Pemkab Rejang Lebong Siapkan Tanah Obyek Reforma Agraria
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
BENGKULU, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, telah mengidentifikasi wilayah yang menjadi tanah obyek reforma agraria. Mereka memprioritaskan tanah bekas hak guna usaha.
Identifikasi wilayah merupakan salah satu tahapan dalam upaya percepatan reforma agraria (RA) yang menjadi program unggulan Presiden Joko Widodo. Pemerintah menargetkan RA melalui legalisasi dan redistribusi tanah seluas 9 juta hektar dan perhutanan sosial 12,7 hektar. Target tersebut diharapkan dapat tercapai pada 2019.
Dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Yayasan Perspektif Baru pada Rabu (9/5/2018) di Kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rejang Lebong, Bengkulu, Pemkab Rejang Lebong telah menargetkan tanah obyek reforma agraria (TORA) tahun 2018 sebanyak 3.500 bidang tanah di lahan bekas hak guna usaha (HGU) PT Bumi Mega Sentosa (BMS) di Kecamatan Kota Padang dan Padang Ulak Tanding.
Sekretaris Daerah Kabupaten Rejang Lebong RA Denni mengatakan, luas lahan bekas HGU PT BMS mencapai 6.926 hektar. ”Tanah tersebut akan dialokasikan sebagai TORA sebesar 4.925 hektar, sedangkan 2.000 hektar dibagi rata masing-masing 1.000 hektar untuk wilayah transmigrasi dan cadangan Pemkab,” kata Denni.
Pemkab berencana membagi lahan di bekas lahan HGU PT BMS secara merata kepada masyarakat, masing-masing 2 hektar. Denni menuturkan, permasalahan yang ada di bekas lahan HGU PT BMS adalah ada beberapa warga yang memiliki lahan lebih dari 2 hektar. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan persuasif agar dapat dibagi secara merata.
Selain tanah tanah bekas HGU PT BMS, ada juga tanah bekas HGU PT Budi Putra Makmur di Kecamatan Selupu Rejang seluas 301 hektar, tanah bekas HGU PT Sembada Nabrakom di Kecamatan Bermani Ulu, dan tanah bekas HGU PT Kepahiang Indah di Kecamatan Sindang Dataran. Dua tanah bekas HGU terakhir masih dalam pendataan dan pemetaan.
Pemkab Rejang Lebong juga telah mengidentifikasi wilayah adat Bangun Jaya seluas 935,55 hektar dan memiliki hutan adat seluas 340,84 hektar. Wilayah adat lain adalah Babakan Baru seluas 1.291,98 hektar dengan hutan adat 324,89 hektar dan Kayu Manis yang memiliki hutan adat 2.135 hektar.
Adapun wilayah adat Seguring dan Lubuk Kembang masih dalam proses pemetaan dan digitalisasi. Pelaksana Tugas Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Lindung Bukit Balai Rejang Tantomi mengatakan, Lubuk Kembang masuk dalam wilayah KPH Bukit Daun. Oleh karena itu, petugas dinas Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) datang ke wilayah tersebut untuk menentukan tata batas.
Lahan di Lubuk Kembang menjadi kawasan yang dipilih Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi kawasan hutan lindung. Namun, lahan tersebut telah dikuasai masyarakat, bahkan ada yang sudah memiliki sertifikat sehingga penetapan tata batas tidak selesai.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategis Kantor Staf Presiden Usep Setiawan meminta BPKH segera menyelesaikan tata batas tersebut. Selanjutnya, lahan di Lubuk Kembang segera ditetapkan sebagai TORA karena wilayah tersebut telah menjadi perkebunan yang dikelola masyarakat. ”Bahkan ada 33 warga yang memiliki sertifikat hak milik (SHM),” kata Usep.
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Rejang Lebong Hariyanto mengatakan, Pemkab Rejang Lebong menargetkan 16.000 bidang tanah yang akan dilegalisasi dan perhutanan sosial seluas 15.058 hektar, termasuk hutan adat, pada 2018.
Gugus tugas
Salah satu upaya percepatan implementasi reforma agraria ialah pembentukan gugus tugas reforma agraria (GTRA). Kabupaten Rejang Lebong telah membuat GTRA sejak 2017 yang beranggotakan perangkat daerah, BPN, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil yang punya perhatian terhadap isu agraria.
GTRA bertugas menyusun peta jalan RA yang terintegrasi dengan dokumen perencanaan daerah. Mereka mengidentifikasi tanah masyarakat yang berpotensi menjadi obyek RA. Salah satu tugas penting lain adalah memberdayakan masyarakat di lokasi TORA.
Usep meminta Pemkab segera memberdayakan masyarakat yang ada di lokasi TORA. Salah satu produk unggulan dari Rejang Lebong adalah kopi. Selama ini, masyarakat hanya sebatas menjadi petani. Mereka menjual hasil panennya kepada tauke atau pengepul dan tengkulak. Selanjutnya, kopi tersebut diolah di Lampung.
Ia juga meminta Pemkab Rejang Lebong membentuk tim khusus yang bertugas menyelenggarakan pengakuan hukum adat Rejang Lebong. ”Pengakuan tersebut harus diprioritaskan karena hukum adat tidak akan berjalan jika tidak ada pengesahan dari DPRD,” ujar Usep.