Para Pendekar yang Berjaya dalam Komik dan Film
Kehadirannya tidak selalu bombastis, tetapi film silat relatif setia menyertai jagat perfilman Indonesia. Di tengah maraknya produksi film belakangan ini tetap terselip satu-dua film laga berlatar silat sebagai salah satu bahan baku utamanya.
Pemain film Iko Uwais, misalnya, tak hanya menunjukkan gerakan silatnya dalam film nasional, tetapi mencuri perhatian dunia pada 2015 lewat film Star Wars: The Force Awakens.
Dalam kesehariannya, Iko Uwais memang belajar pencak silat di perguruan Tiga Berantai di daerah Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur. Sebelum bermain dalam Star Wars, Iko juga beraksi antara lain lewat film Merantau (tahun 2009), The Raid: Redemption (2012) dan The Raid 2: Berandal (2014).
Tahun 2017 beredar film Surau dan Silek yang menampilkan gerakan-gerakan silat dari perguruan pencak silat di bumi Minangkabau. Mengutip pernyataan sutradara Surau dan Silek, Arief Malinmudo, harian Kompas, 6 Februari 2018 mencatat, film ini bertahan selama sekitar 40 hari di bioskop-bioskop di Tanah Air. Surau dan Silek juga diputar di berbagai festival film, seperti di Australia, Hong Kong, dan Italia.
Sebelumnya, pada 2014 sutradara Ifa Ifansyah muncul dengan film silat berjudul Pendekar Tongkat Emas. ”Selama tujuh bulan sebelum pengambilan gambar, para pemain mempersiapkan kondisi fisik dan berlatih gerakan silat. Latihan ini mulai dari seminggu tiga kali sampai setiap hari dari pagi hingga malam,” kata sang produser Mira Lesmana yang melibatkan penata koreografi laga asal Hong Kong, Xinxin Xiong.
Sekitar 47 tahun yang lalu, harian Kompas yang terbit tanggal 11 Januari 1971 menurunkan foto dengan teks panjang tentang pengambilan gambar film silat berjudul Tuan Tanah Kedawung.
Dalam foto yang menampilkan artis Suzanna dan aktor Dicky Suprapto itu, antara lain disebutkan, Tuan Tanah Kedawung diangkat dari komik karya Ganes Th. Film itu merupakan karya kedua Ganes yang diangkat ke layar lebar setelah Si Buta dari Gua Hantu (1970).
Tuan Tanah Kedawung yang disutradarai Liliek Sudjio juga menampilkan antara lain aktor Farouk Afero, Maruli Sitompul, Kusno Sudjarwadi, dan artis Tina Melinda. Dalam buku Katalog Film Indonesia 1926-1995 yang disusun JB Kristanto disebutkan, Tuan Tanah Kedawung berkisah tentang perebutan harta dalam keluarga seorang tuan tanah pada masa penjajahan Belanda.
Populer
Film silat yang dibuat tahun 2000-an, seperti Pendekar Tongkat Emas serta Surau dan Silek, skenarionya memang ditulis untuk produksi film. Pendekar Tongkat Emas, misalnya, menggandeng Jujur Prananto dan Seno Gumira Ajidarma sebagai penulis skenarionya. Mereka memerlukan waktu sekitar 1,5 tahun untuk menulis skenario film itu.
Sementara produksi film silat pada awal 1970-1980-an sebagian mengambil cerita dari komik silat yang populer di kalangan masyarakat.
Salah seorang komikus populer adalah Ganes Thiar Santosa atau Ganes Th. Komiknya populer dan sampai tahun 1973, lima di antaranya menjadi kisah yang difilmkan.
Selain Tuan Tanah Kedawung dan Si Buta dari Gua Hantu, komik karya Ganes Th yang juga populer dalam versi film layar lebar antara lain Misteri di Borobudur dan Tjisedane. Dalam buku Katalog Film Indonesia 1926-1995 disebutkan, skenario dan sutradara Misteri di Borobudur (1971) dipegang Pitrajaya Burnama.
Sementara Tjisedane (1971) berkisah tentang Sugala dan Sugali, dua bersaudara pendekar silat yang hidup pada masa penjajahan Belanda. Selain melawan penjajah, mereka juga mengobrak-abrik komplotan penjahat pimpinan Mat Gerong.
Dunia persilatan semakin menarik dengan bumbu asmara yang terjalin antara Sugala, Sugali, dan anak gadis Mat Gerong.
Dari semua komik karya Ganes yang diangkat ke layar lebar, bisa dikatakan Si Buta dari Gua Hantu yang menjadi sang primadona. Begitu populernya komik dan film silat Si Buta dari Gua Hantu, sampai-sampai Ratno Timoer yang menjadi pemeran Si Buta alias Barda Mandrawata disebut-sebut sebagai ”pendekar” perfilman Indonesia.
Kompas, 19 Oktober 2014, mencatat, setidaknya ada enam film Si Buta yang diperankan Ratno Timoer. Keenam film tersebut adalah Si Buta dari Gua Hantu (1970), Misteri di Borobudur (1971), Sorga yang Hilang (1977), Si Buta dari Gua Hantu-Duel di Kawah Bromo (1977), Si Buta dari Gua Hantu-Neraka Perut Bumi (1985), dan Si Buta dari Gua Hantu-Lembah Tengkorak (1990).
Ratu silat
Komik silat populer yang kisahnya juga diangkat ke layar lebar adalah karya komikus Djair Warni Ponakanda. Pendekar ciptaan Djair bernama asli Parmin Sutawinata yang terkenal dengan julukan Pendekar Gunung Sembung atau Jaka Sembung.
Kalau Si Buta digambarkan berambut panjang melambai-lambai terkena angin, Jaka Sembung bisa dikenali antara lain lewat ikat kepala dan sarung yang diselempangkan ke badannya.
Kisah komik Jaka Sembung yang diangkat menjadi film antara lain Jaka Sembung Sang Penakluk (1981), Jaka Sembung dan Bajing Ireng (1983), juga Jaka Sembung dan Dewi Samudra (1990).
Berbeda dengan Si Buta, kisah komik Jaka Sembung yang populer tahun 1970-an baru diangkat ke layar lebar pada 1980-an (Kompas, 26 Juli 2014).
Tak berbeda dengan Ratno Timoer yang berkali-kali menjadi pendekar Si Buta, maka dalam film-film Jaka Sembung yang berperan sebagai sang pendekar adalah Barry Prima. Barry yang berwajah indo itu memang punya latar belakang ilmu bela diri.
Jaka Sembung dan Bajing Ireng yang disutradarai Tjut Djalil dan skenario ditulis Imam Tantowi, misalnya, berkisah tentang pertemuan Jaka Sembung dengan Bajing Ireng, perempuan pendekar dengan pakaian hitam dan menutupi sebagian wajahnya.
Bajing Ireng suka mencuri harta orang kaya demi menolong orang miskin. Dalam salah satu aksinya, Bajing Ireng berhadapan dengan Jaka Sembung. Dari semula lawan, keduanya lalu bersatu melawan kejahatan.
Pendekar dalam film silat yang berasal dari komik lainnya adalah Panji Tengkorak, ciptaan komikus Hans Jaladara. Pemeran Panji Tengkorak, setidaknya dalam dua film, adalah aktor Deddy Sutomo, yakni dalam Pandji Tengkorak (1971) dan Panji Tengkorak Vs Jaka Umbaran (1983).
Sementara artis Rita Zaharah mendapat julukan Ratu Silat Asia. Ini, antara lain, karena pada tahun 1971 dia bermain sebagai pendekar silat dalam tiga film, yakni Pendekar Bambu Kuning, Misteri di Borobudur, dan Pandji Tengkorak (Kompas, 27 Oktober 2002).
Rita juga berlatih karate, judo, dan taekwondo sampai sabuk hitam. Tak heran kalau dia masih beraksi di layar kaca sampai tahun 1980-an.
Rita memang gesit dan cocok sebagai artis film silat. Dia pernah belajar silat Cimande dari Mang Beureum di Cianjur, Jawa Barat. Rita juga berlatih karate, judo, dan taekwondo sampai sabuk hitam. Tak heran kalau dia masih beraksi di layar kaca sampai tahun 1980-an.
Kompas, 28 April 2002, menulis, sukses komik Si Buta dari Gua Hantu telah menginspirasi komikus Hans yang semula banyak membuat komik drama untuk menciptakan tokoh pendekarnya sendiri.
Apalagi ketika itu ada penerbit yang menawari Hans untuk menerbitkan karya komik silatnya. Jadilah komik pendekar Panji Tengkorak dengan wajah tertutup topeng tengkorak.
Hans tak kesulitan menggambarkan gerakan-gerakan silat Panji Tengkorak karena dia belajar kungfu di perguruan Cheng Bu di kawasan Mangga Besar, Jakarta. Hans juga sempat belajar bela diri judo. Untuk film Pandji Tengkorak, Hans juga menjadi penulis skenarionya.
Emas
Bagi para pencipta komik silat, awal 1970 sampai awal 1980-an adalah era keemasan. Selain jilid-jilid komik mereka menjadi tambang bagi penerbit karena ditunggu para pembaca, para komikus juga mendapat penghasilan lebih bila karyanya diangkat ke layar lebar.
Hans Jaladara bercerita, pada masa jaya komik Panji Tengkorak pada 1970-an, dari satu naskah komik dia mendapat uang yang besarnya setara dengan harga satu ons emas.
Sementara komikus Djair Warni Ponakanda pada tahun 1969 lewat komik ciptaannya, Si Tolol, yang terdiri atas 64 halaman mendapat honor sekitar Rp 100.000-Rp 150.000 per naskah.
”Padahal, harga emas saat itu Rp 250 per gram. Jadi, dari satu naskah komik saja, saya dapat membeli setengah kilogram emas,” kata Djair yang karya komiknya antara lain Bergola Ijo, Air Mata Kasih Tertumpah di Kandang Haur, dan Si Bule (Kompas, 26 Juli 2014).
Selain Jaka Sembung, karya Djair yang diangkat ke layar lebar di antaranya Bergola Ijo dan Lebak Membara. Dia juga menulis skenario untuk film Malaikat Bayangan (1987).
Masa kejayaan komik Indonesia memudar seiring masuknya komik impor dari Amerika Serikat dan Jepang tahun 1980-an.
Masa kejayaan komik Indonesia memudar seiring masuknya komik impor dari Amerika Serikat dan Jepang tahun 1980-an. Namun, film-film silat Indonesia tetap memiliki penontonnya sendiri.
Sutradara Garin Nugroho dalam tulisannya di Kompas, 23 Mei 1993, menyatakan, krisis film Indonesia yang ditandai dengan tutupnya studio-studio pada 1957-1968 kembali ”bertenaga” lewat film laga berjudul Sembilan (1968) yang disutradarai Wim Umboh.
Mengutip data perfilman Indonesia, dalam kurun 1987-1992 atau selama lima tahun, film laga menjadi jenis yang terbanyak dibuat dan digemari penonton. Dari 558 film di wilayah edar utama DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, sebanyak 171 di antaranya film laga, disusul film drama 167, lalu film komedi, film remaja, film horor, film sejarah dan film anak-anak.
Dari 171 judul film laga tersebut, yang termasuk laris adalah film Saur Sepuh. Kisah Saur Sepuh berasal dari sandiwara radio yang sukses.
Dalam buku Katalog Film Indonesia 1926-1995, ada lima judul film Saur Sepuh, yakni Saur Sepuh-Satria Madangkara (1988), Saur Sepuh II-Pesanggrahan Keramat (1988), Saur Sepuh III-Kembang Gunung Lawu (1989), Saur Sepuh IV-Titisan Darah Biru (1991), dan Saur Sepuh V-Istana Atap Langit (1992).
Berbeda
Memang tak semua film laga yang populer berawal dari komik. Bahkan, sebelum ada komik-komik silat, film silat sudah menjadi tontonan yang disukai masyarakat.
Sebagian di antaranya mengambil ide cerita dari legenda, seperti film Si Pitoeng (1931) dan Si Pitung (1970). Kisahnya tentang pendekar Betawi yang menjadi pembela rakyat kecil terhadap kesewenang-wenangan para tuan tanah dan penjajah.
Film lain di antaranya Matjan Kemajoran dan Djampang Mentjari Naga Hitam (Kompas, 5 Mei 1971).
Seiring dengan munculnya stasiun-stasiun televisi swasta pada 1990-an, film silat pun muncul di layar kaca. Bahkan, Si Buta dari Gua Hantu dibuat lagi dalam versi sinetron yang terdiri dari 52 episode.
Kalau Si Buta dari Gua Hantu ditayangkan RCTI, maka TPI memilih menayangkan Saur Sepuh dan Mahkota Mayangkara (Kompas, 24 Juli 1994).
Rating tinggi, yang menandakan tayangan itu ditonton banyak pemirsa, membuat stasiun televisi ”berlomba” menayangkan film silat. Indosiar, misalnya, menyajikan sinetron Panji Tengkorak dalam 25 episode (Kompas, 5 Juli 1996). Setiap episodenya berdurasi sekitar 48 menit.
Namun, popularitas komik dan film silat tak selalu berjalan seiring. Berbeda dengan film Walt Disney, misalnya, biasanya dibarengi dengan buku cerita dan komik yang juga populer.
Demikian pula film kartun Jepang, seperti Doraemon, yang populer dalam bentuk film ataupun komiknya.
Sejak 1980-an, komik silat Indonesia tak lagi populer seperti tahun-tahun sebelumnya. Mendapatkan komik silat Indonesia di pasaran menjadi hal yang sulit. Ini berbeda dengan sebagian film silat yang tetap diingat sebagian orang.
Pada hajatan Europalia Arts Festival Indonesia di Brussels, Belgia, Januari 2018, misalnya, film Saur Sepuh (1988) karya sutradara Imam Tantowi kembali diputar. Film ini dianggap mewakili genre film silat khas Indonesia yang berbeda dengan film silat ala Hong Kong ataupun China.
Dalam kehidupan sehari-hari, pencak silat tetap hidup dalam masyarakat. Kompas, 25 Agustus 2006, mencatat, di Jakarta terdapat 400 aliran pencak silat yang tersebar di berbagai tempat.
Beberapa di antaranya Perguruan Pencak Silat (PPS) Cingkrik Goning, PPS Mustika Kwitang, PPS Sikak Mas Jatayu, dan PPS Kancing 7 Bintang 12.
Sementara di Sumatera Barat terdapat antara lain Perguruan Sinpia, salah satu dari 22 perguruan silek (silat) di Solok. Di Padang, ada Perguruan Silat Singo Barantai di Lubuk Lintah, Kecamatan Kuranji, yang memiliki sekitar 100 murid.
Sanusi atau Bang Uci yang berasal dari PPS Pusaka Jakarta bercerita, beberapa kali menjadi instruktur gerakan dalam film silat produksi tahun 1960-an sampai 1980-an.
Sementara Zulhendri Ismed, Ketua Perguruan Singo Barantai sekaligus anggota Dewan Pendekar Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia, optimistis silat dan penghayatan agama dalam tradisi Minangkabau akan terpelihara (Kompas, 6 Februari 2018).
Semoga tak hanya film silat Indonesia yang diingat orang, tetapi komik silat kita pun kembali muncul dan dinanti para penggemarnya.
Sumber: Arsip harian Kompas, 11 Januari 1971-11 Februari 2018