Rayakan Waisak di Tengah Krisis
11 Mei 1998
Harian Kompas hari ini tak terbit karena 11 Mei 1998 adalah hari libur nasional, bertepatan dengan hari raya Waisak. Namun, pemberitaan yang dimuat harian ini, baik sebelum maupun sesudah hari raya, menggambarkan suasana keprihatinan dan krisis yang menyelimuti bangsa ini, baik di bidang politik, ekonomi, maupun kemasyarakatan. Bahkan, suasana itu sudah terlihat nyata sejak setahun sebelumnya, dalam perayaan Tri Suci Waisak 2541/1997 yang digelar di pelataran Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (22/5/1997).
Dalam pemberitaan yang dimuat Kompas edisi Jumat, 23 Mei 1997, Ketua Sangha Terravada dan Pimpinan Vihara Candi Mendut Magelang Bhikku Sri Pannyavaro dalam orasi pesan Waisaknya menyatakan, kemudahan, kenikmatan, dan kecanggihan teknologi semakin dimiliki, problem manusia pun makin bertambah dan ketegangan mental menjadi makin meluas.
Ia meminta manusia menghindarkan diri dari keserakahan, kesombongan, kecongkakan, egoisme, rasa ingin menang sendiri, kemewahan, ingin makan enak, nafsu seks berlebihan, ingin berkuasa, dan lainnya.
Di tengah dunia yang kian makmur dan maraknya kehidupan keagamaan, ternyata iman dan keyakinan terhadap agama makin luntur. Umat manusia tidak lagi menggubris nilai-nilai moral dan agama. Oleh karena itu, ia pun meminta manusia menghindarkan diri dari keserakahan, kesombongan, kecongkakan, egoisme, rasa ingin menang sendiri, kemewahan, ingin makan enak, nafsu seks berlebihan, ingin berkuasa, dan lainnya (Kompas, 23/5/1997).
Pannyavaro mengajak pemimpin dan pemuka agama untuk menghadapi hal-hal yang dilatari keserakahan dan kebencian itu.
”Cara yang ampuh tak lain dan tak bukan ialah memperkuat kesadaran dan mempertajam kewaspadaan. Kalau Saudara melatih kesadaran dan kewaspadaan Saudara, maka kesadaran dan kewaspadaan Saudara itulah yang akan mengamati dan mengontrol pikiran Saudara. Kalau kesadaran kuat dan kewaspadaan menjadi tajam, maka Saudara akan melihat pikiran Saudara dengan terang dan jelas sekali. Kesadaran dan kewaspadaan itu akan membentengi Saudara. Dan itulah yang paling penting,” katanya.
Diganggu diri sendiri
Dalam artikelnya berjudul ”Hikmah Waisak di Tengah Krisis” (Kompas, 9/5/1998), Rusdy Rukmarata, Pandita Utama Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia, menyatakan, pemaknaan terhadap Tri Suci Waisak diharapkan mampu memberikan refleksi, arahan, atau bimbingan sesuai dengan konteks situasi krisis segalanya yang sedang dihadapi bangsa kita saat ini. Ia juga mengajak warga untuk dapat melihat dan merasakan dengan jernih apa yang sebenarnya telah terjadi dengan bangsa kita sehingga dilanda krisis.
Bagaikan kalah di meja judi, lanjut Rusdy, semua yang kita punya mendadak ludes, tanpa kita sadari. Kenyataan kini memperlihatkan tiba-tiba kurs valuta asing dollar Amerika Serikat (AS) bisa naik tiga sampai empat kali lipat, bahkan pernah lima kali lipat. Keadaan itu menyebabkan penjual barang serta jasa bingung dan panik dalam menentukan harga, yang seharusnya diubah setiap hari, bahkan kadang-kadang setiap jam.
Selain penjual, para pembelinya juga menjadi panik. Takut harga barang-barang kebutuhan akan naik terus, ketika dianggap masih murah, orang memborong berbagai kebutuhan. Akibatnya, justru harga benar-benar naik dengan cepat dan tak terkendali.
Jika pada masa sebelumnya orang sepertinya berlomba untuk mendirikan perusahaan baru, kini sebaliknya. Perusahaan secara pelan, tetapi pasti mulai menghentikan kegiatannya. Bisnis perumahan semakin lesu darah dan dunia perbankan pun ikut kehilangan energi. Media massa ikut sakit, media cetak semakin tipis, media elektronik menggunting jam tayangnya. Topik tentang Indonesia di mata dunia pun berganti, bukan lagi sebagai negara maju, melainkan negara dengan utang besar yang sedang kena krisis.
Kebahagiaan, kesuksesan, keberhasilan dalam hidup ini ditentukan oleh angka kurs, jumlah pabrik, perolehan devisa, dan banyak hal lainnya. Nasib manusia tidak lagi ada di tangannya sendiri, tetapi ada pada perhitungan itu semua. Inilah krisis yang sesungguhnya.
Manusia, yang sering digelari makhluk paling sempurna di bumi ini, pun tidak ada artinya lagi. Manusia kehilangan martabatnya hanya karena nilai statistik. Kebahagiaan, kesuksesan, keberhasilan dalam hidup ini ditentukan oleh angka kurs, jumlah pabrik, perolehan devisa, dan banyak hal lainnya. Nasib manusia tidak lagi ada di tangannya sendiri, tetapi ada pada perhitungan itu semua. Inilah krisis yang sesungguhnya melanda…. (Kompas, 9/5/1998)
Dalam peringatan hari raya Tri Suci Waisak 2542/1998 di pelataran Candi Borobudur, Ketua Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) Oka Diputra mengemukakan, saat ini adalah momentum paling tepat untuk menghidupkan kembali jiwa Buddha, jiwa yang welas asih, yang sangat tepat untuk menghadapi krisis ekonomi yang sangat merugikan rakyat kecil.
Bhiku Sri Pannyavaro Mahatera dalam renungan Waisak mengemukakan, dalam situasi perekonomian yang sangat kritis saat ini, semua pihak perlu memberikan bantuan kepada rakyat yang kekurangan. Ia yakin situasi yang sulit ini pasti bisa diatasi oleh bangsa Indonesia.
”Keyakinan saya ini bukan hanya keyakinan seorang birokrat, tapi saya punya dasar dharma yang kuat. Bahwa situasi yang terjadi saat ini bukan karena diganggu oleh orang lain, melainkan karena situasi diri kita sendiri. Karena kita yang membuat sendiri, maka kita pula yang mampu menjebol tembok besar itu,” ujar Pannyavaro.
Menurut dia, krisis yang terjadi di Indonesia karena tingkah laku orang yang serakah dan penuh kebencian. Sifat itu perlu dihilangkan dengan berbuat baik (Kompas, 12/5/1998).
Krisis yang terjadi di Indonesia karena tingkah laku orang yang serakah dan penuh kebencian. Sifat itu perlu dihilangkan dengan berbuat baik.
Perayaan hari raya Waisak tahun 1997 dan 1998 tak dihadiri oleh Presiden Soeharto. Pada 1997 Menteri Agama H Tarmizi Taher hadir. Pada 1998, wakil pemerintah yang hadir adalah Direktur Jenderal Bimas Hindu-Buddha I Wayan Gunawan.
Hari Raya Tri Suci Waisak memperingati tiga peristiwa berkenaan dengan kehidupan Sang Buddha Gautama. Tiga peristiwa itu terjadi pada hari, bulan, dan saat yang sama, malam purnamasidhi atau bulan bulat sempurna pada bulan Waisakha. Pertama, lahirnya Pangeran Sidharta Gautama tahun 623 SM di Taman Lumbini, Gunung Himalaya, yang kini di wilayah Nepal.
Kedua, saat Pangeran Sidharta Gautama mencapai penerangan sempurna pada usia 35 tahun, setelah enam tahun mengembara dan bertapa pada 588 SM, dan menjadi Sang Buddha Gautama. Ketiga, saat pari nirvana atau wafat tahun 543 SM dalam usia 80 tahun, setelah 45 tahun mengajarkan dharma (perbuatan baik).