Lambaian Tangan Terakhir Soeharto
10 Mei 1998
Harian Kompas terbitan Minggu, 10 Mei 1998, menampilkan foto utama Presiden Soeharto di atas pesawat Garuda MD-11. Soeharto melambaikan tangan kepada pengantarnya. Sabtu, 9 Mei 1998, pukul 08.00 itu, di tengah tekanan politik mahasiswa, Presiden Soeharto meninggalkan Tanah Air untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-15 di Kairo, Mesir. Ikut mengantarkan kepergian Presiden Soeharto antara lain Wakil Presiden BJ Habibie serta para kepala staf angkatan. Harian ini menulis dengan judul besar, ”Presiden Soeharto: Pelihara Stabilitas”.
Keputusan Soeharto terbilang berani meninggalkan Jakarta yang sedang bergejolak. Atau, Presiden Soeharto masih percaya diri bahwa pembantunya bisa mengendalikan keadaan. Padahal, tekanan politik yang menuntut reformasi total—bahasa lain dari meminta Soeharto mundur—kian menguat.
Tidak ada yang menduga juga bahwa foto lambaian tangan Soeharto itu menjadi foto yang terakhir semasa karier Soeharto sebagai presiden. Kepergian Soeharto ke Kairo, Mesir, juga menjadi kunjungan ke luar negeri terakhir. Perkembangan politik di Tanah Air memaksa Soeharto untuk mempercepat kunjungan di Kairo.
Tidak ada yang menduga juga bahwa foto lambaian tangan Soeharto itu menjadi foto yang terakhir semasa karier Soeharto sebagai presiden. Kepergian Soeharto ke Kairo, Mesir, juga menjadi kunjungan ke luar negeri terakhir. Perkembangan politik di Tanah Air memaksa Soeharto untuk mempercepat kunjungan di Kairo.
Berbicara kepada wartawan di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, 9 Mei 1998, Presiden Soeharto mengatakan, dia mengetahui keadaan dan keprihatinan rakyat, tetapi dia juga percaya, rakyat lebih mementingkan kepentingan negara dan bangsa dibandingkan kepentingan rakyat. Soeharto tetap mencoba membujuk rakyat. ”Saya percaya, rakyat menyadari betapa pentingnya stabilitas nasional, khususnya stabilitas politik. Lebih-lebih di saat kita akan mengadakan perbaikan-perbaikan akibat krisis. Semua ini memerlukan ketenangan, keamanan, dan ketertiban,” kata Soeharto.
Dalam penjelasannya kepada wartawan mengapa dia meninggalkan Jakarta, Soeharto percaya kesadaran rakyat akan pentingnya stabilitas nasional.
”Keyakinan saya akan kesadaran rakyat menjadikan saya dengan tenang meninggalkan Tanah Air untuk memenuhi kewajiban demi kepentingan bangsa dan negara. Karena itu, saya harapkan stabilitas politik dan stabilitas nasional dapat dipelihara,” demikian pesan Presiden.
Ditegaskan, ”Selama saya meninggalkan Tanah Air, mudah-mudahan segala sesuatunya berjalan baik. Jangan sampai keinginan-keinginan reformasi kemudian mengorbankan segala-galanya. Bahkan sampai merusak hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.”
Presiden Soeharto juga mengkritik sikap pers Indonesia yang dianggap memperkeruh suasana melalui pemberitaannya, bukannya mencoba menenangkan masyarakat. Presiden Soeharto menyatakan keheranannya terhadap pers yang menurut dia hanya menonjolkan kebebasan, tetapi kurang memperhatikan tanggung jawab dalam pemberitaannya.
Perkembangan politik di Tanah Air ternyata tidak berpihak pada Soeharto. Suara-suara untuk menggelar Sidang Istimewa MPR mulai keras. Tuntutan Sidang Istimewa MPR ditentang oleh Wakil Presiden BJ Habibie.
Tidak ada alasan yang logis dan rasional untuk menggelar Sidang Istimewa MPR. ”Tuntutan itu melecehkan demokrasi dan rakyat,” kata Wapres BJ Habibie seperti dikutip Kompas, Minggu, 10 Mei 1998.
Perkembangan politik di Tanah Air ternyata tidak berpihak pada Soeharto. Suara-suara untuk menggelar Sidang Istimewa MPR mulai keras.
Senin, 11 Mei 1998, tidak ada koran terbit karena bertepatan dengan hari raya Waisak. Pernyataan Presiden Soeharto agar bangsa ini menjaga stabilitas ditanggapi harian Kompas dalam Tajuk Rencana, Selasa, 12 Mei.
Dalam Tajuk Rencana berjudul ”Kecuali Stabilitas Nasional, Sangat Diperlukan Kepercayaan”, Kompas menulis, ...sekalipun formula yang dikenal adalah stabilitas nasional dan stabilitas politik, sesungguhnya pengertian yang tercakup jauh lebih luas. Termasuk dalam pengertian stabilitas itu adalah akibatnya atau resultatnya, yakni bahwa stabilitas itu menghasilkan dan karena itu disertai kepercayaan.
Kepercayaan dari masyarakat dalam negeri dan kepercayaan dari luar negeri. Kepercayaan itulah faktor yang menyertai stabilitas serta menjadi faktor yang tidak pula dapat diabaikan. Kepercayaan itu ramuannya bermacam-macam, tetapi jika kita kupas secara tajam, ramuannya yang pokok adalah berhasilnya pembangunan ekonomi.
Keberhasilan pembangunan ekonomi itu sedemikian rupa, sehingga bagi masyarakat dalam negeri serta bagi pihak di luar negeri, mendesak atau mengalahkan pertimbangan lain seperti mutu demokrasi, mutu partisipasi, mutu asas dan kepastian hukum, mutu keadilan sosial serta mutu dan efektivitas kontrol, etika kewajaran dan kepatutan.
Pertimbangan itu setiap kali kalah atau terdesak oleh kenyataan bahwa pembangunan ekonomi toh berhasil. Berhasil meningkatkan kemakmuran rata-rata orang Indonesia, berhasil mengurangi jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, berhasil melipatgandakan ekspor nonmigas, berhasil membangun prasarana ekonomi, berhasil mengembangkan institusi-institusi ekonomi.
Pembangunan ekonomi selama 30 tahun, apalagi setelah sejak tahun sembilan puluhan interaksi global semakin merambah dan semakin intensif, berhasil pula mendinamisir kesadaran sosial politik rakyat, elite, mahasiswa, kaum profesional.
Kesadaran sosial politik masyarakat itu menemukan momentum eksplosi dan eskalasi, ketika kita, Indonesia, tertimpa oleh mula-mula krisis keuangan, kemudian krisis ekonomi dan akhirnya krisis berkepanjangan dalam ekonomi yang menyentuh serta menguakkan krisis di bidang-bidang lain.
Krisis ekonomi berkepanjangan menggugat, bagaimana sesungguhnya keadaan kita. Semula kita bisa menerima bahwa kita terkena arus domino dari krisis di Thailand. Kemudian kita melihat dan merasakan berbagai kerapuhan pada institusi-institusi keuangan dan ekonomi kita.
Mengapa kerapuhan itu terjadi? Karena deviasi dan bentuk-bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan kesempatan, wewenang dan kekuasaan yang tidak tersentuh oleh efektivitas kontrol dan koreksi.
Mengapa kerapuhan itu terjadi? Karena deviasi dan bentuk-bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan kesempatan, wewenang dan kekuasaan yang tidak tersentuh oleh efektivitas kontrol dan koreksi.
Kenapa penyalahgunaan serta tidak efektivitasnya kontrol dan koreksi terjadi? Di sinilah orang mulai mencari tahu secara kritis, secara jujur, secara lugas, secara berani. Bangkitlah hasrat akan reformasi, reformasi di bidang ekonomi, yang dalam keadaan krisis, mau tidak mau mempertanyakan serta menggugat reformasi di bidang politik.
Hasrat, perasaan serta penilaian itu sebenarnya sudah ada sebelumnya seperti setiap kali diungkapkan lewat berbagai peristiwa politik. Namun setiap kali, bisa dinetralisir lewat persuasi serta rekayasa yang dibenarkan oleh legitimasi keberhasilan ekonomi.
Perasaan dan penilaian bahwa segala sesuatu seakan-akan telah semakin melewati batas kewajaran dan kepatutan - yang notabene menjadi dasar-dasar nilai masyarakat Indonesia - sebenarnya sudah lama hidup dan berkembang dalam masyarakat. Namun pandangan dan perasaan itu juga dihambarkan oleh keberhasilan ekonomi serta budaya ewuh pakewuh, budaya enggan, masyarakat kita.
Segala sesuatu itu berubah setelah terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bukan saja lingkungan ekonomi yang ditinjau dan dinilai lagi. Pandangan dan penilaian kritis korektif juga ditujukan ke bidang lain di luar ekonomi, khususnya di bidang politik. Sebab akhirnya permasalahan dan krisis di bidang ekonomi pun ada kaitannya dan ada interaksinya dengan bidang politik, bidang penyelenggaraan kekuasaan, penyelenggaraan pemerintahan, penyelenggaraan kepemimpinan.
Demikianlah, lambat laun - tetapi dalam irama yang serba cepat muncullah persoalan kepercayaan. Krisis kepercayaan dan karena itu juga krisis kewibawaan dan jika dibiarkan berlarut akan menjadi krisis kompetensi dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan.
Berbagai gejalanya sudah tampak seperti dalam hal aksi-reaksi terhadap kenaikan harga BBM dan tarif listrik. Mulai menjadi persoalan seberapa jauh bobot efektivitas pemerintahan dibandingkan dengan berat serta kompleksnya permasalahan yang dihadapi.
Karena itu, sekiranya analisis kita di atas benar, kita sampai pada pengamatan: benar, stabilitas nasional tetap diperlukan, tetapi kini stabilitas itu memerlukan bahkan ditentukan oleh seberapa jauh kita dapat memulihkan kepercayaan, kewibawaan serta kompetensi. Inilah tugas kita bersama mengatasi krisis kepercayaan.
Berbagai cara diusahakan, seperti lewat dialog dan persuasi pada beragam tingkat dan lingkungan. Reformasi ekonomi seperti yang disepakati bersama IMF, dilaksanakan. Reformasi politik diserahkan ke forumnya yang tepat, yakni DPR. Apa lagi permasalahannya?
Benar, stabilitas nasional tetap diperlukan, tetapi kini stabilitas itu memerlukan bahkan ditentukan oleh seberapa jauh kita dapat memulihkan kepercayaan, kewibawaan serta kompetensi. Inilah tugas kita bersama mengatasi krisis kepercayaan.
Bahwa reformasi itu makan waktu, padahal yang telanjur mendesak, reformasi sekarang juga. Apakah ada makna reformasi yang sekarang juga? Ada, yakni substansi yang diwujudkan dalam semangat serta diwujudkan secara nyata, setiap kali ada kesempatan. Kesempatan membentuk pemerintahan kemarin ini oleh kalangan luas dinilai sebagai kurang mencerminkan substansi dan semangat reformasi itu.
Kini upaya apa lagi yang dapat dilakukan untuk memulihkan kepercayaan? Barangkali dialog nasional pada tingkat tinggi, yang melibatkan Presiden, figur pemerintahan dan ABRI serta figur-figur masyarakat yang wibawa, integritas serta kredibilitas kepemimpinannya diterima luas oleh masyarakat. Pertemuan harus tulus dan jujur, bukan lagi sekadar basa-basi. Sebab kepercayaan dan karena itu kewibawaan serta kompetensi, tidaklah mungkin dipaksakan.
Itulah Tajuk Rencana Kompas menanggapi pernyataan Presiden Soeharto soal perlunya stabilitas politik dijaga.
Kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya memang amat penting. Ketika krisis ekonomi berlanjut dan tidak ditangani dengan baik, hal itu bisa berdampak pada krisis kepercayaan. Ketika gejolak politik mungkin terjadi, sejarah memberi pelajaran bahwa tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada adalah kepentingan. Dengan segala rasionalitasnya sendiri, para pembantu Soeharto kemudian secara perlahan meninggalkan Soeharto.