Tepat satu dekade lalu, setelah penangkapan sekelompok teroris di Sumatera Selatan, terjadi insiden cukup mengejutkan di Markas Komando Brigade Mobil di Palembang, Sumatera Selatan. Saat itu, seorang jenderal polisi di tim antiteror Polri menginterogasi anggota jejaring terorisme yang baru ditangkap. Terduga teroris diinterogasi dalam keadaan tanpa borgol, berdua saja di ruangan dengan sang jenderal polisi.
Polisi bermaksud baik, yakni hendak memperlakukan teroris lebih manusiawi dan atmosfer interogasi tidak terasa kental. Seperti ngobrol-ngobrol saja. Namun, tiba-tiba di tengah interogasi, teroris itu berusaha merebut senjata api sang jenderal.
Mereka berdua pun bergulat, berebut senjata. Untunglah kejadian itu segera diketahui polisi lain yang berjaga di luar ruangan. Insiden itu pun teredam.
Insiden lama itu memang tidak terlalu diungkap ke publik oleh polisi. Namun, ilustrasi kisah tersebut di baliknya bercerita tentang satu hal, yakni paradigma polisi antiteror soal pendekatan lunak atau soft approach (istilah yang kerap dipakai polisi) dalam menghadapi teroris. Pendekatan itu selama lebih dari satu dekade inilah yang kerap didengungkan polisi dan dianggap salah satu resep keberhasilan dalam pengungkapan jejaring terorisme selama ini.
Polisi kerap menjelaskan pendekatan lunak itu sebagai upaya memperlakukan teroris tangkapan semanusiawi mungkin. Argumen polisi, cara tersebut lebih efektif untuk menggali informasi dari para teroris tangkapan. Informasi tersebut cukup krusial manfaatnya dalam investigasi untuk mengungkap jejaring terorisme yang lebih luas.
Persoalannya, pendekatan lunak itu selama ini bisa dibilang tidak dibuat menjadi elaborasi yang taktis batas-batas bentuk perlakuannya seperti apa, atau apa saja rules of conduct aturan batas-batas profesionalnya. Penerjemahan teknisnya di lapangan seperti apa, seolah menjadi improvisasi setiap polisi. Pendekatan lunak ini juga menjadi premis payung polisi dalam gagasan tentang deradikalisasi teroris. Hanya saja, pendekatan ini menyimpan potensi menjadi pisau bermata dua.
Menjinakkan
Upaya pendekatan lunak terhadap teroris tersebut bahkan tak jarang sampai ke urusan kebutuhan hidup sehari-hari. Tak jarang beberapa petinggi polisi antiteror membiayai kebutuhan keluarga anggota teroris yang ditangkap. Misalnya, ketika ada keluarga teroris yang sakit dan butuh biaya, modal untuk usaha kecil-kecilan karena keluarganya tak punya penafkah setelah sang teroris ditangkap, sampai ke biaya untuk sunatan anak mereka. Sederhananya, polisi-polisi yang bertahun-tahun menangani terorisme ini berupaya menjalin relasi ”pertemanan” dengan tahanan/narapidana terorisme.
Memang, beberapa bekas teroris kemudian bisa dijinakkan dan menjadi informan bagi polisi. Ali Imron dan Nasir Abas, misalnya, adalah dua di antaranya. Sementara, soal sejauh apa ideologi mereka melunak, itu sebenarnya amat sulit diukur.
Nyatanya dalam perjalanannya, upaya pendekatan lunak itu tidak melulu berbuah manis. Indikasi yang cukup kuat untuk meninjau ulang apa yang disebut pendekatan lunak ala polisi tersebut adalah ketika maraknya bekas narapidana teroris kembali terlibat dalam jejaring terorisme selepas mereka bebas dari bui. Bahkan, keterlibatan residivis teroris ini tidak main-main, yakni dalam sejumlah serangan teror yang skalanya cukup besar. Ada saja napi teroris yang pura-pura jinak, tetapi ternyata diam-diam punya agenda operasi serangan.
Laporan yang pernah dibuat RAND, sebuah lembaga penelitian nonprofit di Amerika Serikat, menyoroti pendekatan ”unik” polisi Indonesia ini, termasuk soal sokongan finansial dari polisi untuk keperluan keluarga teroris. Laporan ini juga bersumber dari wawancara langsung peneliti RAND dengan beberapa petinggi polisi di tim antiteror.
Sebatas tanpa penyiksaan
Pendekatan kemanusiaan sebenarnya juga menjadi evaluasi penting aparat di AS dalam penanganan teroris tangkapan pasca-era peristiwa 9/11. Namun, pendekatan tersebut terbatas pada penghentian penyiksaan dalam interogasi. Soal penyiksaan itu, seperti waterboarding, menjadi sorotan tajam di AS.
Ali Soufan, eks agen khusus FBI, misalnya, mengkritisi soal itu. Menurut dia, cara penyiksaan malah membawa interogator pada informasi yang menyesatkan. Soufan juga menyinggung isu itu dalam bukunya, The Black Banners (2011). Dalam kunjungan Soufan ke Jakarta tahun 2012, ia juga berbagi cerita soal efektivitas interogasi tanpa penyiksaan. Namun, itu tidak berarti kemudian mengabaikan prosedur keamanan dan keselamatan aparat polisi sendiri.
Bagaimanapun, pendekatan lunak pada praktiknya harus dilakukan tetap dengan prinsip profesionalisme polisi. Praktik ”berteman” atau menjalin ikatan (bonding) dengan teroris untuk kepentingan intelijen tetap harus eksplisit batas-batasnya. Jangan sampai cara ini malah menjadi bumerang yang fatal di kemudian hari.
Perlakuan profesional polisi terhadap tahanan/napi teroris harus tetap mengedepankan standar keamanan tinggi. Misalnya, penyaringan dan pemeriksaan terhadap pembesuk tahanan/narapidana teroris—sekalipun dari keluarga—harus diberlakukan ketat dan bukan hanya sesekali. Barang bawaan pembesuk pun harus diperiksa sangat mendetail setiap saat. Apalagi sudah berkali-kali terjadi, pembesuk menyelundupkan mulai dari ponsel sampai pesan surat/catatan penting dari patron atau tokoh jejaring terorisme.