Nama Multatuli tampaknya sangat tersohor di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten. Nama besar Multatuli seolah menyatu dengan sejarah dan perkembangan Lebak. Kisahnya tersimpan di Museum Multatuli di Rangkasbitung.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
Pepohonan tua rindang menaungi sebuah rumah tua bergaya kolonial, Rabu (9/5/2018). Rumah bercat putih dan krem itu berdiri tak jauh dari Alun-alun Rangkasbitung, Lebak, Banten. Sejak awal 2018, bekas rumah wedana Lebak yang dibangun sejak tahun 1920 itu difungsikan sebagai Museum Multatuli. Museum ini menjadi simbol kebangkitan perjuangan antikolonialisme warga Lebak.
Untuk lebih mengenal siapa Multatuli atau Eduard Douwes Dekker, Anda bisa meluangkan waktu untuk mengunjungi “Museum Multatuli”. Lokasinya ada di tengah kota Lebak, tepatnya di Jalan Alun-Alun Timur Nomor 8 Rangkasbitung. Dengan KRL Commuterline selama dua jam dari Stasiun Tanah Abang, kita sudah sampai Stasiun Rangkasbitung. Perjalanan dilanjutkan dengan angkot hingga lokasi. Museum sangat mudah dikenali karena di bagian depan bangunan terdapat tulisan besar “Museum Multatuli”.
Mozaik wajah Multatuli menyambut pengunjung, juga kutipan kata-kata “Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia”. Barangkali, kutipan itu yang mengilhami pria berkebangsaan Belanda itu untuk menulis novel Max Havelaar. Fiksi ini membuka mata dunia tentang kekejaman penjajahan Belanda di Indonesia, khususnya di Lebak.
Pemandu museum, Muhammad Apip (28), mengatakan, Museum Multatuli yang berdiri di tanah seluas kurang lebih 1.843 meter persegi ini membagi koleksi dalam beberapa fragmen sesuai urutan waktu.
Di fragmen awal, museum memutarkan film singkat tentang awal kedatangan penjajah Belanda ke Indonesia. Di fragmen ini juga dijelaskan tentang rempah-rempah seperti pala, lada, cengkeh, dan kayu manis yang memotivasi Belanda datang ke Indonesia.
“Lebak adalah satu dari 18 wilayah di Jawa yang diberlakukan sistem tanam paksa kopi,” ujar Apip.
Sisa-sisa tanam paksa kopi masih ada di Lebak kini. Di daerah Leuwidamar, banyak warga yang menanam kopi di belakang rumah. Namun, skala penanaman kopi tidak sebesar saat penjajahan Belanda. Kini, warga hanya menanam kopi untuk kebutuhan sendiri. Jenis kopi yang dikembangkan di Lebak adalah kopi robusta. Museum juga memamerkan kopi hasil dari Lebak itu untuk dilihat pengunjung.
Salah satu fragmen di museum ini menceritakan diskriminasi terhadap budak tanam paksa pada masa Cultuurstelsel. Budak-budak di perkebunan kopi milik Belanda tidak boleh meminum kopi. Mereka hanya diizinkan membuat kopi dari daun kopi. Sebuah tembikar untuk menyeduh daun kopi itu pun dihadirkan untuk melengkapi imajinasi pengunjung.
Asisten residen
Pada masa tanam paksa itu, Multatuli sempat menjadi pejabat asisten residen di Lebak yaitu sejak 21 Januari 1856. Multatuli hanya bekerja sekitar tiga bulan. Saat itu, Multatuli menyaksikan penduduk Lebak sangat melarat. Penyebabnya, sistem kerja paksa serta keharusan membayar pajak yang tinggi.
Bupati atau wedana Lebak yang juga orang lokal pun kerap merampas hasil bumi, ternak, dan mempekerjakan warga tanpa upah.
Penindasan ini membuat Multatuli gelisah dan terusik. Ia melaporkan kejadian tersebut kepada gubernur atau residen karena menganggap pemerintah kolonial Hindia Belanda membiarkan praktik kesewenang-wenangan tersebut (Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan dan Kebenaran, Moechtar, 2005).
“Multatuli akhirnya dipecat sebagai asisten residen pada 4 April di tahun yang sama karena dia melaporkan kesewenang-wenangan bupati Lebak kepada residen Banten,” jelas Apip.
Menginspirasi
Apip mengatakan, museum Multatuli dibuat salah satunya untuk menunjukkan semangat antikolonialisme yang tumbuh dari Lebak. Pasca dipecat sebagai asisten residen, Multatuli menulis buku di Brussel, Belgia. Buku Max Havelaar ini banyak berbicara soal penindasan manusia oleh sesama manusia.
Adapun nama Multatuli berasal dari bahasa latin yang berarti ia banyak sekali menderita.
Pemikiran Multatuli juga menginspirasi sejumlah tokoh pergerakan nasional untuk merebut kemerdekaan Indonesia, seperti Raden Ajeng Kartini, Ernest Douwes Dekker alias Setyabudi Danudirdja, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Mereka kerap mengutip kata-kata Multatuli dalam pidato politiknya.
Presiden Soekarno pun kerap menyisipkan kutipan dari buku Multatuli dalam pidato maupun pembelaan sidangnya di hadapan hakim kolonial di Bandung, pada tanggal 22 Desember 1930.
Di museum itu, kita bisa melihat kutipan pidato pembelaan Soekarno : “Tidaklah kena sekali perbandingan Multatuli yang membandingkan Cultuurstelsel dengan kumpulan pipa yang bercabang-cabang tidak terhitung jumlahnya dan terbagi menjadi jutaan pembuluh-pembuluh kecil, yang semuanya bermuara dalam dada jutaan orang Jawa? Semuanya itu berhubungan dengan induk pipa yang dipompa oleh pompa kuat yang digerakkan dengan uap. Sedangkan dalam perusahaan partikelir, setiap pengejar untung bisa berhubungan langsung dengan semua pipa dan bisa mempergunakan mesin pompanya sendiri untuk menyedot sumber."
Tak hanya Soekarno, WS Rendra juga terinspirasi karya Multatuli. Penyair yang terkenal dengan sebutan Si Burung Merak ini menciptakan puisi berjudul Sajak demi Orang-Orang Rangkasbitung. Puisi itu turut dipamerkan dalam fragmen antikolonialisme di museum.
Rumah Multatuli
Meskipun banyak menceritakan soal Multatuli, bangunan museum tersebut tidak berkaitan langsung dengannya. Rumah asli Multatuli justru tidak terawat dan terbengkalai di dalam kompleks RSUD dr Adjidarmo, Lebak.
Satu-satunya barang yang menghubungkan museum itu dengan benda peninggalan dari rumah asli Multatuli adalah tegel yang dibawa dari museum perhimpunan Multatuli di Belanda. Tegel berwarna hitam keabu-abuan itu diletakkan di dalam etalase kaca di museum.
Jika tertarik mengunjungi rumah asli Multatuli, pemandu wisata dari museum berkenan mendampingi. Pemandu juga dapat menceritakan sejarah rumah dinas asisten residen Lebak yang pernah ditinggali Multatuli tersebut.
Semenjak diresmikan, Museum Multatuli cukup banyak menyedot perhatian masyarakat. Baik masyarakat yang sekadar berfoto-foto maupun mereka yang ingin mengenal Multatuli. Menurut Apip, pada Februari-Mei 2018, sudah ada sekitar 10.000 pengunjung ke museum. Pengunjung museum tidak dipungut biaya. “Pemerintah kabupaten berharap museum ini bisa mempromosikan Rangkasbitung dan Lebak,” kata Apip.
Di samping museum terdapat perpustakaan umum daerah “Saijah dan Adinda”. Jika Anda datang bersama rombongan, pengelola perpustakaan dapat memutarkan film “Max Havelaar”.
Rina (19), mahasiswa dari Lampung yang kuliah di Lebak, salah satu pengagum Multatuli. “Ternyata ada juga kontribusi dari orang di luar Indonesia yang mendorong supaya Indonesia ini merdeka. Itu yang membuat saya kagum dengan Multatuli,” ujar Rina.
Museum ini buka hari Selasa hingga Minggu, pukul 08.00-16.00. Pada hari Senin serta hari libur nasional, museum tutup.
Jika sudah cukup menjelajah museum, pengunjung bisa beranjak ke pujasera di sekitar alun-alun. Pujasera itu menyediakan beragam menu yang menarik, salah satunya bakso ikan yang terkenal di Rangkasbitung.