Keberagaman, kemajemukan, dan kebinekaan merupakan keniscayaan bagi masyarakat Indonesia untuk mempertahankan masa depan bangsa. Apalagi, keberagaman itulah yang menjadi salah satu dasar pembentukan konstitusi di Indonesia. Dinamika kehidupan masyarakat di Indonesia pun akhir-akhir ini mendapatkan perhatian dari masyarakat dunia, termasuk dari masyarakat Amerika Serikat.
“Banyak yang menanyakan apa yang sedang terjadi di Indonesia? Dinamika di Indonesia pun menimbulkan keprihatinan dari masyarakat AS,” kata Konsul Jenderal RI di New York, AS, Abdul Kadir Jailani, akhir pekan lalu, seusai Pemutaran dan Diskusi film dokumenter Ahu Parmalim yang diproduksi Yayasan Kampung Halaman dan Yayasan TIFA, di Konsul Jenderal RI, New York, AS.
Meski Indonesia sedang mengalami dinamika seperti saat ini, Jailani meyakini masyarakat Indonesia masih menginginkan Indonesia yang majemuk dan demokratis. Bagi rakyat Indonesia, hidup bersama dalam alam demokrasi adalah sesuatu yang tidak terbantahkan.
Belajar dari pengalaman AS, keberagaman di AS tumbuh relatif subur meski kini Amerika juga sedang mengalami dinamika terkait kinerja pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Meski demikian, keberagaman di AS, seperti Indonesia, dijamin oleh konstitusi. Dan yang terpenting adalah struktur pemerintahan di AS menjamin kebebasan individu. “Di AS, keberagaman itu sendi dari kebersamaan di masyarakat. Ini tidak berbeda dengan Indonesia,” kata Jailani.
Kisah-kisah atau narasi masyarakat Indonesia mengenai keberagaman harus disosialisasikan ke masyarakat dunia sehingga, menurut Jailani, mereka bisa mengenal Indonesia yang majemuk dan demokratis. Salah satu caranya adalah dengan membuat film dokumenter pendek seperti Ahu Parmalim.
Sejak diluncurkan 16 November 2017, film ini sudah diputar di 107 lokasi di beberapa daerah di Indonesia. Film ini pun telah diputar di ASEAN Short Film Festival (28 April 2018), di New York, Amerika Serikat. Forum Dokumenter di City College of New York (26 April 2018); di Konsulat Jenderal RI, New York (29 April 2018) dengan tema ”Ahu Parmalim: Indonesian Religious Pluralism”; dan di acara Indonesian Diaspora of Philadelphia (5 Mei 2018).
Intisari film ini adalah untuk mengangkat suara, cara pandang, dan sikap remaja penghayat yang berjuang mewujudkan cita-cita dengan berpegang pada ajaran agama yang mereka yakini. Film ini menggambarkan kehidupan pemeluk Ugamo Malim dari pengalaman keseharian remaja bernama Carles Butar-Butar (17), si pemilik cerita.
Ugamo Malim adalah salah satu agama yang bertahan dan berkembang di Indonesia. Agama ini berawal dari gerakan spiritual yang dipimpun Sisingamangaraja XII untuk melawan penjajahan dari pemerintahan Hindia Belanda. Agama Malim memuja Debata Mulajadi Nabolon sebagai pencipta kehidupan dan menuntut pemeluknya kembali menjalani budaya Batak. Penganut ajaran agama ini kemudian disebut Parmalim.
Berbagi cerita Indonesia
Bagi Iin Purwani, WNI pembuat film dokumenter yang kini tinggal di Massachussets, AS, sekaligus pemrakarsa seluruh pemutaran Ahu Parmalim di AS, kisah Charles di Ahu Parmalim ini penting untuk diketahui masyarakat AS. Bukan hanya masyarakat WNI yang berada di AS. Isu yang diangkat di film ini penting dan juga dialami oleh masyarakat global sehingga bisa dirasakan kedekatan sosok Charles dengan penonton.
“Film-film dokumenter Kampung Halaman menarik karena selalu dari perspektif anak muda langsung. Dan film-film ini didiskusikan di masyarakat. Film ini memberi nafas segar untuk anak-anak muda agar mampu bicara jujur tentang identitas dirinya,” kata Iin.
Pemutaran film dengan isu-isu penting seperti ini tidak cukup hanya ditonton tetapi harus pula disertai dialog atau diskusi. Itu pula yang dilakukan ketika pemutaran di Indonesia dan AS. Karena isunya universal, kata Iin, pesan film ini diyakini tersampaikan di AS. “Di sini juga banyak komunitas kecil yang tidak pernah diakui. Sekarang mereka jadi bisa tahu bagaimana caranya hak-haknya diakui. Saya harap pesan film ini dibawa ke komunitas masing-masing dan didiskusikan,” kata Iin.
Produser Ahu Parmalim Dian Herdiany menjelaskan alasan pengambilan Ugamo Parmalim, salah satu keyakinan di Indonesia, sebagai tema film ini karena sejak 2006 Yayasan Kampung Halaman sudah bekerja menemani remaja di seluruh Indonesia. Remaja diharapkan akan bisa percaya diri dan menceritakan pengalaman keseharian masing-masing.
“Beragam narasi remaja akhirnya muncul. Cara mereka melihat dunia, memandang dirinya, dan apa yang mereka yakini. Seperti cerita Charles. Dari kacamata Charles, kita bisa melihat keberagaman Indonesia dan kita berharap ini akan bisa memperkaya pandangan masyarakat di Indonesia dan dunia,” kata Dian.