Megawati: Kebijakan Berbasis Sains harus Jadi Prinsip Pembangunan
JAKARTA, KOMPAS—Kebijakan Berbasis Ilmu Pengetahuan harus menjadi prinsip dalam pembangunan Indonesia. Apalagi jika kita menginginkan Indonesia menjadi negara industri. Hal ini harus diperjuangkan dalam Revisi Undang-Undang tentang Sistem Nasional Penelitian dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Di dalamnya harus eksplisit menyebutkan, riset ilmu pengetahuan dan teknologi, wajib menjadi dasar dalam pengambilan keputusan pembangunan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. “Tidak ada satu negara yang memiliki industri kuat, maju dan mandiri, tanpa riset yang kuat”.
Hal ini ditegaskan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri dalam dialog nasional bertema “Meningkatkan Inovasi Iptek untuk Mendorong Industri Dalam Negeri Mewujudkan Ekonomi Pancasila”, di Auditorium Gedung BPPT, Jakarta, Rabu (9/5/2018). Pembahasan yang juga menghadirkan Presiden RI ke-3 BJ Habibie sebagai pembicara ini, sejalan dengan kehendak kuat Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri.
Pengarusutamaan riset bagi sebuah negara hanya dapat dipastikan jika aturan hukum yaitu undang-undang yang mengaturnya memastikan, memandatkan, agar riset bukan hanya menjadi masukan dalam memutuskan kebijakan pembangunan. Logika legislasi kata “masukan” berarti boleh iya dan boleh tidak digunakan.
“Indonesia harus keluar dari paradigma “suka-suka saja” dalam urusan riset. Mau digunakan boleh, tidak digunakan tidak apa-apa. Riset itu perlu, tapi sekarang ini undang-undangnya tidak menampung hal itu dan tidak memperhitungkan dampak masa depan," ujarnya.
Dengan adanya fondasi kebijakan yang kuat, maka politik anggaran akan menyesuaikan, demikian pula tentang penyediaan sumber daya manusia bidang ipteknya. Saat ini anggaran riset minim. Indonesia baru mengalokasikan 0,25 persen dari produk domestik bruto (PDB), yakni Rp 25,8 triliun bagi riset iptek.
Anggaran yang murni untuk riset hanya Rp 11,28 triliun atau hanya 0,54 persen dari total APBN 2016. Sementara untuk tahun 2018, persentase anggaran yang murni untuk riset, tetap pada angka 43,7 persen, maka setara dengan 10,89 triliun atau hanya 0,49 persen dari total APBN 2018. Bahkan turun 0,05 persen dari APBN dua tahun lalu.
Selain itu, menurut Megawati, kebijakan SDM iptek tidak mendukung pada pembangunan berbasis sains. Contohnya, peraturan yang memutuskan usia pensiun 60 tahun bagi peneliti madya. Artinya, Indonesia kehilangan 20 persen dari total peneliti madya atau 6 persen dari total peneliti secara nasional.
Padahal, tidak mudah bagi bangsa ini melahirkan peneliti madya. Selama mereka masih mampu memberikan sumbangsih pikiran dan gagasan, selama itu pula mereka harus tetap diberi ruang dan akses untuk mengabdikan diri kepada negara.
Kebijakan SDM iptek tidak mendukung pada pembangunan berbasis sains.
Atas inisiatif Pemerintah, saat ini, di DPR sedang berlangsung pembahasan Revisi atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Fondasi dasar
Kata kunci untuk menjadi negara industri, yaitu kebijakan berbasis riset ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal itu menjadi fondasi dasar sesungguhnya, dan telah diletakkan oleh Proklamator, sekaligus Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno.
Ia sangat mencita-citakan Indonesia menjadi negara industri. Arsip sejarah memperlihatkan bahwa Bung Karno melibatkan tidak kurang dari 600 pakar. Mereka tergabung dalam Dewan Perancang Nasional. Bung Karno menekankan bahwa pondasi Rencana Pembangunan Nasional harus bersifat ilmiah, yang merupakan hasil riset nasional, yang berdasar pada kenyataan yang ada dan kebutuhan rakyat Indonesia.
Riset ilmiah tersebut melahirkan sebuah cetak biru pola pembangunan nasional untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri. Inilah rencana pembangunan nasional pertama bagi Indonesia, sebagai pondasi, dasar pembangunan rohaniah dan jasmaniah yang sehat dan kuat.
Inilah sesungguhnya pondasi pembangunan tata perekonomian nasional sebagai ekonomi pancasila, agar di atasnya dapat dibangun suatu “rumah Indonesia” yang sanggup berdiri di atas kaki sendiri, yang tidak bergantung kepada pasang surutnya ekonomi dunia.
Rencana Pembangunan Nasional tidak boleh satu orang pun mengubahnya. Semua elemen bangsa wajib berpedoman dan terlibat dalam menjalankannya. Karena derajat kepentingannya untuk keberlangsungan hidup bangsa dan negara, maka prinsip-prinsip ideologi Pancasila yang juga menjadi pijakan riset untuk penyusunan Rencana Pembangunan Nasional ditetapkan menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Sementara Kepala Panitia Khusus Revisi UU Sisnas Iptek DPR RI, Daryatmo Mardiyanto mengatakan draft Revisi UU Sisnas Iptek akan menampung berbagai masukan dan menjadi bahan pembahasan. Itu termasuk tentang pembatasan usia pensiun peneliti namun hal ini belum dituangkan.
Nantinya semua produk hukum turunannya harus mengikuti termasuk PP nomer 11 tahun 2017. “Dalam waktu tiga bulan akan selesai pembahasannya dengan memasukkan usulan dari beberapa instansi. Tentang kebijakan anggaran akan dimasukkan namun akan membesar akan dibicarakan transisinya," ujarnya.
Rieke Diah Pitaloka selaku anggota Pansus ini mengatakan akan memperjuangkan di DPR untuk memasukkan pemikiran dari Megawati dan B J Habibie untuk kembali menyusun GBHN dan menginginkan Indonesia menjadi negara industri.
“Sudah saatnya kebijakan negara kita berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi dan inovasi, Sehingga tidak berupa asumsi tapi jelas tolok ukur, indikator dan arahnya semua transparan dan menjadi national property,” ujarnya.
Selain itu keberpihakan kita pada SDM riset akan dipertegas, terutama bagaimana meningkatkan pendidikan dan kualitas merka dan penghasilannya. Selain itu ada politik anggaran yang harus diperjuangkan agar peneliti mendapat penghasilan yang setara dengan peneliti asing.
Target yang paling dekat untuk diatasi adalah terkait dengan PP 11 tahun 2017, yang mempensiunkan lebih cepat peneliti dan perekayasa madya. Kita akan memiliki BRN tapi kalau peneliti madyanya hilang bagaimana. “Untuk menjadi peneliti madya perlu waktu yang lama. Belum tentu dalam 10 tahun lahir satu peneliti madya. BRN tetap ada namun didalamnya ada BPPT menjadi pilar, papar Rieke.
Anggaran riset bisa dinaikan tapi harus jelas peruntukannya. Kalau risetnya hanya untuk publikasi dan mengejar kum profesor kontribusi pada kepentingan negara untuk membangun industri kurang. Tapi kalau kebijakan berbasis iptek benar, maka akan memperbaiki politik anggaran dan keberpihakan pada SDM riset iptek.
Namun, kalau minta anggara ditambah tapi hasil riset tidak menjadi dasar pembangunan yang buat apa. Mereka frustasi banyak melakukan riset tapi tidak menjadi keputusan pembangunan. Sehingga menimbulkan dampak kegagalan dalam pembangunan seperti jembatan roboh. Solar sel industri tidak berkembang dan mobil listrik mandek. Padahal sudah ada lembaga riset yang sudah melakukan pengkajian.
"Dengan keluarnya UU Sisnas Iptek yang baru, tidak bergantung pada satu presiden yang berkuasa. Selama ini begitu ganti presiden akan ganti aturan," kata Rieke.