JAKARTA, KOMPAS-Masyarakat di Desa Kimakamak, Kecamatan Adonara Barat, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur mulai kembali menanam sorgum. Tanaman yang tahan kering dan memiliki nutrisi tinggi ini dinilai bisa menjawab kebutuhan pangan masyarakat di tengah tren perubahan iklim.
Sorgum (Sorghum bicolor) sebenarnya merupakan tanaman tradisional yang telah lama dibudidayakan masyarakat di Nusantara, termasuk juga di Flores. Namun, sekitar tahun 1970-an, sorgum mulai ditinggalkan masyarakat Flores.
"Waktu kecil saya masih mengalami makan sorgum, selain juga jagung. Namun, sejak tahun tahun 1970-an mulai berkurang dan tahun 1980-an tidak ada lagi yang tanam sorgum. Masih ada sorgum liar, tetapi orang tidak makan lagi," kata Kepala Desa Kimakamak, Hendrikus Eko, yang ditemui Jumat (11/5/2018), di Flores Timur.
Menurut Hendrikus, hilangnya sorgum karena pemerintah Orde Baru saat itu yang menggalakkan penanaman padi dan konsumsi beras. Masyarakat kemudian menanam padi ladang karena kondisi lahan yang kering. "Untuk mencukupi kebutuhan pangan, masyarakat harus beli beras dari luar," kata dia.
Untuk mencukupi kebutuhan pangan, masyarakat harus beli beras dari luar.
Namun demikian, beberapa tahun belakangan pola cuaca mulai berubah sehingga produksi padi semakin menurun. Bahkan, budi daya jagung juga sering mengalami kegagalan. "Selain cuaca, belakangan juga semakin sering ada angin kencang yang merobohkan tanaman padi atau jagung," kata Sipeanus Ratu (45), petani Kimakamak.
Dua tahun terakhir, Oxfam Indonesia dengan mitra lokal Yayasan Pengkajian Pengembangan Sosial (YPPS) mengenalkan kembali sorgum. "Awalnya kami ragu. Tetapi, hasilnya ternyata bagus. Bisa bertahan ketika padi dan jagung tidak berhasil. Rasanya juga enak, lebih enak dari jagung. Tahun ini kami akan tanam lebih banyak," kata Lambertus Laga (21), petani muda Kimakamak.
Sebelum mulai menanam, warga Kimakamak diajak belajar dari kesuksesan para petani dari Kampung Likutuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Flores Timur yang telah lebih dulu mengembangkan sorgum. "Di Likutuden sudah ada 40 ha lahan sorgum sedangkan kalau skala desa sudah 70 ha," kata Maria Loretha, yang telah menginisiasi penanaman sorgum di Likutuden sejak tahun 2014.
Maria didukung oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) dan Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel). "Penanaman sorgum di Desa Kawaleloa sekarang sudah swadaya dengan menggunakan dana desa untuk mendukung infrastruktur pertanian dengan memberi Rp 1 juta per hektar bagi masyarakat yang buka kebun sorgum," kata dia.
Konteks Lokal
Kepala Dinas Ketahanan Pangan Flores Timur Yosef Molan Tukan mengatakan, sorgum memang memiliki potensi besar untuk dikembangkan di wilayahnya. "Apalagi sekarang ada tren menurunnya debit air, baik karena kerusakan daerah tangkapan air ataupun karena faktor cuaca," kata dia.
Namun, menurut Yosef, hingga saat ini dukungan pemerintah untuk pengembangan sorgum masih sangat kurang. "Inisiatif penanaman sorgum masih dari kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat)," kata dia.
Apalagi, pemerintah pusat lebih menekankan pada prioritas komoditas padi, jagung, dan kedelai. "Sekalipun kondisi kering, di Flores Timur juga ada pembukaan sawah baru. Menurut saya, harusnya lebih didorong pertanian lahan kering seperti sorgum, tidak harus membuka sawah baru di sini," kata Yosef.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Flores Timur Antonius Wukak Sogen mengakui, pengembangan pertanian padi sawah di wilayahnya terkendala dengan kerusakan saluran irigasi sejak gempa tahun 1992. "Sampai sekarang belum ada pernah ada perbaikan lagi. Selain itu, curah hujan di sini memang rendah," kata dia.
Namun seiring dengan program nasional, tahun ini membuka cetak sawah baru sekitar 39,5 ha. "Ini program pusat. Untuk tahun ini kami berhasil mengusulkan program penanaman sorgum seluas 250 ha di Flores Timur," kata dia.