Soeharto Mau Mundur, Benarkah?
14 Mei 1998
Hari itu hari Kamis. Pagi hari semburat cahaya matahari menerpa Jakarta. Namun, kobaran api masih menyala membakar Jakarta yang terjadi sejak hari sebelumnya. Di jalan-jalan, seperti di sepanjang Jalan Gunung Sahari, kawasan Senen, Jalan Kramat Raya, dan Jalan Matraman Raya, mobil-mobil yang dibakar massa masih terjungkal dan mengepulkan asap. Kerusuhan telah membakar Jakarta sejak ditembaknya empat mahasiswa Universitas Trisakti pada Selasa, 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa di kampus mereka. Penembakan mahasiswa Trisakti pun menjadi faktor pemicu (triggering factor) terjadinya kerusuhan. Pada Selasa malam itu mulai muncul amuk massa di sejumlah titik di Jalan Daan Mogot, tak jauh dari kampus Universitas Trisakti di sekitar persimpangan Grogol.
Keesokan harinya, 13 Mei, langit cerah Jakarta pada pagi hari berubah begitu cepat ketika kumpulan asap membubung tinggi. Ibu kota negara dilanda kerusuhan yang masif. Jakarta porak poranda. Gedung-gedung pusat perekonomian, seperti mal dan supermarket, dibakar dan dijarah massa. Tiba-tiba kerusuhan meluas, mendadak, dan eskalatif secara serentak pukul 08.00-10.00. Tiba-tiba Jakarta terbakar secara bersamaan. Massa begitu beringas. Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998 menyebutkan, pola kerusuhan dimulai dengan adanya massa pasif (massa lokal dan pendatang yang tak dikenal) yang menjadi massa aktif, kemudian muncul provokator yang memancing massa.
Polanya sama, yaitu modus membakar ban atau memancing perkelahian, meneriakkan yel-yel yang membangkitkan amarah massa, dan merusak rambu-rambu lalu lintas. Setelah situasi mulai panas, ada provokator yang mendorong massa agar mulai merusak barang dan bangunan, disusul menjarah dan kemudian membakar gedung. TGPF menyebutkan, provokator bukan dari wilayah setempat, mereka tampak terlatih, sebagian berseragam sekolah seadanya, tidak ikut menjarah, dan pergi setelah gedung terbakar.
Provokator bukan dari wilayah setempat, mereka terlatih, sebagian berseragam sekolah, tak menjarah, dan pergi setelah gedung terbakar.
Situasi kacau balau itu membuat Presiden Soeharto yang tengah berkunjung ke Mesir sejak 9 Mei 1998 dalam rangka menghadiri KTT G-15 memutuskan mempercepat kepulangannya. Pemerintah menyerukan agar semua pihak menahan diri dalam menjaga ketenteraman dan stabilitas. Di Jakarta, Wakil Presiden BJ Habibie membacakan pesan Presiden Soeharto.
”Atas nama pemerintah dan pribadi, kami menyampaikan rasa keprihatinan yang amat mendalam atas musibah yang terjadi dalam peristiwa unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat yang telah menyebabkan korban meninggal dan luka-luka. Untuk itu, dengan tulus hati, pemerintah menyampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga korban yang ditinggalkan dan seluruh sivitas akademika perguruan tinggi,” kata Habibie di Istana Wakil Presiden, Rabu (13/5/1998) malam.
Dari Mesir, Soeharto memberikan tanggapan terhadap kemelut politik di Tanah Air. Presiden Soeharto memberikan pernyataan yang menghebohkan saat bertatap muka dengan masyarakat Indonesia di Kairo, Rabu itu. Substansi paling menghebohkan adalah niat Soeharto untuk mengundurkan diri sebagaimana dituntut rakyat dan mahasiswa dalam gelombang unjuk rasa reformasi yang makin eskalatif. Dalam bahasa Soeharto, apabila rakyat tidak menghendaki lagi, ia siap mundur.
Niat mundur Soeharto masih menjadi teka-teki. Tiada yang dapat memastikan. Banyak yang meragukan. Jangan-jangan itu hanya omongan pancingan yang bisa berbahaya. Maklumlah, Soeharto sudah 32 tahun berkuasa. Kekuasaannya begitu kuat. Berbagai kritik tak digubrisnya. Suara-suara vokal dibungkam. Mereka yang melakukan perlawanan ditangkap dan dipenjarakan. Alat kekuasaan Soeharto sangat ditakuti. ABRI begitu kuat. ABRI menjadi pengawal Soeharto.
Apalagi, beberapa kali Soeharto memberikan sinyal secara eksplisit untuk mundur, tetapi tak pernah dilaksanakan. Misal, pada 20 Oktober 1997, di depan jajaran pimpinan Partai Golkar, Soeharto menyatakan ingin mundur. Dalam bahasa pewayangan, Soeharto mengatakan, ”Lengser keprabon, madeg pandhita. Jadi, kalau tidak menjadi pemimpin kerajaan bisa memadeg menjadi pandita.” Maksudnya mundur secara sukarela dari kursi presiden dan menjadi orangtua yang bijak di tempat pertapaan dan siap memberikan nasihat kepada siapa pun.
Presiden Soeharto menyatakan bersedia mundur ... takkan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata.
Namun, faktanya Soeharto masih menduduki kursi presiden untuk ketujuh kalinya. Pada 10 Maret 1998, Soeharto diangkat kembali sebagai presiden sesuai Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1998. Jadi, kabar ingin mundur Soeharto dari Mesir nun jauh di sana tentu menimbulkan keraguan: apa benar Soeharto ingin mundur? Tetapi, tentu saja merupakan good news di tengah desakan mundur mahasiswa dan rakyat dalam situasi penuh kekalutan.
Sekali lagi saat bertemu dengan masyarakat Indonesia di Mesir pada Rabu, 13 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan, bersedia mundur apabila rakyat tidak lagi menghendaki dirinya sebagai presiden. Ia takkan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata. Soeharto ingin mendekatkan diri kepada Tuhan, lalu dengan keluarga, anak-anak, dan cucu-cucu. Tentu saja lewat jalan konstitusional, bukan cara-cara kekerasan atau kudeta. ”Kalau ada yang ingin melakukannya secara inskonstitusional, itu berarti mengkhianati Pancasila dan UUD 1945,” kata Soeharto di depan masyarakat Indonesia yang ada di Mesir.
Nada pernyataan Soeharto memang agak lain, barangkali situasi politik yang makin tidak karuan. Sebelum-sebelumnya, wajah Soeharto identik dengan kekuasaan yang keras. Di zaman Orde Baru, pernah terdengar istilah, ”Saya gebuk yang inkonstitusional”. Itu mengacu pernyataan Soeharto tentang suksesi kepemimpinan nasional. Di dalam pesawat terbang, sepulang dari kunjungan ke Yugoslavia dan Uni Soviet pada September 1989, menjawab pertanyaan wartawan, Soeharto mengatakan, secara konstitusional dirinya dapat diganti. ”Tetapi kalau dilakukan di luar itu, apakah ia seorang pemimpin politik atau jenderal sekalipun, akan saya gebuk,” kata Soeharto.
Walaupun pernyataan ”mundur” pada 13 Mei 1998 di Kairo itu sudah terasa beda, tetapi masih tiada yang percaya tentang kebenaran niat Soeharto itu. Namun, Kompas edisi 14 Mei 1998 menerbitkan berita headline di halaman pertama berjudul ”Presiden Siap Mundur” berdasarkan bahan berita yang diliput wartawan istana, J Osdar, yang menyertai kunjungan Soeharto ke Mesir. Pilihan judul atau isi berita pada situasi yang tidak menentu ujungnya itu tentu sangat berisiko. Apabila keliru, media bisa digebuk. Namun, perlu insting kuat untuk membaca sejauh mana situasi di lapangan dan aspirasi rakyat yang terus disuarakan menuntut reformasi dan perubahan politik.
Kekuasaan Soeharto sudah berada di ujung tanduk. Rakyat butuh perubahan, rakyat ingin kebebasan, rakyat ingin reformasi.
Belakangan terungkap bahwa kata ”mundur” itu interpretatif. Presiden Soeharto tidak menggunakan kata ”mundur”, tetapi memang bicara ”apabila rakyat tidak menghendaki lagi, saya tidak akan bertahan dengan menggunakan senjata, akan mendekatkan diri kepada Tuhan, kepada keluarga, serta kepada anak-anak dan cucu-cucu”. Jadi, mundur itu adalah pemaknaan. Inilah jurnalisme makna. Esok harinya, berita itu sangat menghebohkan. Bahkan, Soeharto sendiri sempat mengoreksi. Namun, situasi sudah berubah. Aspirasi rakyat sudah tak terbendung lagi. Perubahan sudah di depan mata. Kekuasaan Soeharto sudah berada di ujung tanduk. Rakyat butuh perubahan, rakyat ingin kebebasan, rakyat ingin reformasi. Karena itu, membaca tanda-tanda zaman haruslah jeli.
Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto telah menyesali dan sedih atas meninggalkan mahasiswa Universitas Trisakti. Wiranto pun menjanjikan bahwa ABRI akan mengusut peristiwa penembakan itu tanpa pandang bulu. ”Kita mencoba secara tuntas meneliti dan mengusut kejadian ini, seandainya kejadian ini menyangkut pelanggaran hukum prosedural, jika itu dilakukan oleh anggota ABRI, pasti akan dilakukan sesuai dengan proses hukum yang berlaku pada pihak masing-masing,” kata Wiranto sebagaimana dikutip Kompas, edisi 14 Mei 1998, itu.
Kepala Pusat Penerangan ABRI Brigjen TNI Abdul Wahab Mokodongan menyatakan, tim pengusut segera dibentuk. Komandan Pusat Polisi Militer (Dan Puspom) ABRI Mayjen TNI Syamsu D menyatakan tidak ada instruksi atau perintah menembak dalam menangani aksi unjuk rasa di Kampus Universitas Trisakti. ”Kalau ada prajurit yang melakukan penembakan, itu berarti dia melampaui perintah,” ujarnya. Menurut Syamsu, mahasiswa itu bukan musuh ABRI. ”Tidak ada maksud ABRI sedikit pun melawan mahasiswa atau tidak senang dengan mahasiswa. Kita adalah pelindung rakyat, berasal dari rakyat dan untuk rakyat,” kata Mayjen Syamsu.
DPR yang diduduki ribuan mahasiswa juga prihatin dan meminta pemerintah mengusut kasus penembakan itu sampai tuntas serta menyelesaikan melalui proses hukum. Sayangnya, kasus Trisakti semakin menyisakan duka. DPR bahkan menilai bukan termasuk pelanggaran HAM berat. Alhasil kasus penembakan Trisakti belum terungkap tuntas, kecuali enam perwira pertama Polri di lapangan yang diadili di Pengadilan Militer. Apa yang sesungguhnya terjadi masih gelap hingga kini. Pada 14 Mei 1998, atau persis 20 tahun silam, Jakarta memang begitu gelap dan mencekam. Di jalanan, massa tampak begitu marah. Api yang membakar Jakarta belum padam. Jakarta benar-benar panas. Situasinya serba simpang siur. Namun, hari itu publik sudah tahu bahwa Soeharto mau mundur sebagaimana tuntunan rakyat.