Pemilik media dan kelompok kepentingan lain, seperti pengiklan, kerap kali mengintervensi otonomi redaksi.
JAKARTA, KOMPAS Secara ekonomi, pers Indonesia masih belum bebas dari intervensi pemilik media, terutama terkait dengan kepentingan bisnis unit usaha pemilik media. Independensi media juga dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi dari pihak luar, terutama perusahaan-perusahaan pemasang iklan.
Mengutip hasil Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2017, Anggota Dewan Pers, Henry Ch Bangun menyampaikan, kebebasan pers di bidang ekonomi saat ini masih berada pada kategori sedang atau agak bebas, yaitu pada skor 67,08. “Bidang ekonomi ini yang membuat kita (pers) agak rendah indeks kebebasannya,” katanya di sela-sela konferensi memeringati Hari Kebebasan Pers Sedunia 2018 di Jakarta, Selasa (8/5/2018).
Hasil Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2017 di Indonesia yang disusun oleh Dewan Pers secara umum menunjukkan kemerdekaan pers di Indonesia berada dalam posisi agak bebas dengan indeks sebesar 68,96. Keadaan ini membaik dari tahun sebelumnyaa yang menunjukkan indeks sebesar 63,44.
Selain itu, tantangan ekonomi lain yang dialami pers adalah masalah kesejahteraan gaji wartawan. Hasil IKP 2017 mencatat, skor untuk gaji wartawan 13 UMP (Upah Minimum Provinsi minimal 13 kali setahun ) sebesar 56,99 atau dalam kategori rendah. Hal ini kemudian berkolerasi dengan toleransi wartawan terhadap amplop.
Amplop kemudian dianggap oleh sebagian wartawan sebagai pelengkap kebutuhan ekonomi. Namun, kondisi ini justru membuat publik khawatir jika isi berita yang disampaikan akan cenderung memihak pada kepentinngan pemberi dana, seperti pemerintah daerah dan perusahaan komersial.
Intervensi pemilik media
Ati Nurbaiti dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berpendapat, intervesi pemilik media yang mengancam independensi pers terlihat dari rapat redaksi, persoalan seputar peraturan dan tata kelola perusahaan, serta tingakt kesejahteraan wartawannya. Berbagai tekanan dari pemilik media kepada redaksi biasanya akan sulit menghasilkan keragaman dalam berita.
“Pemimpin redaksi akan sulit menghindari tekanan dari pemilik media terutama pada pemilik yang berafiliasi dengan kepentingan ekonomi dan politik tertentu,” ucapnya.
Keberpihakan media akibat polarisasi politik ini bisa menurunkan kepercayaan publik pada media tersebut. Akibatnya, justru dialami oleh wartawan dari media tersebut seperti penyerangan yang terjadi pada akhir 2016 lalu.
Menanggapi hal ini, pengamat media Ignatius Haryanto menyarankan, adanya intervensi yang tegas dari pemerintah agar permasalahan kebebasan pers dari kepentingan pemilik media bisa diselesaikan.
“Harus ada upaya yang keras untuk mengatasi masalah ini. Pemerintah bisa mengintervensi melalui pembentukan Undang-Undang yang mengatur pemilik media tidak boleh masuk ke dunia politik. Jika memang mau masuk harus melepaskan kepemilikan medianya,” ujarnya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Rudiantara, berharap, peran pers bisa semakin kuat di tengah banjir informasi saat ini. Media perlu mempertahankan indepensi dan profesionalisme sesuai kaidah jurnalistik melalui pemberitaan yang disampaikan, bukan malah menambah kegaduhan di tengah masyarakat terutama dalam tahun politik saat ini.