Pengesahan RUU Antiterorisme Seharusnya Bisa Dipercepat
JAKARTA, KOMPAS – Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme masih terhambat soal definisi terorisme, judul undang-undang, dan perihal pelibatan TNI dalam memberantas aksi teror. Beberapa kalangan menilai ketiga poin tersebut sudah tuntas dibahas. Hal itu karena aparat keamanan sudah sangat memerlukan payung hukum untuk menangani aksi terorisme.
Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah diajukan pemerintah sejak Februari 2016. Inisiatif pemerintah merevisi UU Nomor 15 Tahun 2013 berawal dari adanya insiden bom dan serangan di kawasan Sarinah, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016.
Revisi undang-undang itu diharapkan akan mengubah kebijakan penanganan terorisme agar lebih menitikberatkan pada upaya preventif.
Revisi undang-undang itu diharapkan akan mengubah kebijakan penanganan terorisme agar lebih menitikberatkan pada upaya preventif.
Maksud dari menitikberatkan pada tindakan preventif adalah RUU Antiterorisme bakal mengakomodir beberapa hal yang dibutuhkan aparat. Pertama soal persiapan tindak pidana terorisme di Pasal 10 A. Kemudian mengenai perencanaan tindak pidana teorisme di Pasal 12 A. Pelatihan militer atau paramiliter di Pasal 12 B, ujaran kebencian di Aasal 13 A, dan sanksi bagi pelaku teror yang melibatkan anak-anak yang diatur di Pasal 16 A.
Anggota tim perumus RUU Nomor 15 Tahun 2013 dari Fraksi PDI-P Risa Mariska, Senin (14/5/2018), menyampaikan, perdebatan terakhir mengenai rapat-rapat dalam panitia khusus (Pansus) masih menyisakan hal yang berkaitan dengan definisi terorisme.
Definisi terorisme yang diusulkan pemerintah adalah segala perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal atau mengakibatkan kerusakan dan kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
Mengacu rapat terakhir DPR dan pemerintah dalam pembahasan RUU Antiterorisme pada 18 April 2018, muncul usulan mempersempit definisi tindakan terorisme dengan menambahkan frasa “tujuan atau motif politik, ideologi, dan tindakan mengancam keamanan Negara”.
Dengan usulan frasa baru itu, poin yang diperdebatkan adalah perlu atau tidaknya penegasan bahwa suatu tindakan terorisme harus didasari motif politik, ideologi, dan tindakan yang mengancam keamanan negara. Pemerintah memandang penegasan seperti itu tidak perlu, tetapi sejumlah fraksi partai politik di DPR menilai perlu.
“Kalau definisi terorisme itu dijabarkan secara rinci, tentu ini akan membatasi ruang gerak kewenangan aparat kepolisian. Maka fraksi kami dengan tegas menolak definisi terorisme untuk masuk dalam pembahasan RUU,” tutur Risa dalam diskusi publik bertajuk “Nasib Pembahasan RUU Terorisme” di Jakarta.
Namun, menurut Risa, pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto bersama dengan sejumlah fraksi sudah menyepakati soal definisi.
Risa mengatakan, kesepakatan definisi kembali kepada rumusan awal yang tidak menyertakan motif politik dan ideologi. Ia berharap perdebatan soal definisi tidak akan terjadi pada rapat-rapat pansus berikutnya.
“Soal judul undang-undang juga belum disepakati. Jadi hal-hal penting yang sangat krusial ini ditentukan di akhir pembahasan,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Imparsial, Al Araf, berpendapat, pemerintah bukan sedang membuat undang-undang baru, tetapi hanya merevisi undang-undang yang telah ada, sehingga seharusnya judul tidak boleh diubah.
Pelibatan TNI
Ihwal pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme, Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) pada 2016 merilis catatan kritis atas RUU Antiterorisme.
Pelibatan TNI diatur dalam pasal 43 B RUU Antiterorisme. ICJR mencatat, pendekatan penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan bagian dari penegakan hukum di bawah kewenangan aparat penegak hukum. Sehingga TNI tidak dapat masuk ke dalam ranah penegakan hukum karena berbeda tugas pokok dan fungsinya.
Oleh sebab itu, pasal tersebut harus dipertegas, TNI bisa berperan ketika serangan terorisme mengancam kedaulatan negara atau ketika berhubungan dengan operasi militer dan aparat penegak hukum sendiri sudah tidak bisa menangani suatu persoalan terorisme.
Risa menanggapi, pelibatan TNI sudah disepakati ada dalam pasal 43 J. Pelibatan TNI adalah dalam rangka operasi militer selain perang dan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden (Perpres). Substansinya, kata Risa, tidak akan keluar dari Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Sementara itu Al Araf mengatakan, pelibatan TNI di negara manapun selalu dimungkinkan untuk menangani aksi terorisme. Dengan demikian, ia menyampaikan, hambatan pembahasan RUU Antiterorisme yang meliputi persoalan perumusan definisi, judul, dan pelibatan TNI seharusnya sudah selesai.
Hal senada juga diungkapkan Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai. Ansyaad mengatakan, melihat peta perumusan RUU Antiterorisme yang sangat a lot di parlemen, ia menuding di dalam Pansus RUU Antiterorisme ada pihak-pihak yang tidak memahami masalah terorisme dan tidak mampu menangkap makna semangat merevisi undang-undang tersebut.
Menurut Ansyaad, UU Antiterorisme merupakan kebutuhan mendesak. Namun, perumusannya berlarut-larut karena terbelenggu beberapa poin yang menurutnya sudah tuntas dibahas.
“Semangat yang utama adalah bagaimana caranya supaya kita bisa bertindak proaktif. Penanganan terorisme yang sekarang ini sifatnya reaktif. Setelah ada kejadian bom baru bergerak. Begitu terlambat,” ujar Ansyaad.
Pembahasan tertutup
Ketua Setara Institute Hendardi menyoroti pembahasan RUU Antiterorisme di DPR yang dilakukan secara tertutup. Hal itu mengakibatkan publik tidak bisa mengetahui proses pembahasannya. Pembahasan yang tertutup membuka potensi tarik menarik menarik kepentingan terhadap substansi di undang-undang tersebut, sehingga pembahasannya menjadi lambat.
Al Araf meminta DPR harus membuka perdebatan pembahasa RUU tersebut, karena jika dilakukan secara tertutup akan muncul kecurigaan akan adanya kepentingan kontestasi. Al Araf mendesak ketua Pansus mengambil sikap, karena isu terorisme saat ini sudah sedemikian genting dan mengancam keamanan nasional, sehingga pembahasan RUU Antiterorisme harus mendapat ruang dan masukan dari public.
“Pembahasan tertutup itu seharusnya ditiadakan, sehingga banyak masukan-masukan yang baik dalam pembahasan,” ujar Al Araf.
Risa mengakui pembahasan RUU Antiterorisme selama ini memang dilakukan secara tertutup. Ia sepakat agar rapat Pansus ke depan dilakukan secara terbuka.
Lebih lanjut ia menjelaskan, setelah pembahasan di Pansus RUU Antiterorisme di masa persidangan pada Mei 2018 tuntas, proses selanjutnya kepada Tim Perumus. Setelah itu nanti akan dibawa ke Tim Sinkronisasi. Risa mengharapkan pembahasan RUU Antiterorisme bisa dirampungkan pada masa sidang nanti.