Saatnya Negara Tegas
JAKARTA, KOMPAS — Kericuhan dan penyanderaan polisi di Rumah Tahanan Salemba cabang Markas Komando Brigade Mobil Polri di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, pada Selasa hingga Kamis (10/5/2018) menegaskan saatnya negara bertindak tegas terhadap terorisme. Peristiwa itu juga memicu duka di masyarakat atas gugurnya lima anggota Polri.
Lima anggota Polri yang meninggal dalam peristiwa yang dipicu persoalan makanan ini adalah Iptu Anumerta Yudi Rospuji, Aipda Anumerta Denny Setiadi, Grigpol Amunerta Fandy Setyo Nugroho, Briptu Anumerta Syukron Fadhli, dan Bripu Anumerta Wahyu Catur Pamungkas. Personel Polri yang gugur karena luka akibat senjata tajam dan tembakan ini dinaikkan pangkatnya setingkat lebih tinggi.
Seorang tahanan teroris, Beni Samsutrisno, juga meninggal dalam peristiwa ini.
Di halaman Markas Besar Polri, semalam, sejumlah elemen masyarakat menggelar doa bersama untuk anggota Polri yang gugur dalam peristiwa di Mako Brimob. Aksi serupa juga digelar di sejumlah kota lain, seperti Yogyakarta dan Surabaya.
Sementara itu, hingga kemarin sore, tanda pagar atau tagar #TindakTegasTeroris masih bertahan dalam deretan trending topik Twitter di Indonesia. Selain itu, juga ada kata kunci lain yang menjadi topik terhangat Twitter, seperti #KamiBersamaPOLRI dan #TerimaKasihPOLRI.
Dalam cuitannya, sebagian pengguna Twitter menyampaikan rasa duka atas berpulangnya lima personel Polri.
Selain itu, ada pula cuitan berisi ajakan agar pengguna internet memberi donasi untuk istri almarhum Iptu Yudi. Ajakan ini diinisiasi Jenny Jusuf melalui platform urun dana daring Kitabisa.com. Dalam ajakannya, Jenny Jusuf menulis, ”Mari berikan penghormatan terakhir untuk almarhum Iptu Yudi. Mari kirimkan dukungan bagi istri almarhum yang tengah hamil tua dengan anak keempat mereka.”
Sejak inisiatif itu dimunculkan, Kamis sekitar pukul 12.00, dalam waktu sekitar 5,5 jam, donasi yang terkumpul mencapai Rp 58,4 juta dari 279 donatur.
Kasus di Mako Brimob ini juga ramai diberitakan oleh media luar negeri, seperti The New York Times dan The Wall Street Journal dari Amerika Serikat, The Guardian (Inggris), dan The Sydney Morning Herald (Australia). Media Jepang, Nikkei Asia Review, menulis judul ”Riot at Indonesia’s Most Secure Jail Leaves 6 Dead” atau ”Enam Orang Tewas pada Kerusuhan di Penjara Paling Aman di Indonesia”.
Tidak pernah takut
Terkait peristiwa ini, Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor menyatakan, ”Negara dan seluruh rakyat tidak pernah takut pada terorisme dan juga upaya-upaya yang mengganggu keamanan negara.”
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menambahkan, negara menjamin keamanan warganya sepanjang waktu, termasuk di kegiatan seperti Asian Games yang akan digelar Agustus mendatang.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj mengingatkan, negara tidak boleh kalah oleh terorisme. ”Kejadian di Mako Brimob itu sangat mengerikan dan menjijikkan. Penyerangan dan penyanderaan terhadap aparat kepolisian menunjukkan upaya mereka menentang negara. Kami berada di belakang kepolisian agar bertindak tegas kepada pelaku terorisme. Negara tidak boleh kalah melawan terorisme,” tegasnya.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti juga menyayangkan serangan itu justru terjadi di markas kepolisian. Menurut dia, terorisme mengancam siapa saja. Terorisme jangan serta-merta dikaitkan dengan kelompok agama tertentu dan penanganannya harus dilakukan dalam sudut pandang yang menyeluruh.
Makanan
Peristiwa di Mako Brimob ini dipicu oleh protes seorang tahanan teroris, yaitu Wawan Kurniawan alias Abu Afif alias Muhammad Rofiq bin Sainam (42). Ia memprotes kebijakan polisi yang melarang keluarganya memberi makanan kepada dirinya saat bertemu di Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada Selasa (8/5/2018) siang. Hari itu, ia menjalani persidangan perkara terorisme di pengadilan tersebut.
Pemberian makanan sekalipun dari keluarga ke tahanan terorisme memang tidak begitu saja diizinkan oleh aparat. Sebab, para napi itu seringkali memperoleh berbagai benda/material melalui penjenguk, misalnya diselundupkan dalam makanan. Material kadang terlihat tak berbahaya tetapi sebenarnya penting, seperti surat, catatan, atau bacaan yang mengandung konten ajaran ekstrem atau radikal.
Saat kembali ke tahanan di Mako Brimob, Wawan melanjutkan protesnya dan minta bertemu dengan polisi yang bertanggung jawab terkait persoalan itu. Namun, keinginannya tidak bisa terpenuhi karena polisi yang dicari sedang tidak ada di tempat. Akhirnya sekitar pukul 20.00, Wawan yang ditangkap polisi antiteror pada Oktober 2017 di Pekanbaru, Riau dan merupakan pimpinan kelompok Jamaah Ansharut Daulah di Pekanbaru, lalu memprovokasi tahanan lainnya untuk menjebol sel hingga berhasil menyandera petugas serta merebut senjata api. Dari insiden itu terjadi kericuhan lalu membesar.
Wiranto mengatakan, sesuai dengan prosedur standar operasi internasional, polisi memberi pilihan pada narapidana teroris untuk menyerah atau mengambil risiko atas penyerbuan yang akan dilakukan aparat.
Sebelum menyerbu, polisi meminta satu per satu tahanan teroris untuk keluar dari rutan. Ada 145 dari 155 tahanan yang keluar. Mereka menyerah tanpa syarat dengan meninggalkan 30 senjata rampasan.
Dengan demikian, ada 10 napi teroris yang belum menyerah. Setelah itu, aparat keamanan menyerbu ke dalam rutan.
Sebanyak 145 tahanan dan napi dari rutan Mako Brimob selanjutnya dipindahkan ke Nusakambangan.
”Mereka dipindahkan ke Lapas Batu dan Lapas Pasir Putih, Nusakambangan. Kedua lapas itu punya pengamanan maksimum. Mereka akan ditempatkan dalam sel yang terpisah atau satu sel untuk satu orang,” kata Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Ade Kusmanto.
Ade menjelaskan, rutan Mako Brimob secara administratif berada di bawah Ditjenpas. Namun, pengelolaan sehari-hari rutan itu ada di bawah Polri.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengatakan, rutan di Mako Brimob awalnya hanya diperuntukkan untuk aparat penegak hukum yang melakukan pelanggaran pidana. Rutan itu tidak layak untuk menjadi tempat penahanan tersangka terorisme. Sebab, rutan itu tidak memiliki fasilitas keamanan maksimal. ”Rutan itu idealnya untuk 64 orang, maksimal sekitar 90 orang. Tetapi di dalam itu sampai 155 orang. Jadi, sumpek sekali,” tutur Tito.