Gerakan reformasi menjadi catatan sejarah bangsa Indonesia yang tidak mudah terhapuskan. Agenda gerakan perubahan yang diawali dengan meruntuhkan kekuasaan Orde Baru tersebut, sampai hari ini masih menyisakan pekerjaan rumah. Cita-cita reformasi harus terus dijaga dan ditransformasikan, dari generasi ke generasi
Rangkuman hasil jajak pendapat Harian Kompas, pekan lalu, menunjukkan, gerakan reformasi masih tersimpan dalam ingatan kolektif publik. Sebanyak 80,5 persen responden mengaku tahu peristiwa aksi dan gerakan reformasi yang bergulir pada 1998 tersebut. Pengetahuan mereka tak hanya didapat dengan mengalami sendiri peristiwa tersebut, tetapi juga dari cerita kolega dan berbagai sumber literasi. Buku dan sumber bacaan lainnya memberikan gambaran bagaimana peristiwa gerakan reformasi dipahami oleh generasi yang tak mengalami langsung situasi 1998.
Menariknya, responden yang tahu langsung peristiwa dua dekade silam dan responden yang mengetahui dari bacaan cenderung memaknai reformasi sebagai sesuatu yang positif dan menguntungkan bagi perjalanan Indonesia ke depan. Sebaliknya, responden yang mendapatkan informasi dari cerita mulut ke mulut tentang reformasi lebih memaknai peristiwa itu sebagai hal yang merugikan masa depan bangsa.
Beda sikap ini tentu tak lepas dari perbedaan sumber informasi yang diperoleh. Cerita soal reformasi hari ini, boleh jadi, masih tentang harapan-harapan yang belum terealisasikan. Jika berangkat dari enam agenda tuntutan reformasi, yakni supremasi hukum; pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme; pengadilan terhadap presiden ke-2 RI Soeharto; amandemen konstitusi; pencabutan dwifungsi ABRI; dan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah, harus diakui ada tuntutan yang sudah terpenuhi dan belum terpenuhi.
Dua hal yang banyak disebutkan oleh responden ketika ditanya tentang reformasi yaitu reformasi identik dengan turunnya Soeharto dari kekuasaan dan kasus kerusuhan Mei 1998
Dua hal yang banyak disebutkan oleh responden ketika ditanya tentang reformasi yaitu reformasi identik dengan turunnya Soeharto dari kekuasaan dan kasus kerusuhan Mei 1998. Meski demikian, dua ingatan soal reformasi ini tak menutupi apresiasi publik pada gerakan mahasiswa. Aksi mahasiswa jadi hal ketiga yang menempati ingatan kolektif publik tentang gerakan reformasi.
Lima rezim
Lalu, apakah tuntutan reformasi sudah terjawab saat ini? Tentu ada banyak faktor untuk bisa menjawab tersebut. Namun, jika mengikuti lima rezim pemerintahan pascareformasi, setidaknya bisa diinventarisasi sejauh mana tuntutan reformasi terpenuhi. Di era pemerintahan BJ Habibie (21 Mei 1998-20 Oktober 1999), misalnya, sebagian besar energi terkuras untuk membuka pintu-pintu demokrasi yang selama 32 tahun lebih ”ditutup” rezim Orde Baru. Di era ini, paket undang-undang politik direvisi, seperti UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No 3/1999 tentang Pemilu, serta UU No 4/ 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Perubahan undang-undang berimbas pada perubahan sistem kepartaian di Indonesia yang kembali mengarah ke multipartai setelah sepanjang pemerintahan Orba ”dipaksa” memilih tiga partai politik hasil fusi. Tak heran kemudian Pemilu 1999 yang disiapkan lebih kurang hanya satu tahun diikuti 48 partai politik. Banyak pihak menyebut pemilu ini paling demokratis setelah Pemilu 1955. Selain itu, di rezim pemerintahan Habibie pula pintu demokrasi dibuka untuk insan pers, salah satunya dengan penghapusan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). Kebijakan ini menjadi simbol kebebasan pers, kekuatan keempat demokrasi. Terlepas kekurangan dari pemerintahan ini, termasuk soal lepasnya Timor Timur dari Indonesia setelah referendum dilakukan, pemerintahan Habibie sukses membuka pintu keran demokrasi pasca-gerakan reformasi. Namun, penolakan MPR terhadap pertanggungjawaban Habibie membuatnya mengundurkan diri dari bursa pencalonan presiden 1999.
Di periode pemerintahan selanjutnya, transisi penguatan demokrasi dan ekonomi jadi tantangan. Ini terjadi di era Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999-23 Juli 2001) dan Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001-20 Oktober 2004). Gus Dur lebih menguatkan iklim demokrasi yang baru terbuka dengan penguatan pluralisme. Sejumlah kebijakannya, seperti menetapkan Khonghucu sebagai agama resmi yang diakui negara, kemudian penetapan Imlek sebagai hari libur nasional, adalah potret komitmen pemerintahan Gus Dur terhadap pluralitas dan kebinekaan. Namun, Gus Dur gagal menyelesaikan pemerintahannya karena MPR memberhentikannya setelah Gus Dur mengeluarkan dekrit yang salah satunya berisi pembekuan MPR/DPR.
Sementara itu, Megawati yang menggantikan Gus Dur pun tak mudah melanjutkan estafet pemerintahan. Kondisi perekonomian jadi tantangan di periode Megawati (23 Juli 2001-20 Oktober 2004). Meski demikian, di era inilah demokrasi elektoral menemukan momentumnya. Salah satu hasil amendemen keempat UUD 1945 adalah mekanisme pemilihan presiden secara langsung. Di era ini juga lahir Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai amanah undang-undang dalam pemberantasan korupsi.
Pemilihan presiden langsung semakin menguatkan fenomena demokrasi elektoral, terutama praktik pemilihan langsung kepala daerah. Hal ini mulai terjadi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014). Demokrasi elektoral pun menguat di daerah. Fenomena menguatnya demokrasi elektoral terjadi sampai periode pemerintahan Joko Widodo.
Kepentingan politik
Tentu demokrasi elektoral tak bisa dilepaskan dengan menguatnya kepentingan politik elite yang cenderung mendominasi pergulatan politik nasional.
Hasil jajak pendapat merekam, kepentingan politik ini dinilai
sebagai penghambat paling besar dari tujuan reformasi. Demokrasi elektoral yang melahirkan maraknya transaksi politik, baik antarelite maupun yang melibatkan rakyat dengan politik uang, diakui atau tidak, melahirkan pragmatisme politik. Kepentingan politik yang tak dikelola dengan cara-cara beradab dan beretika melahirkan praktik politik yang jauh dari nilai-nilai demokrasi.
Kondisi ini diiringi dengan praktik korupsi yang kini jadi musuh bersama bangsa. Tidak heran jika korupsi pun dinilai menjadi penghambat besar tercapainya agenda reformasi. Lalu bagaimana, apakah agenda reformasi tetap bisa tercapai jika kepentingan politik yang menguasai elite dan praktik korupsi masih menggurita? Tentu perjalanan lima rezim pemerintahan pascareformasi dengan dinamika politiknya harus diakui melahirkan benang merah yang mengarah pada pemenuhan tuntutan reformasi. Apalagi publik yang diwakili 73,6 persen responden meyakini, cita-cita reformasi akan tercapai.
Tentu saja hal ini tak boleh berhenti pada sebatas keyakinan. Rakyat harus setia mengawalnya. Salah satu caranya, mentransformasikan cita-cita reformasi ke generasi berikutnya. Apalagi mayoritas responden menyatakan, generasi muda perlu memahami gerakan reformasi 1998. Hal ini penting sebagai bagian dari upaya melawan lupa.