Biasanya para peminum tersebut membeli miras bermerek (berizin) beberapa botol. Kemudian mencampurnya dengan miras tradisional bikinan masyarakat yang harganya lebih murah. Tak hanya itu, minuman tersebut terkadang juga dicampur dengan minuman bersoda, obat-obatan, losion obat nyamuk, dan zat metanol.
Tambahan campuran-campuran bahan tersebut tentu membuat efek lebih memabukkan dari minuman beralkohol legal. Bahkan, beberapa minuman di antaranya terasa lebih enak karena dicampur dengan minuman teh dan buah dalam kemasan dan obat batuk sirup. Efek mabuk dan rasa enak tersebutlah yang diduga oelh sekitar 5 persen responden sebagai alasan membuat minuman oplosan.
Kepedulian warga
Fenomena miras oplosan selalu terulang dan menyebabkan kematian banyak warga. Upaya pencegahan yang bisa dilakukan adalah pengawasan peredaran hingga ke tingkat lingkungan permukiman. Mayoritas responden jajak pendapat Kompas sudah menunjukkan pengawasan tersebut dengan melaporkan setiap aktivitas peredaran miras oplosan kepada aparat setempat.
Sebanyak 80 persen responden menyatakan akan melaporkan segala bentuk transaksi jual-beli miras di sekitar rumah tinggalnya. Tanpa ragu, warga akan mengadukan hal tersebut kepada pengurus lingkungan setempat, aparat kelurahan, hingga ke kepolisian. Harapannya, agar para tokoh dan aparat segera melakukan teguran bahkan penindakan sehingga penjualan miras dapat ditertibkan.
Upaya serupa juga akan dilakukan masyarakat apabila ada aktivitas mabuk-mabukan. Tiga perempat responden dengan tegas menyatakan akan melaporkan kepada pihak berwenang apabila kedapatan ada pesta miras di wilayahnya.
Tingginya kepedulian masyarakat itu membuat para penjual miras ataupun pemabuk sungkan menampakkan diri secara terang-terangan. Mereka lebih memilih bersembunyi saat pesta miras dan juga menjual produk mirasnya dalam lingkup terselubung yang hanya diketahui para peminum.
Tak kentaranya aktivitas ini terindikasi dari sedikitnya laporan masyarakat. Hanya sekitar 12 persen responden yang mengaku di sekitar tempat tinggalnya ada sekelompok orang atau pemuda yang sering pesta miras. Untuk aktivitas jual-beli miras lebih sedikit lagi. Hanya 8 persen responden yang mengakui adanya hal ini di lingkup tempat tinggalnya.
Kepedulian warga untuk mengantisipasi peredaran minuman oplosan tersebut belumlah cukup untuk menghentikan peredarannya. Pemerintah dan aparat berwajib diharapkan bisa segera bertindak sesaat setelah menerima laporan masyarakat yang melihat aktivitas jual-beli oplosan. Pelaku pembuat dan pengedar harus dihukum berat supaya jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Zat-zat kimia pencampur juga harus diawasi peredarannya dan mempersempit akses di masyarakat.