Kerinduan Tujuh Tahun Berakhir Duka
Kerinduan Darti (62) kepada Mini (25), anaknya yang menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, berakhir duka. Setelah tujuh tahun tak bertemu, Darti mendapatkan foto wajah memar anaknya.
Tangis Darti pecah saat memandang foto Mini yang bengkak di mata kanan. Mata Mini nyaris tak terlihat lagi akibat bengkak yang membiru. Sementara mata kanannya memar. Foto Mini yang mengenakan jilbab merah jambu itu tak kusam.
”Saya menangis karena melihat kamu (Mini) seperti itu,” kata Darti dalam bahasa Cirebon saat ditemui di rumahnya di Desa Pegagan Lor, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pekan lalu. Air mata mengalir di wajahnya yang keriput.
Rumahnya yang berdinding bambu dan beratap genteng serta terpal itu tampak ramai. Keluarga dan tetangga berkumpul. Rengginang, kerupuk melarat, dan air mineral disuguhkan kepada tamu. Cuaca terik siang itu seperti kelabu bagi Darti dan keluarga.
Cuaca terik siang itu seperti kelabu bagi Darti dan keluarga.
Suami Darti, Tamin (65), bersandar di dinding kamar. Tangannya yang keriput menyapu air mata di wajahnya. Ia tak kuasa menemui tamu yang ingin menanyakan kabar Mini.
”Bapak menderita penyakit jantung. Saat melihat foto Mini, penyakit jantungnya kambuh,” ujar Darti.
Tujuh tahun sudah Mini bekerja Qatar sebagai tenaga kerja Indonesia. Lulusan sekolah dasar itu menjadi asisten rumah tangga di luar negeri. Awalnya, semua berjalan normal. Gaji sekitar Rp 3,3 juta juga dikirim setiap bulan kepada keluarga.
”Namun, dua tahun terakhir ini, HP (handphone) Mini tidak bisa dihubungi. Enggak tahu mau hubungi siapa lagi,” ujar Kani (39), kakak Mini. Kani yang pernah ikut menjadi TKI di Qatar pun tak mampu menemui adiknya.
Namun, ia sempat berkomunikasi dengan Mini melalui telepon seluler TKI lainnya di Qatar. ”Katanya, bulan Januari ini pulang. Namun, sampai sekarang belum ada kabar lagi,” ujar Kani yang sudah lima kali pergi pulang ke Timur Tengah sebagai TKI.
Tiba-tiba, sekitar dua pekan lalu, beredar foto Mini dengan wajah yang memar di media sosial. Foto itu, katanya, berasal dari sopir majikan Mini di Qatar. Keluarga tidak tahu, apakah Mini dianiaya oleh seseorang atau terjatuh.
”Kita (saya) embuh (enggak tahu). Berkas Mini semuanya ada di sponsor,” ujar Kani yang tidak tahu perusahaan penyedia jasa TKI yang memberangkatkan Mini.
Sponsor adalah seseorang yang menguruskan dokumen TKI sebelum berangkat ke luar negeri. Meski TKI adalah pahlawan devisi, yang setiap tahun mentransfer uang miliaran rupiah ke Tanah Air (remitansi), nasib mereka lebih sering merana.
Pada umumnya, calon TKI di Cirebon dan Indramayu menyerahkan pengurusan dokumen kepada sponsor dengan biaya lebih tinggi. Sebutan lain untuk sponsor ialah biro atau calo.
Menurut Kani, keluarga telah melaporkan kondisi Mini kepada Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Namun, belum ada kabar terbaru terkait Mini.
”Kami harap Mini bisa pulang dengan selamat,” ujarnya.
Solusi kemiskinan
Menjadi TKI, menurut Kani, adalah solusi atas kemiskinan yang menjerat bertahun-tahun. Kedua orangtuanya hanyalah buruh tani dengan penghasilan tak menentu. Dari 9 bersaudara, Kani bersama dua adiknya menjadi TKI.
Apalagi, wilayah Kapetakan rawan kekeringan saat musim kemarau. Padahal, dari 5.524 hektar lahan di Desa Pegagan Lor, persawahan hanya 240 hektar. Kondisi ini memacu warga untuk menjadi TKI. Dari 9.675 jiwa penduduk desa, sekitar 700 orang menjadi TKI.
Kuwu (Kepala Desa) Pegagan Lor Ii Fariyani mengatakan, pihaknya akan membantu keluarga mencari tahu keberadaan Mini.
”Kami minta kepada keluarga TKI di desa, jika ada yang kehilangan kontak segera laporkan kepada kami,” ujarnya.
Calon TKI tidak diberi tahu hak-haknya. Buktinya, berkas mereka dipegang oleh sponsor atau perusahaan.
Menurut dia, pihaknya telah meminta warga untuk melapor ke desa jika ingin ke luar negeri. Hal ini untuk memastikan bahwa calon TKI tersebut berangkat sesuai prosedur, termasuk perusahaan yang memberangkatkan.
”Jadi, kalau ada masalah, kami tahu akan menghubungi siapa,” ujarnya.
Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Indramayu Juwarih mengatakan, permasalahan TKI, seperti penganiayaan atau hilang kontak, masih kerap muncul selama pemberangkatan TKI masih bergantung kepada calo (sponsor).
”Sebab, calon TKI tidak diberi tahu hak-haknya. Buktinya, berkas mereka dipegang oleh sponsor atau perusahaan,” ujarnya.
Untuk itu, ia mendesak pemerintah agar membuat sistem yang menutup celah adanya calo. Calon TKI juga perlu mendapatkan edukasi agar dapat mengurus dokumen secara mandiri. Peran desa juga perlu diperkuat sebagai tahap pertama seleksi pemberangkatan calon TKI.
Berdasarkan data BNP2TKI, hingga Maret 2018, terdapat 38 pengaduan kasus dari Kabupaten Cirebon. Pada periode yang sama 2017 dan 2016, jumlah pengaduan dari Cirebon masing-masing 52 dan 56 kasus. Hingga Maret tahun ini, tercatat 2.610 TKI asal Cirebon.