Kehadiran taksi daring disambut positif warga ibukota. Namun dibalik itu, pelayanan taksi daring kerap kali dikeluhkan penggunanya, mulai dari perilaku pengemudi yang tidak menyenangkan hingga tindak kekerasan.
Sejak 2015, angkutan berbasis aplikasi menjadi primadona bagi warga ibukota yang menginginkan angkutan umum yang aman dan nyaman. Setidaknya tujuh dari sepuluh responden jajak pendapat Kompas pernah memanfaatkan jasa angkutan online tersebut. Kemudahan mengakses dan tarif yang relatif murah dibanding taksi konvensional menjadi alasan utama.
Warga ibukota pun menyambut baik layanan taksi daring itu. Hampir 90 persen responden menilai positif kehadiran layanan taksi daring karena mendapat pelayanan yang baik selama menggunakan jasa taksi daring.
Namun tidak semua pengguna taksi daring mendapatkan perlakuan yang sama. Sebanyak 9,5 persen responden mengeluhkan pelayanan taksi daring yang buruk.
Sebanyak 70 persen responden mengaku pernah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, berupa perkataan kasar atau perbuatan tidak sopan. Sementara 19 persen responden pernah ditipu. Pemesan tidak dijemput padahal aplikasi sudah mencatat sudah dijemput. Sedangkan 3,2 persen responden pernah mengalami tindak pemerasan.
Keluhan konsumen soal pelayanan taksi daring itu juga terekam dari survei yang pernah dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) April lalu. YLKI mencatat sekitar 41 persen dari 4.668 penumpang transportasi online baik kendaraan roda dua maupun roda empat pernah dikecewakan oleh operasional transportasi daring (Kompas, 23/3/2018).
Keluhan konsumen itu meliputi antara lain sulitnya mendapatkan pengemudi, pengemudi yang membatalkan secara sepihak, plat nomor yang tidak sama dengan yang tertera di aplikasi, hingga kondisi kendaraan yang kurang baik. Sedangkan terkait perilaku pengemudi, keluhan yang muncul diantaranya pengemudi yang tak kunjung datang, dan pengemudi yang tidak jujur ke konsumen.
Tidak hanya itu, tindak kekerasan juga menimpa sejumlah konsumen taksi daring. Dalam kurun tiga bulan terakhir terjadi tiga kali aksi kejahatan yang melibatkan sopir taksi daring di Jabodetabek. Pada 12 Februari 2018, perempuan berinisial ABK (28) mengalami kekerasan seksual saat naik taksi daring di Tangerang. Lalu pada 18 Maret lalu Yun Siska Rohani (29) dibunuh dua pemuda yang salah satunya menjadi sopir taksi daring di Jakarta.
Kasus terakhir menimpa seorang wanita berinisial SS (24) yang menjadi korban perampokan dan penyekapan yang diduga dilakukan oleh pengemudi angkutan online. Belakangan diketahui pengemudi itu ternyata bukan sopir resmi dan hanya meminjam akun dari pihak lain ketika menjalankan aksinya.
Keluhan Konsumen
Keluhan konsumen dan tindak kejahatan yang menimpa pengguna angkutan daring itu tampaknya tidak terlepas dari masih kurangnya sistem pemantauan dari perusahaan aplikasi taksi dalam jaringan. Hal itu disampaikan oleh 26 persen responden.
Longgarnya pengawasan terhadap operasi angkutan daring memberi celah munculnya keluhan dan terjadinya tindak kejahatan yang menimpa pengguna taksi daring. Perusahaan dinilai belum sepenuhnya mampu mengawasi dengan baik seluruh mitranya ketika berada di lapangan.
Sistem pengaduan taksi daring dalam kondisi darurat juga dianggap masih belum memadai. Hal itu dinyatakan oleh 14 persen responden. Tidak adanya nomor telepon aduan yang bisa dihubungi sewaktu-waktu membuat pengguna jasa taksi daring rentan perundungan.
Memasang tombol yang bisa ditekan saat penumpang dalam masalah bisa menjadi solusinya. Data dan informasi pengemudi berikut fotonya di mobil, semestinya diterapkan untuk memberikan kenyamanan kepada penumpang seperti sudah diberlakukan pada taksi konvensional.
Persoalan yang dihadapi pengguna taksi daring itu juga tidak terlepas dari sikap dan perilaku pengemudi itu sendiri seperti dinyatakan 20 persen responden. Dalam hal ini, perusahaan aplikasi perlu memperhatikan dan mengedukasi mitra pengemudi, termasuk etika berkomunikasi kepada penumpang.
Sebagian kecil responden juga menilai pola rekrutmen yang longgar karena persaingan usaha yang ketat di antara para penyedia jasa masih menjadi kendala. Perusahaan transportasi berbasis daring semestinya bisa lebih selektif dalam merekrut pengemudi.
Pemerintah juga dinilai masih lemah dalam mengatur standar keamanan angkutan online seperti disampaikan oleh 19 persen responden. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 tahun 2017 semestinya bisa diberlakukan agar prasyarat untuk menjadi mitra pengemudi lebih memenuhi syarat formal dan minimal. Prasyarat soal surat izin mengemudi, uji kir, dan sertifikat kompetensi merupakan persyaratan dasar yang mesti dipenuhi. Pengguna bisa dirugikan jika tidak ada standar pelayanan minimum, pengawasan dan penegakan peraturan terhadap taksi daring oleh pemerintah.
Bentuk pengawasan dan tanggungjawab pemerintah dan perusahaan angkutan daring perlu dirumuskan kembali demi meningkatkan pelayanan taksi daring sehingga penumpang merasa nyaman dan aman.