Selat Malaka Simpul Penyelundupan
MEDAN, KOMPAS - Jejak penyelundupan di kota-kota sepanjang garis pantai timur Pulau Sumatera, berdasar pemantauan tim Kompas terlihat kasat mata. Aparat keamanan terus berpatroli, dan telah mengidentifikasi ratusan pintu masuk dari pelabuhan “tikus” di sepanjang garis pantai Provinsi Aceh, Kepulauan Riau, bahkan sampai Lampung. Namun, para penyelundup tetap mampu menerobos barikade aparat di lautan, dan membawa barang selundupan ke daratan.
Awal Mei, tim Kompas mengikuti Operasi Patroli Laut Terpadu Bea dan Cukai “Jaring Sriwijaya”, selama sepekan. Patroli menyusuri Selat Malaka itu menyisir wilayah Pulau Karimun, Kepulauan Riau, ke perairan Riau, perairan Aceh, perairan Sumatera Utara, dengan tiga kapal. Hasilnya, hanya satu kapal penyelundup ditangkap.
Masa-masa "puncak" penyelundupan biasanya menjelang bulan Ramadhan, hingga mendekati Idul Fitri, seperti saat ini. Namun, untuk menangkap kapal pengangkut barang selundupan, bukan perkara gampang.
Penangkapan terjadi Jumat (4/5/2018) malam oleh kapal patroli BC 30005 dengan Komandan Jauhari. Kapal patroli menghentikan kapal kayu 24 GT di perairan Aceh Tamiang, sekitar 16 mil (26 kilometer) dari pantai.
Kapal bernama Doa Ibu III itu membawa barang kebutuhan sehari-sehari seperti tepung, gula pasir, minyak goreng, kurma, dan inai (pewarna kuku) dengan total berat sekitar 24 ton. Barang dibawa dari Penang, Malaysia hendak dibawa ke Aceh Tamiang.
HS (32), seorang awak kapal mengaku muatan itu milik seorang pengusaha di Aceh Tamiang. Mereka hanya ditugaskan mengambil barang di Malaysia. Jika berhasil, akan dibayar Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta per orang. Mereka menerima pekerjaan itu murni karena alasan ekonomi. Ini kali keempat HS menyelundupkan barang dari Malaysia. Tiga kali sebelumnya ia lolos.
Kapal berangkat dari Aceh Tamiang pada malam hari dan tiba di Malaysia malam berikutnya. Setelah memuat barang, kapal langsung balik arah dengan mengatur waktu mendarat pada tengah malam di Aceh Tamiang.
Pendaratan barang berlokasi di kawasan Bendahara, Seuruway, Banda Mulia, dan Kuala Geunting, Aceh Tamiang. Setiba di situ, barang lantas didistribusikan ke pasar di Kuala Simpang hingga Banda Aceh.
Menurut Kepala Seksi Penindakan II Kantor BC Aceh, Didik Mujiyono, sepanjang perairan Aceh, dari Aceh Tamiang hingga Sigli, ada ratusan pelabuhan kecil tempat pendaratan rahasia kapal penyelundup, termasuk muatan narkoba. Pada 2016 mereka menangkap 10 kapal penyelundup, dan pada 2017 sebanyak 13 kapal. "Namun, kapal yang lolos mungkin lebih dari itu," ujar Didik.
Di lokasi lain, kapal BC 5002 dengan komandan Heru Sutawijaya, yang berpatroli selama sepekan di perairan Riau, tidak menemukan kapal penyelundup. Pada Jumat (5/5/2018), kapal BC mengejar kapal yang diduga penyelundup dari Malaysia. Namun, setelah mengejar sampai ke Sinaboi di Kabupaten Rokan Hilir, hasilnya nihil. Beberapa kapal yang dicurigai sempat diberhentikan, tetapi lalu dilepas karena dokumennya lengkap.
Heru mengatakan, sepinya penyelundup bisa jadi karena informasi patroli “Jaring Sriwijaya” sudah menyebar (bocor). Tetapi dia yakin, itu tak berlangsung lama karena menyelundup adalah mata pencarian yang tidak mungkin ditinggalkan.
Nakhoda Kapal BC5002, Raja Mazlan (54) menuturkan, kosongnya tangkapan di awal operasi sering terjadi. Dia mengaku pernah melaut 15 hari, tanpa satu pun buruan. Padahal, garis pantai Riau dari Rokan Hilir sampai ke Indragiri Hilir, termasuk pulau-pulau kecil di Kepulauan Meranti, punya ratusan pelabuhan tikus untuk pendaratan kapal penyelundup barang kebutuhan sehari-hari.
Sementara saat memasuki perairan Sumut, Jumat (4/5/2018) malam, radar petugas kapal patroli BC 20005, yang memantau di radius 12 mil menunjukkan ada lebih dari 100 kapal berukuran sedang hingga besar, di luar ratusan kapal nelayan berukuran kecil yang tidak terpantau radar. “Perairan ini jalur penyelundupan paling rawan,” kata Komandan Kapal BC 20005 Gunar Wiratno.
Mualim kapal bolak-balik meneropong dari anjungan untuk memantau visual kapal-kapal mencurigakan. “Keadaan seperti ini kami hadapi setiap hari. Lengah sebentar, kapal-kapal penyelundup langsung masuk ke area Indonesia,” ujar Nakhoda Kapal BC 20005 Yanto Eryanto.
Barang yang terbanyak diselundupkan ke Sumut adalah pakaian bekas, bawang merah, dan narkoba. Pakaian bekas biasanya diangkut kapal kayu, menyamar kapal nelayan sepanjang 30 meter hingga 50 meter. Satu kapal bisa membawa 400 hingga 800 karung pakaian bekas. “Seharga Rp 5 juta per karung, nilai pakaian bekas yang dibawa bisa miliaran rupiah,” ujar Yanto.
Sedangkan bawang merah diselundupkan ke Sumatera karena disparitas harga. Di Thailand atau Malaysia, harga bawang hanya Rp 5.000 per kilogram, sementara di kota-kota Sumatera, mencapai Rp 30.000. Jika bisa membawa 20 ton bawang sekali angkut, keuntungan kotor mencapai Rp 500 juta.
Yanto mengatakan, peluang kapal patroli BC untuk menggagalkan penyelundupan adalah saat kapal penyelundup masih di tengah laut. Kalau sudah dekat ke darat, bos penyelundup dapat mengerahkan massa untuk melawan petugas. Massa di darat melawan dengan melempar plastik berisi bensin ke kapal patroli lalu menghujaninya dengan mercon atau petasan. Kapal BC 20005 adalah salah satu kapal yang pernah diserang dan dibakar penyelundup.
Kepala Seksi Penindakan dan Penyidikan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Teluk Nibung Andry Irawan mengatakan, pelabuhan-pelabuhan tikus itu dikuasai pribadi. Kapal penyelundup biasanya masuk dan bongkar muat pada dini hari yakni pada saat air pasang, pukul 01.00 hingga 02.00.
Saat operasi di laut berlangsung, Kepolisian Resor Rokan Hilir, Riau, Minggu (6/5/2018) menangkap sebuah kapal kayu pengangkut pakaian bekas yang sedang membongkar muatan di pelabuhan tikus di bawah Jembatan Pedamaran II, Kecamatan Bangko, Rokan Hilir. Kapal itu lolos dari patroli BC. Polisi menyita 561 karung pakaian bekas.
Dijual bebas
Di Sumut, bongkar muat barang selundupan, terutama pakaian bekas, dilakukan di pelabuhan tikus di sepanjang Teluk Nibung yang membentang di Kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai. Belakangan juga sampai ke Kabupaten Batu Bara dan Serdang Bedagai. Pakaian bekas bisa dengan mudah dibeli masyarakat di Pasar TPO Tanjung Balai yang merupakan pusat grosir pakaian bekas besar.
Di Batam, Kepulauan Riau, barang selundupan bekas seperti pakaian, barang elektronik, mainan, telepon seluler bekas dijual bebas di pasar seperti Pasar Pagi Jodoh, Batu Ampar, Pasar Aviari Batu Aji, atau kawasan Tanjung Sengkuang, Batu Ampar. Mayoritas barang berasal dari Singapura yang hanya berjarak 25 kilometer dari Batam.
Kepala Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi Bea dan Cukai Batam R Evy Suhartantyo menyebutkan, barang selundupan lain adalah rokok, minuman keras, dan obat-obatan tanpa izin BPOM. Pekan lalu, telah dimusnahkan 137 ton barang hasil penindakan BC, termasuk pakaian bekas, sejak 2013 sampai 2017 senilai total Rp 1,2 miliar.
Menurut Evy, Batam memiliki lima pelabuhan resmi yakni Sekupang, Harbour Bay, Batam Center, Telaga Punggur, dan Pelabuhan CPO Kabil. Ia memastikan, barang bekas tidak masuk dari lima pelabuhan itu, melainkan melalui pelabuhan tikus di Batam yang mencapai 20-an.
Namun dalam penelusuran Kompas, telepon seluler (HP) bekas tetap dapat masuk melalui pelabuhan resmi misalnya Harbour Bay. HP yang masuk dapat melebihi jumlah yang diperbolehkan yakni dua unit per orang.
Arkaz, salah satu pedagang HP bekas di pasar Pagi Jodoh mengatakan, mereka aman membawa dalam jumlah banyak asal membayar ke petugas di pelabuhan, yang sudah mereka kenal. Satu unit HP, upetinya Rp 50.000.
Sementara di Kota Pekanbaru, Riau, Pasar Bawah yang menjadi salah satu destinasi wisata kota, adalah pusat perbelanjaan yang banyak menjajakan makanan kemasan asal Malaysia dan Singapura. Turis domestik, paling suka berbelanja ke pasar itu, karena dapat membeli produk impor tanpa harus pergi ke luar negeri.
Pengamat Sosial Riau, Rawa El Amady mengatakan, penyelundupan lewat Selat Malaka sesungguhnya hal yang biasa sejak dahulu. Warga Riau dan Kepulauan Riau, Sumatera Utara dan Aceh dulunya sudah biasa mendapatkan pasokan kebutuhan sehari-hari dari negara tetangga. Kegiatan itu lebih mirip perdagangan lintas batas.
Secara ekonomi, rakyat justru lebih menyukai barang selundupan karena harganya lebih murah daripada barang lokal. “Peminat barang selundupan sangat banyak karena harganya murah. Rakyat lebih memilih barang bekas impor daripada produk dalam negeri yang kualitasnya dianggap lebih rendah,” kata Rawa.
“Di sisi lain, sangat banyak orang yang terlibat dalam jaring operasinya, termasuk bantuan para aparat sendiri. Jadi, penyelundupan, kecuali narkoba, murni persoalan pemerintah. Masyarakat kita justru menikmatinya,” kata Rawa.
Penyelundupan jelas merupakan dilema sekaligus ironi. Padahal pemerintah telah menugaskan 12 kementerian dan lembaga untuk menangani pengawasan laut, namun perangkat kerja seperti kapal patroli dan personel sumber daya manusia masih sangat sedikit. Belum lagi dugaan keterlibatan aparatur dalam memuluskan penyelundupan. Di darat, upaya untuk memutus jalur distribusi barang selundupan pun masih sangat minim.