Amuk Massa yang ”Menyebar” di Jabotabek
15 Mei 1998
Kemarahan rakyat terhadap rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto tidak terbendung lagi memasuki bulan Mei 1998. Menumpuknya berbagai kasus kekerasan sewenang-wenang oknum aparat pemerintah terhadap rakyat, dan kondisi ekonomi nasional yang kian terpuruk di tengah gejolak ekonomi dunia karena berbagai penyimpangan dalam pengelolaan ekonomi membuat berbagai komponen rakyat tidak bisa menerima berbagai penjelasan pemerintah. Rakyat pun bangkit dan mengambil tindakan sendiri untuk melawan pemerintahan Soeharto.
Aksi gelombang demonstrasi gabungan berbagai elemen mahasiswa dan organisasi-organisasi massa yang berlangsung setiap hari, dengan dukungan dari berbagai elemen masyarakat kelas menengah, termasuk di dalamnya juga elemen aparatur pemerintah, diduga kuat dimanfaatkan kelompok tertentu yang kemudian menggerakkan massa rakyat bawah untuk melakukan aksi penjarahan dan kerusuhan di seputar Jabotabek.
Harian Kompas edisi Jumat (15/5/1998) menurunkan berita utama di halaman pertama bertajuk ”Perusuh Menjarah” dengan dua foto utama, yakni tentang penjarahan di Tanah Abang dan pembakaran di Pasar Baru. Situasi yang kacau-balau itu membuat Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto pun meminta agar penjarahan dihentikan, seperti terlihat pada berita bertajuk ”Menhankam/Pangab: Hentikan Penjarahan dan Pembakaran” yang juga dimuat di halaman pertama sebagai pendamping berita utama itu.
Kabar penjarahan di satu tempat yang cepat menyebar ke tempat lain ibarat api yang memicu kerusuhan itu terus menjalar ke berbagai tempat. Situasi itu pun membuat Presiden Soeharto mempersingkat kunjungan ke Mesir sehingga Kompas pada hari yang sama pun, Jumat (15/5/1998), menuliskan beritanya dengan judul ”Presiden Persingkat Kunjungan ke Mesir”.
Upaya aparat keamanan untuk mengendalikan situasi, terutama dari kesatuan TNI, dan lebih khusus lagi pasukan Marinir TNI AL, hanya bisa mengamankan obyek-obyek strategis. Bentrokan antara aparat kepolisian-TNI dan massa pun tidak terhindarkan. Aparat kepolisian dan TNI terpaksa melepaskan tembakan-tembakan untuk mengatasi amuk massa yang sulit dikendalikan sehingga sejumlah korban pun berjatuhan, antara lain di sekitar Jalan Matraman Raya.
Amuk massa pada saat itu memang tidak jelas digerakkan siapa, tetapi bisa membuat banyak warga kemudian ikut melakukan penjarahan dan perusakan. Banyak elemen masyarakat bersukacita karena bisa memiliki sejumlah barang dari hasil penjarahan. Kawasan pertokoan, kios pedagang di pasar, bahkan mal dan supermarket menjadi sasaran penjarahan.
”Gelombang kerusuhan di Jakarta, Kamis (14/5/1998), memasuki hari kedua, diwarnai perusakan, pembakaran, serta penjarahan dan perampokan di sentra-sentra perdagangan di seluruh wilayah Jakarta. Langit Jakarta diselimuti kabut hitam akibat pembakaran ratusan gedung, pasar, toko, mobil, dan motor. Situasi berangsur terkendali menjelang tengah malam,” demikian teras berita halaman utama Kompas edisi Jumat (15/5/1998).
Kerusuhan di pertengahan Mei itu pun berkembang menjadi aksi SARA, terutama kelompok pribumi dan kelompok nonpribumi.
Untuk memuluskan aksi penjarahan, kerja sama di antara warga pun dilakukan, antara lain sebagian berjaga-jaga dan membakari ban agar petugas keamanan tidak bisa bergerak untuk mengatasi penjarahan itu. Pemandangan warga menggotong pesawat televisi, kasur, kompor gas, dan berbagai barang lainnya, ditemui Kompas di sekitar Glodok, Cempaka Putih, Senin, Kelapa Gading, Gunung Sahari, juga sekitar Ciputat, Pondok Pinang, dan banyak lagi lainnya.
Selain penjarahan dan perusakan, kerusuhan di pertengahan Mei itu pun berkembang menjadi aksi SARA, terutama kelompok pribumi dan kelompok nonpribumi. Di sejumlah tempat, sekelompok warga membangun pos-pos penjagaan, yang akan memeriksa apakah mereka yang akan lewat dengan menggunakan sepeda motor atau mobil itu adalah pribumi atau nonpribumi. Kompas yang melakukan peliputan dengan menggunakan sepeda motor pun harus berkali-kali mengangkat helm untuk menunjukkan bahwa kami adalah pribumi.
Aksi kerusuhan dan penjarahan yang terjadi di seputar Jabotabek pada saat itu membuat sulit sekali membedakan siapa kawan dan siapa lawan. Beberapa kios milik pribumi pun menjadi korban penjarahan massa. Di kalangan aparat keamanan ada kesatuan-kesatuan TNI tertentu yang dianggap kawan oleh kelompok mahasiswa, tetapi dianggap ”musuh” oleh kesatuan TNI lainnya. Begitu juga di kalangan warga, ada kesatuan-kesatuan tertentu yang mereka anggap kawan, sedangkan kesatuan lainnya, dan khususnya kepolisian, dianggap lebih sebagai lawan.
Aksi penjarahan dan perusakan ketika itu berindikasi kuat dimotori oleh sekelompok orang tertentu.
Demikian pula posisi sebagai wartawan, di beberapa lokasi diusir, bahkan dimusuhi karena mereka mengkhawatirkan aksi penjarahan yang mereka lakukan direkam kamera. Sementara di tempat lain, banyak warga malah meminta wartawan mengabadikan aksi mereka.
Tugas peliputan pada waktu itu juga menjadi tidak mudah karena sering kali harus berhadapan dengan aparat keamanan yang bertugas menghentikan aksi penjarahan dan perusakan. Wartawan foto Media Indonesia, Sayuti, menjadi salah satu korbannya setelah terkena tembakan di bahu kirinya saat melakukan peliputan di kawasan Glodok, dan langsung dilarikan ke Unit Gawat Darurat RS Tarakan.
Kondisi lalu lintas ketika itu juga tidak keruan. Sepeda motor bisa dengan bebas masuk ke jalan-jalan tol di dalam kota. Sebuah pemandangan memilukan pun tampak ketika Kompas melintas di jalan tol di depan Taman Impian Jaya Ancol. Memandang ke arah selatan, asap-asap hitam akibat aksi pembakaran terlihat di banyak tempat. Wajarlah apabila kedutaan-kedutaan besar asing di Indonesia kemudian menyiapkan diri untuk mengungsikan warganya, mengeluarkan warga negaranya dari Jabodetabek.
Belakangan, setelah reformasi bergulir, pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta kerusuhan Mei. Dari temuan tim itu, disimpulkan bahwa aksi penjarahan dan perusakan ketika itu berindikasi kuat dimotori sekelompok orang tertentu, yang dengan menggunakan sepeda motor melakukan perusakan dan penjarahan, sambil mengajak massa masyarakat yang ada di sekitar lokasi tempatnya beraksi. Akan tetapi, siapa kelompok orang penghasut rakyat itu sampai sekarang belum bisa dipecahkan dan dipastikan.