Segera Sahkan RUU Antiterorisme
JAKARTA, KOMPAS - Kepolisian Negara RI berharap Dewan Perwakilan Rakyat segera merampungkan pembahasan revisi Undang-Undang Antiterorisme dengan isi memberi kewenangan lebih besar kepada aparat hukum untuk mencegah aksi terorisme. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kini berlaku, terlalu bersifat responsif dan kurang antisipatif.
"Kita harapkan UU Antiterorisme segera diperbaiki. Negara butuh power lebih,” harap Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, di Surabaya, Minggu (13/5/2018).
UU No 15/2003, lanjut Tito, membuat Polri, antara lain tidak bisa menindak ratusan warga Indonesia yang kembali dari Suriah pasca bergabung dengan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Keluarga pelaku bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, kemarin, bagian dari orang yang kembali dari Suriah untuk bergabung dengan NIIS.
"Yang kembali dari Suriah 500, termasuk di antaranya keluarga ini," kata Tito.
Saat ini, lanjut Tito, Polri baru bisa bertindak jika para terduga teroris melakukan aksi atau telah memiliki barang bukti untuk melakukan serangan teror.
Tito berharap RUU Antiterorisme perlu diperkuat dengan sejumlah poin seperti sanksi pidana kepada pihak yang berkaitan dengan kelompok teroris, seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Kemudian, dimuat pula ancaman pidana kepada warga Indonesia yang hendak dan telah pulang setelah bergabung dengan NIIS di Suriah.
Permintaan Tito agar DPR segera merampungkan pembahasan RUU Antiterorisme ini bukan yang pertama kali disampaikan. Pasca peristiwa bom panci Kampung Melayu, Jakarta, Mei 2017, Kepala Polri juga telah meminta DPR untuk segera mengesahkan RUU Antiterorisme.
“Jika masih terlalu lama, kita mohon presiden membuat Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang),” kata Tito.
Secara terpisah, Ketua DPR Bambang Soesatyo menuturkan, pihaknya sebenarnya telah 99 persen siap mengetuk palu untuk pengesahan RUU Antiterorisme sebelum reses masa sidang, akhir April lalu. Namun, lanjutnya, pemerintah meminta ditunda karena belum ada kesepakatan terkait definisi terorisme.
Mengacu rapat terakhir DPR dan pemerintah dalam pembahasan RUU Antiterorisme versi 18 April 2018, muncul usulan mempersempit definisi tindakan terorisme dengan menambahkan frasa ”tujuan atau motif politik, ideologi, dan tindakan mengancam keamanan negara”.
Sebelumnya, definisi terorisme yang diusulkan pemerintah adalah segala perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal atau mengakibatkan kerusakan dan kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
Dengan usulan frasa baru itu, poin yang diperdebatkan adalah perlu atau tidaknya penegasan bahwa suatu tindakan terorisme harus didasari motif politik, ideologi, dan tindakan yang mengancam keamanan negara. Pemerintah memandang penegasan seperti itu tidak perlu, tetapi sejumlah fraksi partai politik di DPR menilai perlu.
“Begitu definisi terorisme terkait motif dan tujuan disepakati, RUU Antiterorisme bisa dituntaskan,” janjinya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan, revisi UU Antiterosme mendesak diselesaikan, “Saya katakan ini (revisi) harus dituntaskan dalam waktu dekat,” tegasnya.
Penangkapan
Tim Densus 88 Antiteror Polri, menangkap empat orang terduga teroris di sekitar Terminal Pasir Hayam Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, pada Minggu dini hari, kemarin. Mereka adalah BNN (20), DCN (23), AR (32), HS (23).
Polisi juga menangkap dua terduga lain di wilayah Cikarang, Kabupaten Bekas, Jabar, yaitu G, dan MI.
Tito mengungkapkan, ketika dilakukan penangkapan, keempat terduga teroris di Cianjur itu melawan dengan menembak personel Densus 88 Antiteror. Akibatnya, polisi balas menembak yang mengakibatkan empat orang itu meninggal. Adapun, dua terduga teroris di Cikarang telah dibawa ke Jakarta untuk diperiksa.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengungkapkan, keenam terduga pelaku itu akan melaksanakan aksi teror jelang bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri 2018. Mereka telah melakukan pelatihan paramiliter di wilayah Sukabumi, Jawa Barat.
Dalam penangkapan itu tim Densus 88 Antiteror Polri menyita sejumlah barang bukti, di antaranya, dua senjata api jenis revolver, pisau yang diduga beracun, dan berbagai kartu anjungan tunai mandiri (ATM). Sementara di halaman depan Polres Cianjur terdapat mobil dengan nomor polisi F 1416 UZ yang digunakan tersangka.
“Mereka merencanakan amaliah (serangan teror) di sejumlah kantor dan pos polisi di wilayah Bogor, Bandung, Jakarta, serta Mako Brimob di Depok, Jawa Barat. Teror dilakukan hit and run dengan senjata api, lalu serangan dengan panah dan busur yang ujungnya dilengkapi bom,” jelas Setyo.
Kapolda Jawa Barat Irjen Agung Budi Maryoto Agung ,enuturkan, dari hasil pengembangan tempat kejadian perkara (TKP), polisi lalu menangkap satu terduga teroris berinisial MG di Kabupaten Sukabumi. Dari penggerebekan tersebut, polisi mengamankan beberapa senjata tajam, empat busur panah beserta 16 anak panah.
Kepala Polres Cianjur Ajun Komisaris Besar Soliyah menjelaskan, dalam operasi ini, Polres Cianjur menurunkan petugas untuk mengamankan TKP dan memberi perimeter untuk mengamankan warga.
"Setelah semuanya selesai, kami membersihkan TKP hingga seperti semula agar tidak mengganggu aktivitas masyarakat. Pembersihan dilakukan hingga pagi hari," paparnya.
Secara terpisah, Polda Sumatera Barat mengimbau masyarakat untuk tidak takut menghadapi teroris. “Tujuan teror adalah untuk menakuti-nakuti dan membuat kondisi kacau. Maka kami imbau agar masyarakat tidak takut,” kata Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Barat Komisaris Besar Syamsi.
Menurut Syamsi, telah ada instruksi untuk meningkatkan pengamanan, pengawasan, serta menyisir gereja yang digunakan sebagai sarana ibadah.
“Kami berusaha memberi perlindungan dan pengamanan, agar pelaksanaan ibadah di gereja dapat berjalan dengan baik dan lancar,” ujarnya. (SAN/ZAK/RTG/AGE)