Letusan Freatik Merapi Disebut Mirip Kejadian Tahun 1933
Oleh
Haris Firdaus
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Letusan freatik Gunung Merapi, Jumat (11/5/2018) pagi, disebut memiliki kemiripan dengan letusan Merapi yang terjadi tahun 1933. Pada tahun 1933 atau tiga tahun sesudah erupsi besar tahun 1930, gunung api yang berlokasi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah itu juga mengalami letusan freatik dengan arah letusan vertikal serta tidak diikuti terbentuknya awan panas.
Kemiripan dua letusan itu dikemukakan ahli gunung api Antonius Ratdomopurbo, yang sekarang menjabat Sekretaris Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
”Letusan freatik pada Jumat lalu sangat mirip dengan letusan Gunung Merapi tahun 1933,” kata pria yang akrab dipanggil Purbo itu saat ditemui di kantor Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), Yogyakarta, Sabtu (12/5/2018).
Seperti diberitakan, pada Jumat (11/5/2018) pukul 07.40, Gunung Merapi mengalami letusan freatik selama 5 menit. Tinggi kolom letusan tersebut mencapai 5,5 kilometer di atas puncak Merapi. Letusan itu diawali dengan suara gemuruh kecil serta adanya getaran selama 10 menit yang dirasakan di sekitar Pos Pengamatan Gunung Merapi di Babadan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Purbo menjelaskan, pada 1933, Gunung Merapi juga mengalami letusan freatik. Sama seperti letusan freatik Jumat lalu, letusan pada 1933 juga tidak diikuti terbentuknya awan panas. Kesamaan lain dari dua letusan freatik tersebut adalah arah letusan yang sama-sama vertikal.
”Kalau disandingkan, foto kedua letusan itu juga sangat mirip. Bedanya, dulu tahun 1933 itu, kan, belum ada foto berwarna,” ujar Purbo yang pernah menjabat Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK).
BPPTK merupakan lembaga pemerintah yang bertugas memantau aktivitas Gunung Merapi. Lembaga itu kini berganti nama menjadi BPPTKG.
Kepada Kompas, Purbo pun menunjukkan foto hitam putih yang menggambarkan letusan freatik Gunung Merapi tahun 1933. Foto yang merupakan arsip BPPTKG itu menunjukkan letusan Gunung Merapi yang mengarah ke atas atau vertikal. Bila dibandingkan, foto letusan tahun 1933 itu memang memiliki kemiripan dengan foto-foto letusan freatik pada Jumat lalu.
Purbo menjelaskan, letusan tahun 1933 dan letusan freatik pada Jumat lalu juga sama-sama terjadi setelah letusan besar Merapi, meski selisih waktunya agak berbeda. Letusan freatik tahun 1933 terjadi sekitar 3 tahun sesudah letusan besar Merapi tahun 1930, sementara letusan freatik Jumat lalu terjadi sekitar 7,5 tahun sesudah erupsi besar tahun 2010.
Menurut Purbo, letusan Merapi tahun 1930 itu merupakan erupsi magmatik dengan kekuatan yang mirip dengan erupsi besar Merapi tahun 2010. Dia menambahkan, letusan besar seperti yang terjadi tahun 1930 dan tahun 2010 itu sama-sama menciptakan ruang yang cukup longgar di dalam tubuh Gunung Merapi yang seiring berjalannya waktu kemudian terisi oleh air hujan.
Air yang ada di dalam ruang-ruang itu kemudian berinteraksi dengan panas yang berasal dari bawah kawah Gunung Merapi sehingga menghasilkan uap air. Tekanan uap air inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya letusan freatik.
Purbo menyatakan, sesudah terjadinya letusan freatik pada Jumat lalu, belum tampak tanda-tanda akan adanya erupsi atau letusan magmatik. Sebab, sampai sekarang, belum ada indikasi adanya kenaikan material magma di Gunung Merapi yang biasanya ditandai dengan meningkatnya kegempaan dan penggembungan tubuh gunung.
”Letusan magmatik itu butuh tekanan tinggi dan biasanya diikuti penggembungan atau inflasi tubuh gunung. Lha, sekarang, kan, tidak ada inflasi sama sekali. Artinya, tidak ada material magma yang naik ke permukaan,” kata Purbo.