Menyiapkan Guru yang Berkualitas dan Berkarakter
Suasana ruang kelas di lantai tiga Pusat Bisnis Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) riuh. Di ruangan itu, ada 18 calon guru yang mengikuti Pendidikan Profesi Guru. Berkemeja batik rapi dengan bawahan celana panjang ataupun rok hitam, para peserta sibuk menganalisis masalah terkait cara mendidik siswa di kelas besar, yaitu kelas IV, V, dan VI.
Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ditunjuk Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk melaksanakan Pendidikan Profesi Guru bagi calon guru Sekolah Dasar. Para pesertanya berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Saat ini Pendidikan Profesi Guru berasrama juga diadakan perguruan tinggi di sejumlah daerah. Salah satunya, Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Kabupaten Buleleng, Bali.
Menurut Ketua PPG Undiksha I Gede Nurjaya, pada 2017-2018, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Undiksha, menerima 132 peserta PPG. Mereka ialah peserta prajabatan bersubsidi dan prajabatan Sarjana Mendidik di daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (SM3T).
Pendidikan Profesi Guru atau PPG jadi kewajiban bagi para sarjana pendidikan yang ingin jadi guru profesional. Program berasrama ini berlangsung satu tahun. Setelah itu, peserta PPG harus mengikuti ujian kelulusan. Jika lulus, mereka mendapat sertifikat guru profesional.
“Kuliah PPG berbeda dengan kuliah reguler di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,” kata Dewi Setiyaningsih, dosen Pendidikan Guru SD (PPG) UMJ, di Jakarta, Selasa (24/4/2018). Mereka wajib tampil seperti ibu dan bapak guru, tak boleh mengenakan baju kaus, celana denim, dan sepatu sandal.
Dari materi perkuliahan, PPG terdiri dari 60 persen praktik dan 40 persen teori. Praktik mencakup membuat rencana pembelajaran sesuai spesifikasi kelas, membuat alat peraga, merancang permainan mendidik, menganalisis kurikulum, dan mengajar di sekolah laboratorium.
“Dari segi teori, mereka memahami aspek profesional, pedagogik, dan silabus kurikulum. Tinggal memoles aspek praktik mendidik di sekolah dan merancang sistem pembelajaran di kelas,” kata Dewi.
Dari segi teori, mereka memahami aspek profesional, pedagogik, dan silabus kurikulum. Tinggal memoles aspek praktik mendidik di sekolah dan merancang sistem pembelajaran di kelas.
Kurikulum PPG diramu Kemenristek Dikti, lalu disebar ke 46 perguruan tinggi yang diberi izin menyelenggarakan PPG. Sebagai perguruan tinggi, UMJ memiliki otonomi mengembangkan kurikulum itu agar sesuai kebutuhan para peserta.
Sebagai contoh, para peserta PPG UMJ dilatih agar bisa mendidik siswa dengan metode yang merangsang cara berpikir tingkat tinggi. Itu tak bisa diraih melalui dikte dan hafalan, tapi siswa harus paham konsep, menganalisis sesuai usia atau jenjang, dan mengekspresikan sambil memaparkan inti gagasan.
Berpikir kritis
“Intervensi pertama ialah memastikan peserta PPG memiliki pola berpikir kritis. Mereka belum memiliki kemampuan itu,” kata Dewi. Jadi peserta didorong agar rajin membaca surat kabar dan menonton berita, lalu mendiskusikannya di kelas terkait solusi dan cara meleburnya ke dalam pendidikan sehari-hari.
Menurut Syahrul Afdoli (23), peserta PPG UMJ, pengembangan pola berpikir kritis jadi tantangan. Setiap mata kuliah terdiri dari diskusi, analisis, dan praktik belajar. Selain memahami buku teks pelajaran, peserta memanfaatkan buku-buku di perpustakaan dan mencari sumber terpercaya di internet. “Dalam meramu rencana pembelajaran berbeda dengan pengalaman saya mengajar,” kata Syahrul yang pernah jadi guru honorer di SDN 02 Wonosari, Semarang.
Belajar tak bisa lagi bergantung pada kisi-kisi soal. Guru dituntut mengembangkan rasa ingin tahu siswa dan mengarahkan mereka mencari jawaban dengan cara kreatif sekaligus bisa dipertanggungjawabkan.
Putu Candra Dewi, peserta PPG Undiksha dari SM3T menyatakan, PPG memperluas wawasan dan memantapkan pendidikan sebagai guru. Ia jadi mengenal guru-guru dari daerah lain dan bidang pendidikan berbeda. “Saya mendapat dua teman sekamar, salah satunya dari Flores, yang mengikuti PPG bidang bahasa Indonesia,” tuturnya.
Pembentukan karakter
Penggemblengan karakter peserta PPG juga dilakukan lewat pengawasan ketat selama 24 jam tiap hari di asrama. Alasannya, membentuk guru profesional tak hanya pada keahlian mendidik, tapi cara guru berpikir dan membawa diri di masyarakat.
Selain asah otak, peserta PPG menjalani kehidupan penuh kedisiplinan. Di PPG UMJ, sehari-hari, pukul 08.00-17.00 mereka ikut perkuliahan, lalu pulang ke asrama untuk beristirahat dilanjutkan mengerjakan tugas. Baru di hari Minggu mereka punya waktu luang dan kembali ke asrama paling lambat pukul 22.00.
Kepala Asrama PPG UMJ Retno Wulandari memaparkan, sikap dan perilaku mereka di asrama dinilai. Bahkan, antarteman sekamar ada penilaian terkait kerapian, kebersihan, dan kedisiplinan menjalankan piket. Jika ada satu peserta tak bisa bersosialisasi dan bersikap abai, itu berpengaruh ke penilaian selama mengikuti PPG.
Ketika Kompas berkunjung ke asrama PPG UMJ pukul 18.00, para peserta menikmati makan malam. Mereka menjaga perilaku seperti tak bicara saat mulut penuh. Saat bercanda pun tak boleh tertawa terbahak-bahak, berbicara kasar, dan menyindir menurut suku, warna kulit, dan agama. “Kalau gurunya makan berserakan atau bersendawa, enggak mungkin jadi contoh baik,” kata Teguh Ridka Fitrianto (25).
Pukul 18.30 aktivitas makan harus selesai untuk ibadah malam. Pukul 19.30, mereka mengerjakan tugas. Di pagi hari, meski tak ada aturan jam bangun tidur, peserta tak berani bangun lebih dari pukul 05.00.
Meski ada pembatasan karena tinggal di asrama, Candra menilai itu membuat ia lebih fokus menambah kemampuan jadi guru. Peserta disiapkan makan di asrama dan transportasi antar jemput dari asrama ke kampus. Itu semua demi menghasilkan guru bermutu dan berkarakter bagus.