Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana diharapkan dapat disahkan menjadi UU pada Agustus mendatang. Pemerintah berharap UU itu bisa menjadi kado manis bagi Indonesia di HUT Ke-73 Kemerdekaan RI. Namun, apakah hal itu akan terwujud, tergantung pada pembahasan tiga bulan ke depan.
Kritikan terutama tertuju pada masifnya aturan pemidanaan penjara yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU HP). Catatan Institute for Criminal Justice Reform, RUU HP memuat 1.251 perbuatan pidana, 1.198 di antaranya diancam dengan penjara.
Semangat memenjarakan orang itu berkebalikan dengan tujuan pembentukan RUU HP yang ingin mengikis warisan kolonial yang buruk, antara lain pemenjaraan orang. Alternatif pemidanaan lainnya adalah kerja sosial, denda, dan pengawasan, juga disebutkan di RUU HP, tetapi hanya untuk perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman di bawah lima tahun.
”Pidana penjara seharusnya menjadi ultimum remedium, atau hukuman maksimal, bila jenis hukuman lain tidak mempan, atau sudah tidak bisa diterapkan. Sejumlah penelitian, seperti di Amerika Serikat, menunjukkan, pembiayaan bagi orang yang dipenjara mencapai 5.000 dollar AS per orang per tahun. Belum lagi dampak dari pemidanaan yang ternyata melestarikan konflik,” tutur Agustinus Pohan, pengajar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, dalam Konsultasi Nasional bertajuk ”Meletakkan Kembali Proses Pembaruan Hukum Pidana dalam Konteks Pembangunan Hukum Nasional”, Rabu (2/5/2018), di Jakarta.
Diperbaiki
Soal pemidanaan ini, Ketua DPN Peradi Luhut MP Pangaribuan menggambarkan arah sistem pidana nasional yang justru berkebalikan dengan tren internasional. Dunia telah lama bergeser pada dekriminalisasi, bukan overkriminalisasi.
”Pertanyaannya, apakah masih mungkin konsep pemidanaan di dalam RUU HP ini diperbaiki? Sebab, saat ini sebenarnya pemerintah dan DPR sudah menyetujui hampir semua ketentuan di RUU HP, kecuali sejumlah pasal yang masih ditunda pembahasannya,” ujar Luhut.
Terkait hal itu, Luhut memberikan dua alternatif. Pertama, pembahasan RUU HP itu dinihilkan sama sekali atau dibatalkan. Kedua, terhadap pasal-pasal yang tidak demokratis, berorientasi memenjarakan orang, dan abai kepada kepentingan perempuan serta kelompok marjinal, publik bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Luhut secara pribadi lebih condong ke alternatif kedua, yakni mengajukan gugatan materi.
Menjawab keraguan Luhut, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Enny Nurbaningsih memastikan ada perbaikan yang akan dilakukan terhadap RUU HP dalam tiga bulan ini. Masukan dari masyarakat akan tetap dipertimbangkan pembuat UU sebelum RUU HP itu disahkan pada Agustus mendatang.
”Masih ada waktu tiga bulan bagi kami untuk memperbaiki dan mempertimbangkan masukan dari masyarakat. Harapannya, ini benar-benar menjadi pedoman hukum pidana yang lengkap bagi jalannya sistem peradilan pidana kita,” kata Enny.
Sejumlah catatan dari publik, seperti overkriminalisasi, masuknya penegak hukum ke ruang-ruang privat, dan pengakuan hukum adat yang berpotensi merusak asas legalitas di RUU HP, akan jadi pertimbangan di tiga bulan ini. Namun, apakah hasilnya berbuah manis? Waktu yang akan menjawabnya....