Kepolisian Tetap Punya Kemampuan Mengatasi Teroris
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Serangkaian insiden kerusuhan dan pengeboman yang muncul di sejumlah daerah di Indonesia selama sepekan ini membuat aparat kepolisian dan intelijen negara dinilai lalai mencegah aksi teror. Namun, kepolisian juga dinilai masih mempunyai kemampuan dalam mengatasi teroris berkat sejumlah penyergapan yang berhasil dilakukan.
Setelah insiden kerusuhan napi teroris di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Selasa (8/5/2018) lalu, saat ini teroris melakukan aksi pengeboman di sejumlah daerah di Indonesia. Pada Minggu (13/5/2018) pagi, tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, menjadi sasaran pengeboman. Selain itu, pada malam harinya, ledakan bom juga terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur.
Berdasarkan informasi terbaru, jumlah korban meninggal akibat teror bom di Surabaya dan Sidoarjo adalah 25 orang, terdiri dari 13 pelaku dan 12 warga masyarakat. Empat orang yang terakhir meninggal merupakan pelaku bom bunuh diri di Markas Polrestabes Surabaya.
Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Solahudin, di Jakarta, Senin (14/5/2018), mengatakan, peristiwa pengeboman tiga gereja di Surabaya tersebut merupakan imbas insiden kerusuhan yang terjadi di Mako Brimob. Namun, Solahudin menilai aksi imbas tersebut cukup sulit terdeteksi oleh kepolisian.
Masyarakat ataupun pihak tertentu tidak sepatutnya melimpahkan atau menyalahkan insiden ini sepenuhnya kepada kepolisian.
”Masyarakat ataupun pihak tertentu tidak sepatutnya melimpahkan atau menyalahkan insiden ini sepenuhnya kepada kepolisian. Saya bukan bermaksud membela kepolisian, tetapi jika melihat kebelakang, apa yang sudah dilakukan polisi sudah cukup baik,” ujar Solahudin.
Menurut Solahudin, beberapa pencapaian kepolisian tersebut bisa dilihat dari sejumlah kasus penyergapan, penangkapan, dan pelumpuhan terduga teroris yang dilakukan Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror.
Tim Litbang Kompas mencatat, hingga Mei 2018, Tim Densus 88 Antiteror telah menangkap dan melumpuhkan teroris dari 8 kasus di berbagai daerah di Indonesia. Jumlah ini masih cukup banyak dibandingkan dengan kasus yang lolos, yakni dari insiden pengeboman di tiga gereja di Surabaya.
Selain itu, pada 2017, aparat kepolisian dan Tim Densus 88 Antiteror juga telah mengamankan 60 terduga teroris dari 34 kasus penangkapan di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, pada 9-11 Desember 2017, Kompas memberitakan bahwa polisi telah menangkap 19 terduga teroris dalam penangkapan selama tiga hari di Jawa Timur, Pekanbaru, dan Sumatera Selatan.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, peristiwa kebobolan aksi teror bukan terjadi di Indonesia saja. Negara dengan kekuatan kepolisian atau militer yang cukup baik, seperti Inggris dan Perancis, juga kerap kali mendapat aksi teror bom.
Aksi terorisme merupakan kejahatan yang kompleks sehingga sulit diprediksi. Mereka juga sulit terdeteksi karena pergerakan mereka mirip seperti badan intelijen, tetapi dalam aturan yang berbeda.
”Aksi terorisme merupakan kejahatan yang kompleks sehingga sulit diprediksi. Mereka juga sulit terdeteksi karena pergerakan mereka mirip seperti badan intelijen, tetapi dalam aturan yang berbeda,” ujar Al Araf.
Terganjal aturan
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai menyampaikan, aparat kepolisian dan intelijen sebenarnya sudah mampu melakukan deteksi dini terhadap aksi teror karena dibantu kemajuan teknologi saat ini.
Namun, aparat kepolisian dan intelijen dinilai tidak bisa bertindak banyak untuk menanggulangi gerakan kelompok radikal karena terganjal aturan. Aparat hanya bisa memantau terduga teroris dan baru bisa menangkap mereka hingga ada tindakan melawan hukum.
Oleh karena itu, ia menilai Rancangan Undang-Undang Antiterorisme yang saat ini pembahasannya masih terhenti merupakan sebuah kebutuhan. Ruang gerak aparat dalam memberantas teroris, seperti masa penangkapan, penahanan, dan pembuktian, akan jauh lebih jelas jika RUU ini disahkan.
”Sejak 2004 kami yang bertugas di lapangan menangkal dan menangani terorisme sudah berusaha menyampaikan aturan tentang terorisme ini,” kata Ansyaad.
Tidak takut
Meski dalam sepekan ini teroris mulai gencar melakukan aksi, tetapi sejumlah warga mengaku tidak takut terhadap hal tersebut. Hal ini terlihat dari masyarakat di sekitar lokasi insiden yang masih melakukan aktivitas seperti biasa.
Fadil (26), salah satu warga Depok, mengatakan, masyarakat tidak sepatutnya takut terhadap aksi teror karena hal tersebut merupakan tindakan pengecut yang dilakukan segelintir orang. Selain itu, masyarakat juga perlu memberikan dukungan dengan tidak menyudutkan sejumlah yang bertugas memberantas terorisme.
”Tujuan teroris itu memberikan ketakutan kepada masyarakat. Kita tidak boleh takut karena jika kita takut sama halnya kita kalah terhadap teroris tersebut,” kata Fadil.