Bahasa pemasaran yang mengatakan lokasi properti lima menit dari stasiun, terbukti ampuh menarik pembeli. Dekat dengan stasiun diasosiasikan memudahkan mobilitas penghuni, meskipun tak selalu mengurangi pemakai kendaraan pribadi.
Oleh
·4 menit baca
Lenny Tambun (42) tak perlu berpikir lama saat menyerahkan uang muka Rp 1 juta, tanda jadi pembelian rusunami di area Stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan, tahun lalu. Harga rusunami bersubsidi yang dibangun Perum Perumnas di atas tanah PT Kereta Api Indonesia itu dibanderol Rp 300 jutaan.
Selain lokasi rusun yang dekat dengan stasiun, ia tertarik dengan konsep transit oriented development (TOD) yang bakal dikembangkan di rusunami ini. Ia berangan-angan, mobilitasnya dengan angkutan umum semakin mudah.
Berselang setahun, Lenny mendapatkan informasi dari Perum Perumnas bahwa ia tidak lolos verifikasi pembelian rusunami bersubsidi. Ia lalu ditawari membeli apartemen milik (anami) yang dijual komersial di lokasi yang sama. Harga apartemen milik mulai Rp 600 jutaan untuk tipe studio seluas 22 meter persegi.
”Harganya terlalu mahal, lebih baik saya membeli rumah tapak kalau seperti itu,” kata Lenny, Minggu (6/5/2018).
Setelah gagal mendapatkan rusunami, Lenny sedang menanti pengembalian uang tanda jadi yang sudah ia bayarkan.
Penjualan rusun yang berdampingan dengan jalur rel kereta api ini memang dilakukan jauh-jauh hari. Di lapangan, meskipun peletakan batu pertama pembangunan rusun ini dilakukan Agustus 2017, fisik rusunami Tanjung Barat, belum terlihat.
Baru ada pagar seng pelindung setinggi kira-kira dua meter mengelilingi lokasi proyek, termasuk bekas area parkir bagi penumpang KRL di stasiun ini. Di pintu masuk proyek tertulis ”Proyek Pembangunan Rumah Susun Tanjung Barat” dengan pelaksana PT Abipraya.
Rumah-rumah semipermanen untuk kantor kontraktor berdiri di area itu. Area dijaga ketat petugas keamanan. ”Belum ada pembangunan karena izin masih diproses,” ujar salah seorang petugas keamanan di lokasi, Kamis pekan lalu.
Lengkapi dokumen
Di Balai Kota Jakarta, kemarin, Wakil Gubernur Sandiaga Uno berharap, TOD membantu integrasi antarmoda sekaligus menyediakan perumahan yang terjangkau untuk warga DKI.
PT KAI, menurut Sandiaga, sudah mengemukakan sejumlah lokasi TOD yang akan digarap. Pemprov DKI terbuka untuk pengembangan TOD dan akan memberi kemudahan. Apalagi, PT KAI salah satu mitra DKI dalam penyediaan angkutan massal.
Sandiaga mengatakan, perizinan terkait TOD akan diproses cepat selama dokumen lengkap, termasuk amdal dan kajiannya. ”Kalau belum ada itu, belum bisa kami proses,” katanya.
Sejauh ini baru ada dua keputusan Gubernur DKI Jakarta terkait TOD dan delapan lokasi TOD yang ditetapkan. Semua di bawah pengelolaan PT Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta.
Kepala Badan Pelayanan Publik Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta Edy Junaedi mengatakan, izin mendirikan bangunan (IMB) rusunami Tanjung Barat sudah diproses sejak tahun lalu. Saat ini, IMB yang diajukan oleh Perum Perumnas masih direvisi karena ada hal-hal teknis yang harus disesuaikan.
Secara umum, Pemprov DKI mendukung rencana pemerintah pusat untuk mendirikan hunian vertikal di lingkungan tersebut, apalagi dengan konsep TOD.
”Kebutuhan ini cocok dengan warga kelas menengah, terutama mereka yang muda, supaya lebih fleksibel aksesibilitasnya karena dekat dengan stasiun KRL,” ujar Edy.
Ia menambahkan, secara umum pembangunan rusunami setinggi 29 lantai itu sudah sesuai dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI. Wilayah yang akan dibangun masuk zona campuran, yaitu bisnis dan permukiman.
Direktur Korporasi/Bisnis Perum Perumnas Galih Prahananto mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan akses untuk pejalan kaki.
Selain itu, dalam merencanakan hunian yang terintegrasi dengan stasiun, Perumnas melakukan kajian dan koordinasi dengan pemangku kebijakan terkait ketersediaan listrik, air, pembuangan sampah, yang menjadi syarat pengurusan izin.
Integrasi ruang
Vice Director Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) Faela Sufa mengatakan, TOD berarti mengintegrasikan desain ruang kota untuk menyatukan orang, kegiatan, bangunan, dan ruang publik. Oleh sebab itu, pembangunan TOD tak bisa satu kawasan, tetapi seluruh area.
Pada intinya, prinsip dasar TOD adalah kawasan yang warganya tak tergantung dari kendaraan. Berdasar prinsip itu, pengembangan kawasan TOD mensyaratkan tersedianya jaringan akses pejalan kaki atau bersepeda yang baik serta aman dan nyaman sepanjang 24 jam.
”Maksudnya, akses itu terlindung dari kendaraan bermotor, ada peneduh dengan suhu yang terjaga tidak terlalu panas atau dingin. Juga hidup sepanjang hari dan aman,” katanya.
Pengembangan TOD seharusnya juga membatasi lahan parkir karena dapat mendorong penghuninya menggunakan kendaraan pribadi. (DEA/IRE/ART)