Antara Syukuran dan Pemiskinan
Di salah satu lokasi di Kelurahan Liliba, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, dentuman musik bertalu-talu sejak Jumat pukul 16.00 sampai Sabtu (4/5-5/5/2018) dini hari Wita. Sekitar 1.000 orang silih berganti berdatangan di lokasi pesta nikah itu. Ruas jalan umum pun ditutup. Di bawah tenda itu, orang berpesta sambil berjoget, menari, dan meneguk minuman keras.
Pesta nikah antara Oliv (24) dan Niko (29) di kediaman orangtua Oliv malam itu termasuk pesta sederhana bagi warga Kota Kupang, menghadirkan sekitar 700 tamu dan undangan. Mereka datang dan pergi sejak Jumat pukul 19.00 sampai Sabtu pukul 01.00. Ayah Oliv dan Niko masing-masing bekerja serabutan dan ibu kandung keduanya ibu rumah tangga.
Kebiasaan menggelar pesta pada setiap hajatan di NTT dihidupkan sejak tahun 1980-an. Kini kebiasaan itu mengarah menjadi ”tradisi” hidup masyarakat, baik di kota maupun pelosok. Setiap hajatan selalu diawali dan diakhiri dengan pesta yang melibatkan lebih dari 100 orang di setiap pesta.
Menggelar pesta tidak hanya oleh orang mampu, tetapi juga warga yang masuk kategori miskin sekalipun. Setiap pesta menghabiskan anggaran Rp 3 juta-Rp 300 juta. Pesta syukuran wisuda, syukuran komuni pertama, pesta nikah, cukur rambut anak laki-laki pertama, persiapan musim tanam, syukuran panen, syukuran masuk rumah baru, dan pesta terbesar yakni tahbisan pastor katolik.
Pesta syukuran sering digelar setiap keluarga, yakni penerimaan komuni pertama oleh anak usia 8-12 tahun, atau lebih, di Gedung Gereja melalui misa kudus.
Komuni pertama biasanya berlangsung serentak di satu keuskupan dengan melibatkan ribuan warga. Jika di keuskupan itu terdapat 5.000 anak mengikuti komuni pertama, maka akan ada 5.000 pesta yang diselenggarakan di rumah-rumah, hotel, restoran, atau ballroom.
Musim pesta komuni pertama biasanya pada peringatan hari raya Tubuh dan Darah Kristus, sesuai kalender Liturgi Katolik. Pesta diselenggarakan usai misa kudus. Komuni pertama, artinya seorang pria atau wanita beragama Katolik, usia 7-12 tahun, atau lebih, diperkenankan menyambut Tubuh dan Darah Kristus, pada setiap perayaan misa kudus.
Jika di satu lingkungan ada 10-15 anak menerima komuni pertama, maka pesta diselenggarakan di rumah kediaman setiap anak. Terkadang, atas kesepakatan para orangtua, dua anak penerima komuni pertama menyelenggarakan pesta bersama di rumah salah satu orangtua anak.
Pesta komuni pertama ini sudah menjadi ”kewajiban” orangtua untuk menyelenggarakan. Tidak lengkap jika usai menerima komuni pertama, orangtua tidak menyelenggarakan pesta syukuran.
Jika tidak ada rasa syukur kepada Tuhan dan leluhur, yang disampaikan melalui pesta bersama, itu namanya biadab.
Pada musim komuni pertama ini, satu keluarga bisa mendapatkan 5-15 undangan. Semua undangan ini harus didatangi. Pada giliran nanti, orang itu pun akan menghadiri undangan yang kita berikan. Ada rasa utang budi, sikap saling memberi dan menerima, atau saling membalas.
Sebelum pesta digelar, tuan pesta biasanya menggelar ”kumpul keluarga”. Di sini, sejumlah anggota keluarga dan kenalan diundang. Orang yang diundang sudah paham maksud dari kumpul keluarga, yakni mengumpulkan uang atau bahan pokok untuk kebutuhan pesta.
Jika pesta tidak dilaksanakan, keluarga itu tidak merasa nyaman dengan tetangga. Apalagi, tetangga itu sudah mengundang keluarga itu dalam pesta serupa. Tentu tetangga itu juga menunggu undangan serupa. Gengsi, harga diri, dan rasa mencintai, atau menjaga perasaan anak, pesta pun diselenggarakan.
Syukuran komuni pertama juga dipahami sebagai upaya memupuk iman anak yang baru saja menerima komuni itu. Tanggung jawab orangtua dalam membina dan mengarahkan anak secara rohani dan jasmani harus terus berkelanjutan sampai anak itu dewasa dan berumah tangga.
Budayawan NTT, Prof Felisianus Sanga dari Universitas Nusa Cendana, Kupang, mengatakan, pesta sebagai bentuk syukur atas sesuatu yang diperoleh. Keberhasilan itu berkat dari Tuhan dan harus disyukuri bersama orang sekitar. Paling penting adalah berterimakasih kepada Tuhan.
Tidak ada unsur pemborosan atau pemiskinan di dalam tradisi pesta di NTT. Setiap orang yang menyelenggarakan pesta sudah memperhitungkan kemampuan ekonomi dan dampak ikutan dari pesta itu.
”Pesta adalah bagian dari peradaban suatu suku bangsa. Jika tidak ada rasa syukur dan berterima kasih kepada Tuhan dan leluhur, yang disampaikan melalui sebuah pesta bersama, itu namanya biadab. Tidak tahu diri, tidak tahu syukur atas apa yang diperoleh,” kata Sanga.
Pastor Paroki Gereja Santo Yosep Pekerja di Penfui, Rm Crispianus Saku Pr, pada setiap memimpin komuni pertama, mengingatkan orangtua agar jangan menyelenggarakan pesta dengan melibatkan lebih dari 100 orang. Syukuran boleh diselenggarakan tetapi paling penting adalah mengajak anak-anak penerima komuni pertama untuk rajin berdoa, rajin belajar, bersikap jujur, dan membangun kebiasaan saling membantu orang lain di sekitar.
Andre Koban (55), warga Kelurahan Baumata, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, mengatakan, tradisi pesta syukuran komuni pertama hanya ada di NTT. Syukuran ini berawal di Flores, tetapi kemudian merebak ke seluruh wilayah NTT bahkan di luar NTT oleh warga Flores.
Ini sebuah tradisi yang memiliki sisi baik dan buruk.
”Ini sebuah tradisi yang memiliki sisi baik dan buruk. Pesta ini membangun persaudaraan dan meningkatkan hubungan sosial kemasyarakatan. Sisi buruk, yakni orangtua terbebani utang. Saya sampai menggadai sertifikat tanah seluas 2.000 meter persegi untuk mendapatkan uang Rp 5 juta dan menjual sapi dua ekor untuk pesta pada 2009. Serfikat tanah itu telah dikembalikan setelah dua tahun menjadi TKI di Malaysia,” kata Koban.
Ia menilai, tradisi menggelar pesta pada sejumlah hajatan tidak mendidik masyarakat untuk menabung dan hidup sederhana. Keluarga miskin rutin menerima rastra dan bantuan langsung tunai setiap bulan. Namun, mereka memaksa diri menggelar pesta dengan berbagai upaya hanya karena gengsi dan malu dengan tetangga.
Hajatan yang perlu dipestakan, yakni syukuran nikah seperti Oliv dan Niko karena menyangkut perjalanan hidup masa depan kedua pasangan itu. Namun, syukuran ini tidak perlu mengundang lebih dari 500 tamu.
Syukuran akhir tahun oleh seluruh anggota keluarga dan syukuran yang dilaksanakan anggota keluarga setelah lolos dari ancaman kecelakaan.
”Di NTT, setiap pesta syukuran melibatkan tamu lebih dari 100 orang. Menjamu orang sebanyak itu butuh anggaran sampai Rp 15 juta dengan kategori syukuran sedang,” kata Koban.
Pesta syukuran atas wisuda dari perguruan tinggi, menurut Koban, tidak perlu dilakukan. Syukuran seperti ini cukup dirayakan anggota keluarga.
Jika satu perguruan tinggi mewisuda 2.000 mahasiswa pada hari yang sama di Kota Kupang, maka ada 2.000 syukuran wisuda di rumah, kos, restoran, hotel, dan ballroom. Satu wisudawan membutuhkan dana Rp 3 juta-Rp 15 juta untuk menyelenggarakan pesta. Uang ini pun disiapkan orangtua atas desakan wisudawan (anak).
Tradisi menggelar pesta pada sejumlah hajatan tidak mendidik masyarakat untuk menabung dan hidup sederhana.
Padahal, sebagian besar lulusan belum tentu langsung bekerja. Mereka bergantung pada lowongan kerja di kantor pemprov, pemkab, dan pemkot. Sementara lowongan di kantor pemerintah paling banyak menerima sekitar 500 orang. Pengangguran sarjana di Kota Kupang saat ini sekitar 70.000 orang dari total 150.000 pencari kerja.
Pada pesta syukuran wisuda ini sering terjadi kericuhan setelah peserta pesta, yang sebagian besar mahasiswa, meneguk minuman keras. Kericuhan dipicu oleh rebutan pasangan menari dan berdansa atau dendam lama antar-oknum mahasiswa.
Setiap pesta syukuran selalu diisi dengan acara menari, joget, dan berdansa. Musik pun dibunyikan dengan volume penuh, sampai terdengar hampir seluruh RW. Peserta pun terlibat dalam bergoyang bersama mengikuti irama lagu. Kebanyakan acara ini diikuti anak-anak muda. Keributan sering terjadi ketika mereka sedang dalam keadaan mabuk minuman keras.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Cabang NTT Marthen Mulik meminta pemprov dan pemkab/pemkot perlu membatasi pesta syukuran. Perlu ada kategori kegiatan (hajatan) yang perlu dipestakan.
”Dalam satu tahun, masyarakat NTT menghabiskan berapa besar anggaran sekadar untuk menyelenggarakan pesta. Ini suatu pemborosan dan proses pemiskinan warga. Habis pesta, tagihan utang dari mana-mana,” kata Mulik.
Ia mengatakan, NTT menempati urutan kemiskinan ketiga dari bawah, dari 34 provinsi di Indonesia. Peringkat ini harus menjadi perhatian pengambil kebijakan, politisi, birokrasi, LSM, akademisi, dan masyarakat di daerah ini.