Debat Publik, Saling Serang tetapi Miskin Gagasan
Komisi Pemilihan Umum Kota Cirebon, Jawa Barat, akhirnya membatalkan debat publik ketiga pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Cirebon setelah debat sebelumnya berlangsung gaduh. Apakah debat publik mengancam kondusivitas kota seluas 37 kilometer persegi itu? Atau acara itu memang tidak penting?
Keputusan meniadakan debat publik ketiga diambil setelah debat kedua pada Rabu (9/5/2018) malam berlangsung ribut dan kedua pendukung pasangan calon nyaris bentrok. Keputusan itu disepakati oleh KPU dan Panwaslu setempat, tim kampanye kedua pasangan calon, dan Kepolisian Resor Cirebon Kota pada Kamis malam. Pertimbangannya, untuk menjaga kondusivitas ”Kota Wali”.
”Dari evaluasi kami, secara teknis, debat publik kedua sudah lebih baik dari pelaksanaan debat pertama. Namun, untuk ketertiban masih belum baik. Masih terdengar dan terlihat kegaduhan,” ujar anggota KPU Kota Cirebon, Dita Hudayani.
Saat debat publik kedua di sebuah hotel di Jalan Kartini, pendukung pasangan calon 1, Bamunas S Boediman-Effendi Edo, serta pendukung pasangan nomor 2, Nasrudin Azis-Eti Herawati, saling melempar teriakan. Di luar hotel, pendukung kedua kubu juga dijaga ketat oleh polisi.
Ketertiban debat masih belum baik. Masih terdengar dan terlihat kegaduhan.
Debat kedua sejatinya menjadi wadah bagai para pasangan calon untuk menyampaikan gagasannya terkait lingkungan hidup, sumber daya alam dan energi, ketahanan pangan, serta kelautan. Sayangnya, debat yang disiarkan langsung oleh stasiun televisi setempat itu dinilai miskin program dan hanya saling serang, mencari kelemahan satu sama lain.
Dalam paparannya, kedua pasangan calon mengakui lingkungan hidup di Kota Cirebon bermasalah. Indikasinya, tumpukan sampah di pantai dan banjir. Ruang terbuka hijau juga masih minim sehingga terik panas begitu terasa. Sungai tampak coklat bahkan kehitaman dan bercampur batubara.
Azis, yang merupakan petahana, berjanji membuat kawasan sumur serapan, memperbanyak taman kota, serta menerbitkan peraturan daerah untuk melindungi air tanah dari eksploitasi. ”Kami akan buat bank sampah di tingkat rukun warga. Sampah ini masalah nasional,” ujar Azis yang didukung Partai Demokrat, Nasdm, PKB, PKPI, dan Hanura.
Ketika ditanya tentang bekas galian C di kawasan Harjamukti, Azis bertekad menjadikan daerah itu sebagai destinasi wisata outbond. Namun, ia tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana langkah konkretnya.
Menanggapi itu, Edo meragukan paparan Azis. ”Mengapa semua yang diucapkan Pak Azis itu tidak dilakukan tiga tahun lalu saat Bapak masih menjadi Wali Kota Cirebon menggantikan almarhum Ano Sustrisno?” ujar Edo disambut gemuruh tepuk tangan pendukung pasangan nomor 1. Pasangan ini didukung PDI-P, Golkar, dan PPP.
”Kenapa saya mencalonkan lagi? Karena masih ada yang belum terselesaikan. Ini bentuk tanggung jawab saya,” ungkap Azis yang juga diikuti tepuk tangan pendukungnya. Azis mengklaim telah mengurangi titik banjir dan menuding curah hujan tinggi dan banjir kiriman dari daerah lain sebagai penyebabnya. Azis juga ”menyerang” Bamunas, pengusaha terkemuka Cirebon, dengan pertanyaan tenrkait pebisnis yang tidak mematuhi komitmen menjaga lingkungan.
Debat beberapa kali gaduh oleh pendukung kedua kubu. Moderator, Mudiyati Rahmatunnisa, pun mengancam menghentikan debat. ”Kalau masih ribut, yang rugi pasangan calon. Sebab, publik di rumah tidak dapat mendengar secara jelas gagasan para calon,” ujarnya. Apalagi, ada 30 persen pemilih pemula dari total pemilih pemilu potensial 251.737 orang.
Kedua pendukung saut sautan. Pendukung Azis teriak PASTI (Pasangan Azis-Eti), sementara pendukung Bamunas-Edo memakai frasa OKE (Oki-Edo). Teriakan ”ganti wali kota” dan ”yang ini sudah bekerja yang sana masih bicara” beberapa kali menginterupsi debat. Teriakan ”bohong” juga kerap menyeruak dalam acara. Pendukung juga tampak hilir mudik, berdiri, dan duduk di lantai.
Kalau masih ribut, yang rugi pasangan calon. Sebab, publik di rumah tidak dapat mendengar secara jelas gagasan para calon.
Setelah kedua kubu dapat ditenangkan, debat berlanjut. Edo menjanjikan Cirebon sebagai kota tujuan wisatawan yang nyaman. Selain menata ulang drainase, ia juga akan meninjau analisis dampak lingkungan bangunan dan lalu lintas agar sesuai aturan.
Bamunas bertekad mengembangkan wisata Pantai Kejawanan dengan melibatkan nelayan dan warga setempat. Dengan begitu, warga akan menjaga pantai dari sampah. Namun, hal ini tidak dijelaskan lebih rinci. Begitupun dengan rencana optimalisasi 7 kilometer garis pantai Kota Cirebon, Bamunas hanya berjanji mengaktifkan empat tempat pelelangan ikan.
Dalam debat yang berlangsung sekitar dua jam itu, kedua pasangan calon nyaris tidak mengungkapkan identifikasi masalah terkait problem lingkungan hidup, ketahanan pangan, dan kelautan. Ini tampak pada jawaban para calon yang tidak konkret, tanpa data, dan hanya saling serang.
Kedua pasangan calon juga tidak memanfaatkan secara optimal waktu tiga menit untuk menjawab. Beberapa kali kedua pasangan calon menyisakan waktu 40 detik bahkan lebih dari 1 menit. Para calon juga terdengar mengulang jawabannya dan meminta pasangannya untuk melanjutkan paparan.
Padahal, waktu yang tersisa dapat digunakan untuk menyampaikan gagasan para calon. Apalagi, kota berpenduduk lebih dari 300.000 jiwa ini dibelenggu aneka masalah. Ruang terbuka hijau, misalnya, dalam laporan kinerja Pemerintah Kota Cirebon 2015 baru mencapai 10 persen.
Padahal, batas minimal RTH yakni 30 persen dari luas wilayah. Selain mencegah banjir dan mengurangi polusi, RTH juga dapat meningkatkan kualitas air tanah dan menjadi ruang publik. Pada saat yang sama bangunan beton memadati Cirebon. Tercatat sekitar 107 hotel dan sekitar 400 restoran atau rumah makan di sana.
Sayangnya, kedua pasangan calon tidak menjelaskan langkah konkret untuk menambah RTH. Pada isu kelautan, tak satu pun pasangan calon menyinggung soal komoditas udang khas Cirebon, termasuk mengembalikan masa kejayaan nelayan penangkap udang.
Dinas Pangan, Pertanian, Kelautan, dan Perikanan (PPKP) Kota Cirebon dalam dua tahun terakhir tidak lagi mendata komoditas ekspor tersebut karena produksinya kian minim. Tiram dan kerang tempat udang berlindung kini berganti sampah plastik dan popok bayi.
Padahal, udang adalah identitas Cirebon. Sebutan ”Kota Udang” sudah ada sejak dulu. Dikisahkan, pada abad ke-14, Ki Cakrabumi, pendiri Cirebon, menjamu para menteri Rajagaluh dengan menu gragal (rebon atau udang kecil yang ditumbuk). Para tamu memuji makanan yang disebut terasi itu. Ki Cakrabumi lalu menjawab dalam bahasa Sunda, mundak caina (apalagi airnya).
Setelah mencoba, mereka menikmatinya. Mereka pun meminta lagi dan lagi sambil berteriak cai rebon, cai rebon (air rebon). Sejak saat itu, daerah tersebut dinamakan Cairebonan yang kemudian menjadi Cirebon.
Udang juga menjadi salah satu gambar dalam lambang Kota Cirebon. Udang rebon berwarna kuning emas tersebut bermakna, hasil laut telah memberikan kemakmuran kepada masyarakat Cirebon. Kini, hanya ada patung udang di Balai Kota Cirebon.
Mungkin, debat publik kedua pasangan calon tersebut seperti patung udang di balai kota. Jika dipandang lebih lama, akan membosankan, tidak ”mengenyangkan” apalagi bergizi.