JAKARTA, KOMPAS — Penulis buku membutuhkan sebuah wadah yang dapat melindungi profesinya. Profesi ini sering kali dipandang sebelah mata sehingga hak mereka sulit terwujud.
Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) menjadi wadah yang diharpkan dapat menyatukan penulis dari semua aliran kepenulisan di seluruh Indonesia. Ketua Umum Satupena Nasir Tamara mengatakan, tujuan utama Satupena ialah membela kepentingan penulis.
”Kami ingin meningkatkan kesejahteraan, kapasitas, dan penguatan profesi penulis,” kata Nasir dalam pidato Rapat Kerja Nasional dan perayaan hari ulang tahun pertama Satupena di Jakarta, Minggu (13/5/2018).
Kami ingin meningkatkan kesejahteraan, kapasitas, dan penguatan profesi penulis
Nasir menambahkan, Satupena juga berusaha melindungi hak atas karya dan kebebasan menulis.
Ia menjelaskan, organisasi profesi penulis menjadi yang terlemah dibandingkan dengan profesi lainnya. Hal tersebut terjadi karena kurangnya penghargaan terhadap profesi penulis dari pemerintah dan masyarakat.
Profesi penulis sering kali ditakuti karena karyanya yang tajam sehingga selalu diawasi oleh kekuatan politik yang ingin mengontrol. Situasi tersebut semakin berkurang dengan munculnya demokrasi di Indonesia pada 1998.
Menurut Nasir, Indonesia sudah lama tidak memiliki wadah yang dapat mempersatukan profesi para penulis. ”Penulis ibarat lidi yang hidup sendiri dan mudah dihancurkan,” kata Nasir.
Ia mengatakan, penulis perlu bersatu dalam ikatan yang besar, kokoh, dan lentur. Persatuan tersebut akan menjadi sebuah kekuatan yang diperhitungkan.
Sebagai langkah awal, Satupena memperkuat kelembagaan organisasi. Sejak berdiri pada April 2017, Satupena telah melakukan berbagai kegiatan kepenulisan, seperti dialog bersama, lokakarya, forum diskusi, dan rapat bersama pemerintah. Sekretaris Satupena Mikke Susanto mengatakan, Satupena juga telah diakui secara legal.
Langkah berikutnya, Satupena membuat program unggulan dengan berinovasi menggunakan teknologi mutakhir. Mereka mulai membahas permasalahan pendidikan kepenulisan, kesejahteraan penulis, kolaborasi nasional dan internasional, teknologi dan inovasi, serta standardisasi upah penulis.
Perupa dan penulis KP Hardi Danuwijoyo mengatakan, untuk memperkuat organisasi penulis di Indonesia perlu dimulai sejak pendidikan dasar. Menurut Hardi, selama ini organisasi di Indonesia selalu pecah karena kurangnya pengetahuan dalam mengelolanya.
”Sebagian besar organisasi yang bertahan di Indonesia dikelola oleh lulusan dari luar negeri,” kata Hardi. Ia menambahkan, pemahaman tentang keorganisasian perlu menjadi salah satu materi pengajaran pada pendidikan tingkat dasar hingga perguruan tinggi di Indonesia.
Upah penulis
Masalah upah penulis mendapat sorotan khusus dari Nasir. Ia mengatakan, sangat sedikit penulis Indonesia yang bekerja secara penuh. Mereka harus mencari sampingan agar dapat mencukupi kehidupan sehari-hari. Permasalahan tersebut terjadi karena tidak adanya upah yang jelas dari seorang penulis.
”Seorang penulis bekerja selama bertahun-tahun untuk menghasilkan sebuah buku,” kata Nasir. Proses panjang tersebut hanya dibayar dengan persenan. Ia menjelaskan, seorang penulis yang belum terkenal hanya mendapat 5 persen dari hasil penjualan bukunya, sedangkan penulis yang terkenal memperoleh 15 persen.
Lebih buruknya lagi, honor penulis disamakan dengan pekerja lepas yang mendapatkan upah berdasarkan apa yang dikerjakannya. Selain itu, pembajakan buku di Indonesia terus terjadi sehingga penjualan buku resmi terus berkurang.
Pada 2017, pajak sebesar 30 persen yang ditetapkan pemerintah kepada penulis buku membuat salah seorang penulis mencurahkan kekesalannya melalui media sosial. Hal tersebut memancing polemik masyarakat sehingga menjadi pembahasan antara Kementerian Keuangan dan para penulis buku. Namun, hingga sekarang pembahasan tersebut tidak memperoleh titik temu.